tag:blogger.com,1999:blog-63057333538720425322024-03-14T21:45:27.047+07:00Sepotong Kejuterparut dalam remahan kata-kataPutripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.comBlogger612125tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-7415588377295929242018-04-07T11:22:00.003+07:002018-04-07T11:22:50.482+07:00Pindah Rumah<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span lang="EN-ID">Blog ini ternyata sudah tidak
tersentuh selama dua tahun. Saya kangen sekali menulis. Kalau ditelusur, awal
mula membuat blog yang namanya asal-asalan ini (karena saya sangat tidak jago
membuat judul yang estetik) adalah <i>pure </i>untuk
berlatih menulis. Saya kangen sekali hari-hari di mana saya berkomitmen untuk
menulis apa saja setiap hari. Dulu, <i>rule</i>
untuk menghidupkan blog ini adalah dengan 1 hari 1 postingan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span lang="EN-ID">Sampai akhirnya saya ambil skripsi.
Dan ingin sok konsentrasi dengan skripsi. <i>Well,
</i>kalau boleh sombong sedikit, skripsi saya memang akhirnya selesai on time
sesuai target dalam waktu empat bulan, penelitian kualitatif, tebal 10 cm (<i>indeed</i>), nilai A. Sebuah pencapaian.
Tapi akhirnya haru mengorbankan hari-hari tanpa menulis yang lain selain
skripsi. Sepuluh jam sehari, setiap hari, selama empat bulan. Setelahnya, saya
benar-benar bosan menulis. Buntu dan enggan menyempatkan diri. Akhirnya, blog
ini tak terurus lama sampai saya bekerja. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span lang="EN-ID">Pun begitu dengan bekerja, makan
waktu. Saya kekurangan ide dan akhirnya malas lagi untuk menulis. Tapi sesuai hokum
gravitasi, selalu ada daya tarik ketika kita mencoba meninggalkan sesuatu yang
kita cintai dengan sungguh. Saya ingin kembali. Bagaimanapun cara dan waktunya.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span lang="EN-ID">Blog ini sungguh punya nilai. Tapi
saya yang memang punya keinginan muluk ini, akhirnya memberanikan diri untuk
membuat website sendiri. Blog ini rumah pertama saya. Saya hanya membeli rumah
baru yang lebih baik untuk disinggahi. Beberapa tulisan saya boyong ke tempat
baru, ruang baru. Betapapun lebih menyenangkannya rumah itu, saya masih sering
ke sini, mempelajari kembali gaya menulis saya, meresapi lagi diksi-diksi yang
menjadi andalan saya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span lang="EN-ID">Kalau blog ini masih dibaca oleh
teman-teman, saya undang kalian untuk mampir ke rumah saya yang baru. Boleh
pagi, boleh malam. Membaca tak mengenal waktu. Blog saya selalu terbuka dua
puluh empat jam kapanpun kalian mau singgah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span lang="EN-ID"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span lang="EN-ID"><a href="http://www.parapersona.com/">www.parapersona.com</a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span lang="EN-ID"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span lang="EN-ID">Terima kasih untuk pertemanannya
yang menakjubkan!<o:p></o:p></span></div>
<br />Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-9128533796244054562016-11-13T13:16:00.002+07:002016-11-13T13:16:35.079+07:00Mari Bicara<br />
Mari bicara dalam seriuhnya riuh, dengan bahasa yang sesunyinya sunyi.<br />
Tentang angin yang hilir mudik meniupkan rambut-rambut di sisi telingamu.<br />
Tentang matahari yang perlahan turun sore itu.<br />
Tentang garis-garis di dahimu saat kau terlalu lelah berpikir.<br />
Tentang darah yang berdesir ketika kata-kata mulai kelu hendak terucap di ujung bibir.<br />
<br />
Mari bicara dalam seriuhnya riuh.<br />
Mari bicara dengan bahasa sesunyinya sunyi.<br />
Ombak tergulung pelan menelantarkan harapan-harapan.<br />
Rapi kau berkemas menuju pulang.<br />
<br />
Apa yang kau kata?<br />
Apa yang hendak kau ucap?<br />
Bicarakan padaku<br />
Tentang banyak hal.<br />
Yang tak terlalu riuh,<br />
Dengan bahasa yang tak lagi sunyiPutripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-69014194578872182012016-11-13T13:15:00.001+07:002016-11-13T13:15:22.715+07:00IntroverKeramaian membuat kita mati perlahan. Dipaksanya kita untuk memalsukan tawa, perbincangan, dan uforia yang tak kita senangi demi untuk diterima. Demi untuk menjadi salah satu dari keramaian tersebut. Manusia-manusia berisik. Mereka pikir, hidup kita sekosong itu hingga kita dipaksa untuk terus melibatkan diri.<br />
Padahal, kepala kita telah mampu menciptakan keramaian itu sendiri. Kita mencipta karakter-karakter dan terjun bebas di dalamnya. Kita bisa asyik meskipun sendiri. Di dalam kamar, di perpustakaan, di sudut ruangan, di tepi jalan. Kita tak butuh riuh, karena segala riuh yang paling kita gemari adalah percapakan-percakapan dengan diri kita sendiri. Dialog-dialog yang tak akan orang lain tanyakan kepada kita. Kita adalah kawan terbaik untuk jiwa kita.<br />
