Rabu, 15 April 2015

Monolog



Kita menanam benci seperti menanam mawar. Sebab kebaikan-kebaikan telah lama mati. Terdampar lemas menguning seperti rumput-rumput yang tadinya tegak berdiri tak ada tandingan.
Kita menanam benci seperti menanam mawar. Merawatnya dengan hati-hati, berharap kebencian tak lantas mati. Menumbuhkan dendam penuh strategi, rapi dan cantik. Namun, tetap saja. Mawar seperti benci, durinya melukai.
Saat kita sadar, kita lemas dan cemas.
Menjadi yang patut namun mati cepat.
Atau yang hanya terlihat memikat namun layak dihujat.

Minggu, 05 April 2015

Perayaan



Halo Pa, belakangan ini saya ingat satu kejadian yang membuat saya cukup sedih karena tak bisa mengulangnya lagi denganmu.
23 November beberapa tahun lalu, kalau tidak salah waktu saya masih duduk di bangku SMP. Saya ulang tahun ke sekian belas tahun, dan hari itu berlalu biasa saja. Tapi, pukul delapan malam kita berdua duduk bersebelahan menonton TV. Papa setia menikmati lagu-lagu tembang kenangan di TVRI, dan saya ikut tenang menikmati.
Tiba-tiba, Papa ambil telepon dan meletakkannya tepat di depan Papa. Menekan beberapa nomor, beberapa kali gagal. Sampai akhirnya saya tahu bahwa Papa sedang berusaha menghubungi acara televisi tersebut yang sistemnya semacam radio: membuka kesempatan bagi penelepon di rumah untuk bertelepon interaktif, berkirim salam, atau boleh juga memesan lagu untuk dibawakan oleh band.
Beberapa kali gagal, akhirnya tersambung juga. Saya ikut deg-degan. Senang bercampur sedikit malu, Papa saya masuk televisi meski hanya suaranya saja. Tersambung! Iya, itu dia suara Papa saya masuk dan disapa oleh pembawa acaranya. Tercantum nama Papa juga di bagian bawah layar televisi. Senang bukan main.
Papa yang notabene cukup antusias dan percaya diri, segera saja mengirim salam-salam untuk kerabat yang jauh di sana. Menyapa dari rumah, semoga target penerima salam sedang ikut menonton.
Lalu, di situlah “Mau kirim salam juga buat Putri, anak saya, lagi ulang tahun ini dia. Selamat ulang tahun, semoga makin pintar, makin.......” kejutan! “Sama mau request lagu ulang tahun untuk anak saya, ini dia juga lagi nonton di sebelah saya”
Dan seketika, setelah telepon ditutup, semua tamu yang hadir live di acara tersebut menyanyikan “Happy Birthday” diiringi alunan musik dari band dan tepukan tangan para manusia yang hadir. Beberapa menit itu, adalah kenangan yang mengganggu saya akhir-akhir ini, Pa. Mengganggu karena menimbulkan dorongan yang hebat untuk bisa mengulangi beberapa menit tersebut, tapi tak punya daya sebab saya tak lagi punya kamu, Pa.
Senang bukan main. Papa tak perlu memberi kejutan yang mengeluarkan biaya. Papa tak perlu memberi ucapan dan cium pipi secara langsung (meskipun hal itu selalu dilakukan). Papa tak perlu susah payah mengadakan pesta dan menyuruh saya mengundang beberapa orang teman.
Dengan hanya duduk di sebelah saya, Pa—Papa ingat?—Papa bisa membuat sekian banyak orang dari jarak yang sekian jauhnya dari saya, turut melakukan perayaan singkat atas hari istimewa saya. Dengan hanya duduk di sebelah saya, sebenarnya kita tak sedang melakukan perayaan apa-apa kecuali kebersamaan kita yang selalu jadi hal favorit saya sepanjang hidup, sejauh ini.
Karena ketika bersamamu, Pa, saya bisa menanam rasa senang yang besarnya luar biasa. Tapi sungguh, tak ada kenangan yang tak menyesakkan jika sekali lagi saya sadar: kenangan-kenangan baik itu saya panen ketika sudah tidak bisa lagi bersama Papa. Itulah kenapa, sebahagianya hidup saya sekarang, rasanya adalah bahagia yang cacat sebab tak bisa saya bagi denganmu, Pa.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com