Selasa, 29 Januari 2013

Ketika Ingin Mengejar Tetapi Tidak Ada yang Bisa Dikejar


Di malam yang sudah larut ini, saya baru saja menengok salah seorang teman saya. Beberapa waktu yang lalu kami sempat bergila-gila bersama, menjadi dekat seperti sudah lama kenal, padahal asing sama sekali.
Dia sudah sukses, tanpa kabar. Ah, entahlah, sukses atau belum. Tapi, dia telah memulai sebuah langkah besar pada apa yang menjadi passion-nya. Langkah yang besar sekali, malah. Untuk seseorang sepertinya yang cenderung tertutup. Tapi, saya akui, pendalamannya untuk hal-hal yang dia sukai memang mati-matian. Habis-habisan. Pengetahuannya di bidang itu, luasnya luar biasa, meskipun belum seluas langit Tuhan.
Lalu, ini nahasnya. Dari situ saya melirik diri saya sendiri. Haha, sial sekali. Beda usia kami hanya beberapa minggu. Dia mulai sibuk mengejar cita-citanya, sedangkan saya masih begini-begini saja. Makan, minum, mandi, BAB, kuliah, bermain, tidur. Begitu-begitu saja.
Baiklah, mengejar cita-cita. Aduh, ini berat sekali.
Dulu, cita-cita saya banyak. Saya kolektor cita-cita dan keinginan. Ingin jadi insinyur pertanian, chef, penjahit, penjaga Taman Safari, dan lain-lain. Tapi, semua orang tahu bahwa semakin ke sini, kita harus semakin realistis. Jujur, di usia saya yang sekarang, saya tidak tahu cita-cita saya. Mungkin saya adalah orang terpasrah yang terlalu mengikuti arus. Sejak masuk kuliah hingga semester enam ini, saya masih suka berpikir: kelak lulus, bisa mendapatkan kerja apapun dengan gampang, sudah Alhamdulillah.
Iya, apapun. Apapun. Tidak ada hal spesifik yang saya inginkan menjadi apa saya kelak. Bahkan saya pernah begitu keukeuh ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik dan benar saja. Tapi, kasihan orang tua juga yang menyekolahkan saya tinggi-tinggi. Saya juga heran kenapa saya begitu dangkal seperti ini.
Mereka bilang, mungkin saya jadi penulis. Saya bahkan mengklaim bahwa menulis hanya sekedar hobi. Tidak ada niatan yang serius untuk menjadikannya sebagai pekerjaan. Lagipula, saingan terlalu berat. Calon penulis lain lebih handal. Meskipun, kalau benar-benar diperjodohkan dengan profesi itu, saya mau-mau saja. Tapi masalahnya, untuk memulai saja niat saya sudah loyo duluan. Jadi, apa yang bisa dimulai?
Terus, apa yang bisa saya kejar kalau saya tidak punya cita-cita?
Yah, semoga besok bangun pagi dan saya menemukan cita-cita saya di tengah perjalanan. Aamiin.

Senin, 28 Januari 2013

Jelma

Namamu terbata-bata, kuucapkan dalam sebuah kalimat pendek yang menjadi begitu panjang. Aku gugup, keringatku mulai meraba dahi, sebesar butiran nasi. Kalimatku seolah tak kunjung terselesaikan.
Namamu terbata-bata, tergagap kuucapkan di muka umum. Sementara semua mata menyaksikanku yang sedang menyaksikanmu. Kau yang mengiraku sesosok pengganggu. Kau yang berprasangka terhadap seorang asing sepertiku.
“B-B-Ba.. Bayu, kau percaya reinkarnasi?” tanyaku, jelma reinkarnasi kekasihmu.
Percayalah, agar aku ada. Agar kita bersama.

Jumat, 25 Januari 2013

Berbeda

“Pelangi tak pernah selingkar sempurna. Ia hanya membusur, entah ujungnya berada di atap rumah siapa. Aku, pernah memimpikan ujung pelangi itu berada tepat di atas rumahku. Sebuah pelangi yang permanen, yang tak hanya muncul seusai hujan seperti cerita lama. Namun, justru pelangi yang menjatuhkan hujan warna-warni..”
“Bisa dimakan seperti permen?” tanyamu, memotong pembacaan cerita yang baru saja kutulis.
“Ya, bisa dimakan seperti permen!” jawabku antusias. Kutambahkan sebaris kalimat yang kaulontarkan barusan ke dalam bukuku.

***

“Ah, bosan. Ceritamu bagus, tapi aku bosan didongengi setiap hari. Makan, yuk!" sergahnya, ketika belum selesai kubacakan satu tulisan terbaruku tentang pohon-pohon yang sedang meranggas.
Selesai. Aku menutup bukuku. Dia mematikan kembali mimpi-mimpiku.
Tak terasa, ada air mata yang pelan-pelan ikut meranggas, meninggalkan si bola mata yang khusyuk berada pada tempatnya dan menyesali kedatangan orang baru yang tak lagi sama.
Dia yang bukan kamu. Tak akan sama.

Kamis, 24 Januari 2013

Aku Saja


Kau tak akan bisa menjawab ini, bahwa jika warna merah habis, warna apa yang sanggup kau campuradukkan hingga tercipta merah?
Apakah, biru dengan hijau? Ungu dengan kuning? Ataukah yang lain?
Tidak. Tidak ada penggantinya. Sebab merah adalah primer.
Maka aku ingin menjadi seseorang yang primer. Di hatimu saja. Bukan di hati yang lain.
Aku saja. Bukan aku yang lain.
Maka jika kehadiranku telah habis di dalam hari-harimu, berjanjilah kau tak akan membeli warna merah yang lain.
Sebab aku, aku saja.

Kamis, 10 Januari 2013

Cangkir Hitam


Pada bibir cangkir hitam, telah mampir bekas puluhan bibir yang menyesap lingkarnya. Ada bekas lipstick atau kuat aroma rokok yang kadang tersisa. Atau bekas aroma mulut si A yang semalam suntuk berkecup dengan si B yang paginya terhuyung-huyung memesan kopi di kedai ini.
Hidup ini, rumit. Sedangkan kau hanya sesederhana cangkir hitam. Yang diam di tempat, kaku tanpa gerakan. Stagnan. Minoritas di balik warna-warni yang melapis cangkir-cangkir lainnya.
Tapi kau diam-diam mengamati orang-orang yang keluar-masuk ke kehidupanmu, atau hanya berucap salam lalu pergi.
Tepat. Kau adalah cangkir hitam, sebaik-baiknya pengamat yang tak pernah diamati oleh banyak orang.
Kecuali, aku.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com