Jika sudah terlalu senang tanpa harus menjadi orang lain, siapa yang butuh diterima?Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-66301261545701266532016-11-03T21:59:00.001+07:002016-11-03T22:01:16.883+07:00Pada Suatu Maghrib1.<br />
Seorang pria meringkik merapat<br />
Depan pintu besi bekas toko plastik<br />
Dekat sekali dengan pipa saluran air<br />
Yang meneteskan bunyi-bunyian sisa hujan sesore<br />
Perutnya bergemericik<br />
Melantun bak aliran sungai<br />
Melantur pikirannya berandai-andai<br />
<br />
2.<br />
Seorang pria duduk di pinggiran<br />
Menyelaraskan lelahnya<br />
Menghitung pundinya hari ini<br />
Di samping sengat aroma sampah<br />
Hasil pertarungannya dengan nasib hari ini<br />
Harus pulang sekarang<br />
Rengekan tangis anak<br />
Dan biaya susu yang semakin mahal<br />
Adalah penyemangat<br />
Meski sang bini mulai berkedip<br />
Dengan yang lebih berpenghasilan<br />
<br />
3.<br />
Seorang pria melonggarkan dasi<br />
Yang mencekik dan menuntutnya<br />
Lima hari dalam seminggu<br />
Tujuh kilometer ditempuhnya<br />
Kemonotonan yang mengayarayakan<br />
Tapi tak juga ia pulang<br />
Dengan menenggak jawaban<br />
Atas pertanyaannya sehari-hari<br />
Apa itu bahagia?<br />
<br />
4.<br />
Pada suatu Maghrib<br />
Ribuan orang pulang<br />
Dari keterpaksaan-keterpaksaan<br />
Yang dirahasiakanPutripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-2690989915904894262016-10-25T22:22:00.002+07:002016-10-25T22:22:43.412+07:00Doa IbuYang terlihat megah dan berjajar ratusan meter menjulang ke langit—ratusan meter lebih tinggi dari nasibnya yang begitu kecil—adalah ketakutannya sendiri.<br />
Mia berkemeja putih dan celana kain hitam. Pilihan setelan yang begitu wajar namun tak lagi enak dipandang di tahun dua ribu enam belas yang modern ini. Mia tahu, sepatu haknya yang baru dibeli semalam dengan harga empat puluh ribuan tak akan membantunya lolos wawancara hari ini. Ia juga tahu, alis yang digambar sekenanya dan tak simetris kanan-kiri tak juga akan membantu meyakinkan interviewer bahwa dia adalah satu dibanding sekian yang layak lolos ke tahap berikutnya. <i>Tapi, ada doa Ibu</i>, pikirnya begitu.<br />
<i>Bukankah doa ibu adalah yang paling didengar Tuhan (meskipun Tuhan Maha Mendengar)?</i><br />
<i>Ibu siapa dulu?</i><br />
<i>Ibu yang paling susah di antara ibu peserta tes yang lain.</i><br />
<i>Kau yakin ibumu adalah yang tersusah?</i><br />
<i>Lihatlah, penampilanku. Ibuku tak punya apa-apa yang bisa dibekalkannya ke anak gadisnya ini selain satu-satunya doa agar aku berhasil hari ini.</i><br />
<i>Kau membandingkan dirimu dengan siapa? Kau bahkan belum masuk dan bertemu para pesaingmu.</i><br />
<i>Benar juga!</i><br />
Pikirannya beradu, telah disiapkan skenario sebaik mungkin tentang hal-hal apa yang kemungkinan akan ditanyakan dan jawaban apa yang paling masuk akal dan ingin didengar. Lima puluh lima menit yang lalu, Mia pikir dirinya akan begitu siap menghadapi hari ini: panggilan tes pertamanya setelah berhasil menjadi satu-satunya anak Ibu yang bergelar Sarjana. Satu dari enam, satu-satunya yang paling beruntung dari lima kakak-kakaknya yang memilih untuk menambatkan hati mereka untuk bekerja-meskipun-pendapatan-pas-pasan dan yang-penting-kerja-halal selepas Sekolah Menengah Atas.<br />
Lima puluh lima menit yang lalu, Mia pikir ini adalah harinya. Begitu bangganya ia mendapat kesempatan untuk mengikuti wawancara di salah satu perusahaan yang acak dipilihnya untuk dilempari satu dari lima puluh lamaran yang dibuatnya.<br />
Mia kira, dia begitu siap.<br />
Hingga ia turun dari angkutan umum dan mendapati sekalimat lewat di hatinya <i>“Selama ini kau tinggal di mana?”</i><br />
Dilihatnya angkuh bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Begitu kecil ia sampai kepalanya harus mendongak, seakan serangga yang siap ditelan oleh kejam ibukota. Rasanya tak pernah ia berkelana dari rumah sejauh ini. Hidupnya di pinggiran. Rumah-rumah padat penduduk dengan jumlah kamar tak sebanding dengan jumlah anggota keluarga. Dihimpit segala kekurangan ekonomi di sana-sini. Hidup dengan mendengar keluhan serbakekurangan setiap hari.<br />
Lantas, timbul lagi sekalimat saat ia melangkahkan kaki jenjangnya di atas sepatu berhak tinggi yang dibeli murah semalam itu, <i>“Aku ini siapa”.</i><br />
Bak kehilangan jati diri, ciut nyali Mia. Berbekal doa ibu, nyatanya ia tetap melangkah ragu.<br />
<i>Bukankah doa ibu adalah yang paling didengar Tuhan (meskipun Tuhan Maha Mendengar)?</i><br />
<i>Ibu siapa dulu?</i><br />
<i>Ibuku, yang paling susah. Yang empat tahun lalu meninggalkan keluarga kami demi menikah kembali dengan seorang kaya raya agar salah satu anaknya bisa sekolah tinggi dan memperbaiki nasib keluarga.</i><br />
Ini harinya. Berbekal doa Ibu yang masih membuatnya ragu, Mia toh—pada akhirnya tetap melangkah maju. Kepada Sang Perancang Nasib, ia berpasrah. Ia siap dilumat oleh ketidakberuntungan.<br />
Atau, keberuntungan.<br />
Atas doa Ibu yang belum pernah didengarnya lagi empat tahun belakangan ini.<br />
<div>
<br /></div>
Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-9890279269263494782016-09-19T21:52:00.002+07:002016-09-19T21:52:32.657+07:00Di KeretaDi kereta, ada perasaan-perasaan yang berjalan bergegas untuk segera dipastikan. Perasaan yang berdenyut-denyut sepanjang nadi rel kereta<br />
“Kita tak ada tujuan”, katanya. Tapi, kau tahu betul tangannya masih di sana: di genggaman tanganmu sejak memasuki gerbong hingga lima puluh menit penuh jeda yang berlalu.<br />
Tak ada getir yang lebih terkoyak dari ini, kau dibawanya dengan mesra menuju sesuatu yang tak pernah pasti. Menuju puluhan gerbong kereta api, menuju puluhan tempat pemberhentian sementara untuk melanjutkan ketidakpastian kembali.<br />
Pada stasiun berikutnya, yang ingin kau lakukan hanya satu: turun dan melambaikan tangan. Karena hidupmu telah terlalu banyak dipenuhi oleh persinggahan-persinggahan, juga bising lalu dan lalang persimpangan. Sedang kau begitu lelah dan ingin melangkah keluar saja.<br />
Kau tahu? Turunlah, berhentilah jika ingin. Kau tak lagi perlu puluhan perjalanan.<br />
Kau tahu?<br />
Di sini, ada aku.Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-33802041212370646162016-09-18T01:05:00.001+07:002016-09-18T01:05:45.483+07:00PrologAkan tiba harinya, yang paling dinanti olehmu: hidup bersamanya.<br />
Mulai sekarang, bersamanya kau akan terbangkan doa-doa sejauh mungkin dan berusaha menata satu per satu anak tangga untuk menggapai mimpi-mimpi. Mulailah semuanya dari awal, sebab kau tahu betul segala pergerakan harus bermula dari titik nol. Bersamanya, sanggupkan dirimu untuk berjalan sejauh apapun tanpa alas kaki. Biar lelah ditanggung bersama, sadari bahwa tak segala sesuatu bisa didapatkan semudah kalian menengadahkan tangan ke orang tua dulu.<br />
Pada harinya nanti, kami akan berpesta merayakan kisah barumu. Buku baru, halaman satu hingga tak terhingga. Karena kami tahu, “selamanya” adalah satu-satunya hal yang akan kalian menangkan nantinya. Dan kalian tahu, kemenangan adalah proses yang panjangnya tak terkira. Jangan lelah, jangan pernah menyerah jika ada terjang badai, atau tumpul asa di depan nanti. Kalian adalah yang berikrar untuk menua bersama, abadi dalam janji paling suci. Yakinlah, bersamanya kau tak akan ragu untuk memenangkan kisahmu. Pada halaman terakhir nantinya, kami ingin menyaksikan haru kisah kalian yang hanya akan terpisahkan oleh maut. Bukan prasangka, atau pemeran lainnya. <br />
Kau dengannya, mungkin adalah sepasang yang tiap paginya akan saling menatap dan meyakinkan satu sama lain, “Ini tak akan mudah, tapi bersamamu aku mau hidup susah”.<br />
Hingga akhirnya, selamat berjalan berdampingan. Semoga susah senang sama-sama merasakan. Semoga berbahagia. Kau tahu, doa kami selalu menyertai.Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-57650382130137988062016-09-12T00:29:00.002+07:002016-09-12T00:31:50.857+07:00GenangAdalah banjir yang memporakporandakan seisi rumah kami. Di sekujur lantai yang pucat pasi, tergenang satu-dua kenangan. Pigura foto keluarga yang tenggelam bebas di permukaan paling dasar, pun sepertiga sofa tempat kami menghabiskan waktu dengan hangat percakapan-percakapan ringan, kini menjadi basah dan dingin.<br />
Guyur hujan semalam dan banjir selutut yang menggenangi rumah kami melengkapi memori yang tenggelam akan satu-dua orang rumah yang perginya begitu jauh, tak ubahnya daun kering—gugur satu per satu tertiup angin dan berkelana meninggalkan pohonnya.<br />
Kupungut gambar kami berenam bersama kebahagiaan yang tercetak manis di pigura kayu yang tenggelam. Tak ada yang bisa menyelamatkan basahnya. Tak juga aku.<br />
Di sekujur lantai yang pucat pasi, tergenang satu-dua kenangan pada sepasang mata yang menatap nanar pada keadaan.<br />
“Kapan Ibu bisa melihat kalian pulang?”Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-92233527509023765882016-08-26T04:51:00.001+07:002016-08-26T04:53:19.235+07:00Reblog: No Matter How Honest and Warm I Began<span style="background-color: white; color: #666666; font-size: 15.84px; line-height: 20.592px;"><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">I always ended up chopping my letter into one normal-but cold, impersonal, template like-sentence. For millions reasons. </span></span><br />
<div style="background-color: white; color: #666666; font-size: 15.84px; line-height: 20.592px;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #666666; font-size: 15.84px; line-height: 20.592px;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">One for millions. </span></div>
<div style="background-color: white; color: #666666; font-size: 15.84px; line-height: 20.592px;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #666666; font-size: 15.84px; line-height: 20.592px;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Maybe some day I'll tell you a story about what growing up means to me. And I'll listen to yours.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #666666; font-size: 15.84px; line-height: 20.592px;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #666666; font-size: 15.84px; line-height: 20.592px;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Till then,<i> I hope you're well and happy.</i></span></div>
<div style="background-color: white; color: #666666; font-size: 15.84px; line-height: 20.592px;">
<i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></i></div>
<div style="background-color: white; color: #666666; font-size: 15.84px; line-height: 20.592px;">
<i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><br /></span></i></div>
<div style="background-color: white; color: #666666; font-size: 15.84px; line-height: 20.592px;">
<i><span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">-----------------------------</span></i></div>
<div style="background-color: white;">
<span style="color: #666666; font-family: "times" , "times new roman" , serif;"><span style="font-size: x-small; line-height: 33.374px;"><i>kristynelwan.blogspot.co.id/2016/04/no-matter-how-honest-and-warm-i-began.html?m=1</i></span></span></div>
Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-30358137886557704342016-08-24T22:50:00.001+07:002016-08-24T22:50:25.092+07:00Pudar JiwaDihisaplah jiwamu, oleh ruh-ruh yang berkunjung malam-malam. “Sia-sia hidupmu!” kutuknya (atau, aku berpikir ia hanya merangkum apa yang ia ketahui tentang hidupmu, bukan mengutuk). Mereka tampak seperti asap, mendekatimu kala lelap. Kau dirasuknya, tak terasa. Tidurmu nyenyak sekali. Kau hanya tersentak sekali, seperti dihampiri mimpi terburuk. Tapi kau mendengkur kembali.<br />
Paginya, kau turut serta tak bernyawa. Hanya ragamu berjalan biasa saja.<br />
Tak ada pendar.<br />
Tak juga jiwa.Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-50831188163220429162016-07-31T22:49:00.001+07:002016-07-31T22:52:19.090+07:00Rumah JuliBelakangan ini, rumah Pak Atma sedang ramai. Keramaian yang membuat para tetangga bertanya-tanya. Sebab, selama hampir tujuh puluh tahun menginjak rumah tua itu, tak pernah Pak Atma terlihat dikunjungi keluarga dan sanak saudara. Nyawanya tumbuh sendiri, bersama hari-hari sepinya di rumah yang penuh pohon buah itu. Namun, beberapa hari ini meski tak ada mobil di depan, tak ada wujud manusia keluar-masuk atau sekedar duduk di teras, tetiba terdengar riuh orang berbincang-bincang di dalam. Pagar masih selalu terkunci, daun-daun kering dibiarkan gugur di halaman dan belum tersapu. Para tetangga menyangsikan, jangan-jangan lelaki temperamen yang menggunakan tongkat kayu sebagai kaki ketiganya itu terlibat dalam sindikat teroris atau pengedar ganja. Tak ada satupun orang yang berani mencari tahu apa yang sedang dilakukan Pak Atma bersama tamu-tamunya di dalam. Pintu dan jendelanya tertutup rapat. Diingat-ingat, sejak hari itu, tiga puluh satu juli dua ribu lima belas.<br />
***<br />
“Bakar saja kalau tak mau jaga!” pria tua yang temperamen itu lantas membanting rolling door abu-abu yang karatnya mulai hidup di sana-sini, turut mengupas esensi kehadiran cat berwana kuning yang melafalkan “Rumah Juli”.<br />
Siang yang begitu terik, sampai dari kejauhan terlihat bias panas aspal mengawang di sepanjang jalan. Beberapa tetangga yang sedang asyik minum kopi di warung Yu Narti—seberang rumah Pak Atma—tampak tak peduli karena sudah terbiasa dengan adegan marah-marah yang kerapkali diulang-ulang Pak Atma ketika mempermalukan pegawai-pegawainya yang belum ada seminggu bekerja itu. Berbeda dengan tetangga Pak Atma yang lain—yang ibu-ibu. Mereka memilih melirik-lirik ketus sambil berbisik ke telinga kanan tetangga satu, dan menyambung bisik ke telinga kiri tetangga lainnya.<br />
Bocah lelaki yang kurus kering dan kudengar usianya masih empat belas tahun itu, hanya menunduk dan diam saja sambil meremas koran hari ini yang dipegangnya sedari tadi. Dengan sigap, Pak Atma meraih lembaran media cetak itu dari tangan si bocah dan menghempaskannya keras menabrak ke arah rolling door yang baru saja dihentaknya. “Selalu seperti ini kalau harta bendaku kuserahkan ke jongos yang putus sekolah sepertimu! Tak tahu cara merawat barang penting!” teriaknya sekali lagi. Kata-kata yang keterlaluan itu, adalah kalimat terakhir yang mengiringi si bocah pergi dengan tangis yang hendak pecah dan rasa malu yang tak akan pernah ia lupa hingga dewasa nanti. Dan ternyata, kalimat itu pula yang menjadi penutup segala drama antara Pak Atma dan pegawai-pegawai yang silih berganti mengadu nasib di Rumah Juli. Tak ada yang menyangka, itulah kali terakhir kami menyaksikan pertengkaran dan amarah Pak Atma—setidaknya, hingga hari ini, tiga puluh satu juli dua ribu enam belas.<br />
***<br />
Kira-kira, dua minggu lamanya setelah terakhir kali kulihat amarah Pak Atma meledak-ledak sambil tertatih memasuki rumahnya dan mengunci rapat pintu serta jendelanya, aku mulai terusik dengan ketidakhadiran beliau pada hari-hari berikutnya. Aku mulai memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Si Tua yang tak pernah dikunjungi sanak saudara itu (bahkan tak ada yang tahu berapa anak Pak Atma, atau berapa bersaudarakan ia, dari mana asalnya) barangkali darah tingginya kambuh dan mengalami stroke sehingga ia lumpuh tanpa pertolongan di dalam rumahnya dan tak bisa ke mana-mana. Atau ia mengalami serangan jantung dan telah tewas sejak dua minggu yang lalu? Tapi, kurasa tidak. Belum ada bau bangkai dan kepanikan warga. Tetangga sekitar tampak biasa saja dan tak curiga apa-apa. Semoga hipotesisku salah.<br />
Seingatku—sebagai salah satu tetangga yang hanya memandang kehidupan tetangganya dari luar—Pak Atma berubah sepeninggal isterinya. Bu Juli (ejaan lama, dibaca Yuli) adalah permata hati satu-satunya yang dimiliki Pak Atma sepanjang hidup, entah sejak kapan. Aku lahir dan besar di lingkungan ini dan tahu-tahu mereka telah setua itu tinggal bersama di sebuah rumah dengan keberuntungan berupa lahan halaman yang cukup luas dan subur sehingga mudah ditanami berbagai macam pohon buah. Di sisi kiri rumah mereka, ada sebuah garasi dengan rolling door berwarna abu-abu dengan aksen tulisan latin berwarna kuning yang terbaca sebagai “Rumah Juli”.<br />
Pernah ada pertanyaan menggelitik yang pernah kusampaikan kepada Ibu, “Mengapa Rumah Juli? Bukan Rumah Atma, sebab Pak Atma adalah kepala keluarga? Atau Rumah Atma dan Juli, agar adil?”. Lalu kami berdua duduk sambil menyantap makan siang kami sepulangku sekolah. Diceritakannya padaku sebuah kisah:<br />
<i>Rumah itu adalah Rumah Bu Juli yang diwariskan oleh orang tuanya sebelum meninggal. Jauh sebelum Bu Juli menikah dengan Pak Atma—ketika usianya masih sebelia nenek dan kakekmu yang dulunya juga berasal dari wilayah ini—beliau sendirilah yang merawat dengan baik peninggalan kedua orang tuanya.</i><br />
<i>Karena tak berpendidikan tinggi, Bu Juli yang rendah hati itu mendedikasikan masa remajanya sebagai pembaca dongeng. Setiap sore, ia mengumpulkan anak-anak kecil untuk dibacakan fabel maupun cerita-cerita rakyat dengan cara yang sangat menarik. Itulah awal mula Rumah Juli terbentuk, sebagai tempat di mana anak-anak mendapatkan cerita-cerita yang akan mereka kenang sebagai legenda hingga tua. Dari lima, sepuluh, hingga berkembang menjadi hampir lima puluh anak memenuhi Rumah Juli setiap harinya. Ketenaran ini membawa seorang wartawan dan penulis muda yang gemar mengkritisi gaya hidup muda-mudi pada masanya, untuk bertandang meliput kegiatan di Rumah Juli. Namanya, Atma.</i><br />
Aku lahap memakan ayam goreng dan meresapi cerita Ibu. Menarik. Pertanyaanku dijawab dengan sangat apik oleh Ibu. Pun belum pernah aku merasa setertarik ini dengan tetangga sendiri.<br />
<i>Dari situlah mereka jatuh cinta. Dari dongeng-dongeng yang dan kesenangan terhadap anak-anak yang dibagi oleh Bu Juli kepada Pak Atma, lelaki yang dulunya tampan itu jatuh cinta dan meminang Bu Juli. Keputusan yang tergesa namun tepat yang diambil Pak Atma hanya dalam hitungan hari setelah mereka berkenalan.</i><br />
<i>Berdua, mereka mulai mengembangkan potensi Rumah Juli. Pak Atma yang ternyata tak hanya menulis berita itu, juga menyumbangkan banyak sekali tulisan-tulisan pendeknya yang sarat akan pesan moral untuk dibacakan setiap hari oleh Bu Juli. Berdua, mereka adalah pasangan yang membuat iri pasangan lain, sebab, meskipun telah belasan tahun menikah dan belum dikaruniai anak, mereka dapat menjalin hubungan orang tua dan anak yang sangat membanggakan dengan bocah-bocah yang selalu haus akan dongeng-dongeng baru mereka berdua. Rumah Juli bukan lagi tempat bercerita, tetapi juga perpustakaan yang meminjamkan buku-buku kumpulan cerita pendek karya Pak Atma yang tak pernah dipublikasikan demi keuntungan komersil dan tidak ada di toko buku manapun. Di tangan Pak Atma dan Sang Isteri, Rumah Juli semakin hidup merangsang kegemaran anak-anak untuk membaca.</i><br />
Begitu kira-kita.<br />
Hingga akhirnya, dua belas tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku SMP, Bu Juli yang tak pernah jauh dari suaminya itu meninggal pada tidurnya yang begitu nyenyak dan tenang pada suatu dini hari.<br />
Sejak saat itu, seribu satu kisah yang ditulis Pak Atma tak ada artinya lagi. Beliau berhenti menulis. Kaku tangan dan hatinya, berhenti akan lebih baik, pikirnya. Tak ada lagi persewaan buku. Tak ada lagi pembaca dongeng yang ramah menyapa anak-anak dan sanggup menjadi kekasih terbaik baginya. Seribu satu kisah—bahkan mungkin lebih—yang tak pernah dipublikasikan itu hanya berjajar di rak-rak buku Rumah Juli dan dibersihkan debunya sesekali. Membacanya kembali pun enggan. Rumah Juli tak sehidup dulu, macam musim gugur yang terlampau lama. Kering akan tawa dan bahagia seperti yang dulu orang-orang begitu puja.<br />
Melekang bersama kesendiriannya, Pak Atma menjadi pribadi yang tertutup dan temperamen. Andai kata fisiknya sanggup, tentu ia sendiri yang akan merawat baik-baik kisah-kisahnya. Namun usia dan fisik yang melemah menjadikannya bergantung pada pembantu-pembantu yang silih berganti merawatbuku-buku dongeng buatannya. Pun, tak ada dari mereka yang hasil kerjanya cukup memuaskan. Pak Atma selalu bermuara pada pikiran <i>andai Juli di sini.</i><br />
Begitulah.<br />
Maka, di minggu kedua setelah terakhir kali kulihat amarah Pak Atma meledak-ledak ini, aku masih menebak-nebak: apa seperti ini luka yang akan ditinggalkan seorang kekasih terbaik pada kekasihnya?<br />
***<br />
“Sepertinya, kita harus beritahu orang-orang,” Albertus, anak lelaki kecil yang punya volume otak menyamai orang dewasa itu, berlagak sebagai pemimpin rapat.<br />
Yang lain diam saja. Empat hari ini, itu-itu saja yang telah dibahas dan begini-begini saja hasil akhirnya: tak ada aksi apapun untuk memulai gagasan itu. Yang lebih membuat susah,<br />
“Lihat Pak Atma, dia harus dibawa ke Rumah Sakit secepatnya, atau...........”<br />
“Tamat riwayat kita”<br />
“Tamat riwayat kita” yang lain ikut menyahut panik.<br />
“Tak perlu panik”, kata Bu Betty, ibu dari lima belas anak yang jago memasak itu baru saja menyelesaikan bubur ayamnya. Uap panas masih mengepul dari dalam mangkuk. Duduk di samping Pak Atma yang sedang terbaring, Bu Betty dengan sigap mengipas sendok demi sendok untuk disuapkan pada Pak Atma yang begitu lemah. “Masih ada kita. Kita semua bisa menangani ini”.<br />
Lembar demi lembar, halaman per halaman, seribu satu tokoh dari seribu satu kisah yang pernah dicipta Pak Atma mulai berhamburan keluar. Tokoh-tokoh yang hendak berbalas budi atas terciptanya merekalah, yang kini merawat Pak Atma dengan sangat baik di Rumah Juli.<br />
Sudah setahun sejak kemarahan terakhir Pak Atma terhadap pekerjanya, meski tak ada mobil di depan, tak ada wujud manusia keluar-masuk atau sekedar duduk di teras, tetiba terdengar riuh orang berbincang-bincang dari dalam Rumah Juli.<br />
Pagar masih selalu terkunci, daun-daun kering dibiarkan gugur di halaman dan belum tersapu.Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-56922049133766033182016-07-31T00:00:00.002+07:002016-07-31T00:17:32.178+07:00Surat (Untuk yang Kelak Akan Saya) CintaPada suatu hari yang bersemayam di minggu terakhir bulan Juli, saya menulis surat untuk yang kelak akan saya cinta.<br />
Sayang, kita tak akan pacaran lama-lama, sebab saya bukan perempuan pada umumnya. Saya tak pernah tahu pacaran itu bagaimana, sebab untuk saya pacaran hanyalah kesenangan yang menghabiskan banyak waktu demi ketidakpastian. Dan saya tidak suka membuang waktu. Karena itu pulalah saya jamin tak akan ada yang kau cemburui, sebab kemampuan saya untuk menjaga diri sangat luar biasa. Kalau tidak, barangkali bukan untuk kamu tulisan ini dibuat, melainkan untuk orang-orang sebelum kamu yang dapat dengan mudah meraih predikat pacar pertama, kedua, dan seterusnya. Tapi, kujamin tidak seperti itu. Sayang—siapapun kamu nanti—pasti kamu akan jadi pacar pertama dan suami satu-satunya saya.<br />
Dari beberapa pria yang sebelumnya pernah saya cinta, tentu kamu adalah yang pada akhirnya saya pilih (dan karena kamu memilih saya, tentunya). Tentu kamulah yang nantinya sebagai perwujudan kosakata baru dalam kamus saya, dorongan utama terbesar saya untuk menulis lebih baik. Menulis kalimat-kalimat cinta. Nanti kamu akan ada satu atap kamar dengan saya, mendengar tangis dan tawa saya, berbagi senda dan sendu, menikmati cerita-cerita yang menggebu hingga hening-hening yang tak mengurangi rasa nyaman kita.<br />
Kamu nantinya akan bekerja untuk keluarga kita dan saya dengan sigap segera mengundurkan diri dari pekerjaan, sebab menjadi ibu rumah tangga adalah tantangan selanjutnya yang harus ditaklukkan oleh perempuanmu ini. Saya akan bicara tentang betapa siapnya saya berkeringat menyiapkan makanan untuk kita santap sepulang kamu bekerja, sekaligus membersihkan rumah dan rajin mengganti popok bayi kita. Saya akan menjadi pesulap yang bisa melakukan semuanya sendirian. Kau hanya perlu pulang dan tahu segala sesuatu sudah terkendali. Saya sudah wangi dan bayi kita yang menggemaskan itu siap dipeluk-peluk ayahnya sesisa hari. Kau juga hanya perlu duduk dan makan yang lahap sambil memberikan komentar jika masakan ini kurang garam. Atau mungkin menebar pujian bahwa masakan saya sama enaknya dengan menu restoran mahal yang pernah kau kunjungi dengan kolega kerja. Keduanya—asal keluar dari mulut orang yang kelak saya cinta—sama-sama enak didengar.<br />
Oiya, Sayang, kalau kau jadi suami saya dan saya adalah istri kamu nantinya, bolehkah saya usul untuk marah-marah melalui surat saja jika nanti kita bertemu masalah yang memancing pitam kita? Karena saya sangat cinta kamu dan tak ingin kemarahan saya melukai kamu, maka mungkin saya akan lebih banyak diam dan menangis, dan menulis sedikit-sedikit untuk kamu. Kamu tahu, kan, saya lebih terlatih menulis luka? Bacalah sesekali, meski kau tak bisa membalas tulisan saya. Bicarakan dengan tenang ketika tangis saya sudah reda. Marahlah sambil memeluk saya, biar sama-sama redam dan tak harus melihat muka kita satu sama lain yang sedang tak enak dipandang. Marahlah dengan kata-kata yang pantas, biar luka dan singgungannya tak terlalu dalam. Biar tak perlu lama-lama dan lekas kita akur kembali ketika sedang duduk sambil mengomentari acara TV yang kita tonton bersama. Marahlah dengan cara yang baik dan dewasa, sebab kamu adalah panutan saya dan anak-anak kita nantinya. Bersamamu, saya harap kita bisa saling membangun diri.<br />
Saya dan kamu juga harus bisa menjadi pelawak terbaik untuk satu sama lain. Karena—ingat—kita akan hidup bersama dalam waktu yang sangat lama. Saya akan melakukan hal-hal yang membuatmu betah menghabiskan sisa usiamu dengan saya, pun kamu juga harus berpikir demikian.<br />
Sependek ini dulu, Sayang. Bunga-bunga semu merah sudah berguguran di kepala saya. Barangkali kapan-kapan Tuhan menibakan waktunya untuk kita bertemu dalam rencana-Nya yang luar biasa dan penuh kejutan seperti letup kembang api warna-warni di angkasa, tulisan ini akan saya sambung kembali. Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-66690000728114155162016-07-24T15:00:00.001+07:002016-07-24T15:00:52.127+07:00Koma<p dir="ltr">Keriaannya memadam, seperti jingga langit yang semakin turun menidurkan dirinya ketika hendak malam. Di kursi belakang, matanya menatap jauh ke luar jendela. Membayang selapis bening di keduanya, kurasa itu adalah perwujudan tangis yang hendak pecah. Bibirnya bergetar pelan, namun tak ada sedikitpun emosi yang terluncur. Tak menggugu, tak ada isak. Pun selapis bening masih menggenang di sana. Kurasa, dia hanya sedang menahan tabah.<br>
Penerbangannya masih nanti, dua setengah jam lagi. Tapi kami telah meluncur sedini ini, menembus jalanan yang masih lengang. Sebelum berangkat, berpesan ia padaku untuk melaju sekencangnya. Deru suara mobil sedikit meniadakan keheningan di dalam sini. Namun, aku tahu pasti, betapa hati dan pikirannya begitu riuh oleh penyesalan dan amarah.<br>
Masih dua setengah jam, ditambah satu jam lagi ia akan mendarat ke kotanya. Ia akan sibuk membalas peluk dan bela sungkawa sesampainya di rumah. Ia akan sibuk mendengarkan lantunan doa dan semangat dari sanak saudara. Sibuk menceritakan bagaimana sore tadi sebuah telepon terhubung dari jarak yang begitu jauh, mengabarkan dirinya bahwa suaminya tewas pada sebuah kecelakaan, ketika ia sedang makan malam dengan rekan-rekan kerjanya.<br>
Namun tetap saja, lebih sibuk ia saat ini. Sebab dalam hening ia memeluk hatinya sendiri yang begitu ringkih, mendekap penuh duka atas kepergian suaminya. Berpelukan dengan ketabahannya, menangis sejadinya. Lebih sibuk saat ini—meski ia melamun saja di dalam perjalanan menuju bandara—diyakinkannya dirinya sendiri bahwa ini adalah takdir.<br>
Ketika matanya menatap jauh keluar jendela dan deru suara mobil meniadakan keheningan di dalamnya—lebih sibuk ia saat ini—pikirannya berpacu mengenang segala apa yang telah dilalui dan menerawang bagaimana bisa ia akan melewati hari-hari setelah ini. <br>
Tak menggugu, tak ada isak. <br>
Ia merasa koma.</p>
Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-75890064056875682732016-07-20T01:24:00.001+07:002016-07-20T01:24:48.383+07:00Tendensi<p dir="ltr">Bagaimana jika kita duduk bersebelahan, tanpa tendensi untuk saling mencintai? Kau membaca koran tanpa suara, hanya bibirmu bergerak-gerak serius mengeja kata per kata. Aku menggigit roti isi cokelat yang tadinya niat kubeli sebab kukira isi selai kacang, lalu menggerutu sendiri dalam hati.<br>
Bagaimana jika kita duduk bersebelahan, tanpa tendensi untuk saling mencintai? Kau selesai dengan koranmu, lalu membuka ponsel yang kau proteksi dengan kata sandi. Mengecek email dan pesan—serta mungkin kesan—dari kerabat jauh maupun dekat. Aku selesai dengan rotiku, lalu kubongkkar kantung plastik belanjaanku hingga menemukan sebotol air mineral. Kuteguk sekali, lalu dua kali, lalu habis sebab hausku harus lekas disudahi.<br>
Kata-kataku di atas cukup menarik, bukan?<br>
Jadi, <br>
Bagaimana jika kita duduk bersebelahan, tanpa tendensi untuk saling mencintai?<br>
Kau selesai dengan ponselmu dan aku selesai dengan air mineralku. Tak sengaja kita saling menangkap pandang satu sama lain. Lalu kau mengangguk kecil, memberi isyarat permisi. Berdiri lantas pergi. Sementara aku masih duduk menunggu kendaraan umum mampir menjemput. <br>
Sebab kita adalah dua orang asing dan tak ada tendensi untuk saling mencintai.</p>
Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-61830273808531622712016-07-20T00:57:00.000+07:002016-07-20T00:57:39.390+07:00BinasaYang kelak binasa<br />
Adalah siapa-siapa yang tumpul<br />
Sebab yang tajam<br />
Mencari cara untuk bertahan lebih lama<br />
Sedikit lebih lama<br />
Ini bukan tentang hidup, Tuan<br />
Ini tentang siapa-siapa<br />
Yang lekas dilupakanPutripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-22170840165107829092016-07-18T20:16:00.001+07:002016-07-18T20:16:20.842+07:00Kenang-Kenangan<p dir="ltr">Kita tak banyak bicara lagi setelah malam itu. Bagaimana bisa? Kuulang dengan rasa payah, bagaimana bisa? Sudah berjuta-juta hari, tak terhitung banyaknya kita menanam tanya sambil memeluk mereka dengan bungkam. Kita lilit lagi lukanya, kita lilit lagi seperti jenazah. Kita bekerja sama untuk tak lagi bertanya “bagaimana” dan “mengapa”. Kita bekerjasama untuk mengendapkan kenangan dalam sebuah kuburan massal. Rata tanah. <br>
Kerjasama yang baik, sekaligus tak kita inginkan.<br>
Bagaimana bisa?<br>
Pertanyaan itu menggaung kembali. <br>
Bagaimana bisa, sementara kau adalah<br>
Lirik<br>
Gambar<br>
Kalimat<br>
Matahari<br>
Jendela<br>
Warna<br>
Dan kesenangan-kesenangan lainnya.<br>
Bagaimana bisa?<br>
Kau tanya kembali.<br>
Kujawab entah.<br>
Lalu senyap kembali merayap.<br>
Kita kembali pulang pada perantauan masing-masing. Sambil terus disibukkan oleh naif atas harapan yang diam-diam terselip: agar kita masih ada kesempatan untuk kembali pulang pada satu sama lain. </p>
Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-25477281098880592432016-06-15T18:28:00.005+07:002016-06-15T18:28:46.408+07:00KeberartianSuatu hari, saya ada mimpi waktu tidur malam. Mimpi Ibu saya meninggal. Luka yang sama, rasa kaget yang sama. Rasanya seperti berdiri di ambang lelap dan terjaga, saya menangis sesenggukan. Rasanya seperti ada sesuatu yang tiba-tiba direnggut ketika semuanya sedang baik-baik saja. Mimpi yang sakitnya terasa nyata.<br />
Kejadiannya, saya lupa kapan. Tapi mimpi itu cukup mengubah perspektif saya sampai hari ini, tentang kematian dan apa yang penting dalam hidup.<br />
Betapa kita semua dekat—atau setidaknya, semakin dekat—dengan kematian. Tak perlu menunggu tua untuk sampai pada kematian, pun tak perlu menunggu sakit parah. Bagaimanapun, jika mau dibilang takdir, ya namanya juga takdir, setidak peduli apapun kita akan sampai pada saatnya. Tapi, apa mau sampai begitu saja tanpa meninggalkan kesan yang berbeda?<br />
Beberapa kali saya melihat kematian-kematian yang dipenuhi tangisan dan kenangan yang baik-baik. Saya bukan orang yang ahli ibadah, dan beruntungnya pernah mendengar seseorang yang pandai ibadah berkata, “Kalau ibadahmu pas-pasan, bikin pondasi yang kuat dari hubunganmu dengan manusia lain”. Terlepas dari benar tidaknya, saya lumayan setuju, walaupun pendapat ini masih bersifat duniawi.<br />
Lalu timbul pertanyaan sederhana, tetapi cukup ngeri juga karena sebelumnya tak terlalu peduli dengan pertanyaan semacam ini: Kalau saya sampai pada saatnya, apa yang bisa dikenang dari saya? Apa saya layak dikenang sebagai seseorang yang baik?<br />
Saya bukan orang yang pandai dan terlalu bermanfaat juga untuk orang lain. Saya tidak melakukan perkembangan apapun, improvisasi apapun untuk menguntungkan lingkungan saya. Saya bukan orang yang mudah basa-basi dan bergaul dengan orang lain. Saya bukan orang yang hangat. Kesemua itu, membuat saya tak terlalu percaya diri bahwa nantinya saya bisa menjadi orang yang layak dikenang.<br />
Saya terus fokus pada pertanyaan itu. Apa yang bisa dikenang dari saya?<br />
So, this is what happened to me in these past few weeks: doing the best of myself to make everyone’s happy when I was around. Setiap orang pasti memiliki potensi untuk membahagiakan orang lain dengan caranya masing-masing. Saya tidak berharap yang ketinggian, dengan cara sesederhana membuat orang-orang di sekitar saya bahagialah saya ingin dikenang sebagai seseorang yang baik dan pernah memampirkan bahagia selama ada di sekeliling mereka. Sambil selalu berpikir, bahwa ini yang terakhir. Saya jadi ingat ketika saya masih ada di alunan masa-masa Sekolah Dasar, seorang guru pernah berkata dengan begitu fasihnya, melafalkan dengan hati, bahwa kita harus melakukan segala sesuatu dengan baik seolah itu adalah kesempatan terakhir kita melakukannya.<br />
Karena itu pula belakangan ini saya lebih sensitif, dalam arti yang baik. Saya begitu berhati-hati dan tidak ingin melukai orang lain. Karena, siapa tahu, kapanpun bisa menjadi saat terakhir kita untuk berinteraksi dengan orang tersebut. Entah dia atau kita yang mendahului. Menanam luka jangan terlalu lama. Karena kita tidak tahu apa besok masih diberi kesempatan untuk memaafkan atau dimaafkan.<br />
Saya tak berharap ketinggian juga. Tapi setidaknya, dengan perspektif seperti ini saya merasa menjadi orang yang lebih baik untuk diri saya sendiri (dan mungkin untuk orang-orang di sekitar saya). Betapa saya harus memberikan esensi yang baik pada waktu-waktu yang saya lalui. Pada berbagai hal yang terjadi dalam hidup saya, di menitnya, di detiknya.<br />
Bukankah kita berhak atas keberartian? Berhak atas menjadikan diri sendiri lebih berarti untuk orang lain? Berhak melayakkan diri untuk dikenang? Bersulang, untuk hidup yang tak dirayakan dua kali ini.Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-7255200006496038102016-05-29T14:40:00.001+07:002016-05-29T20:26:59.979+07:00Surat Sepenggal<br />
.....<br />
<br />
Kenapa Papa harus sebegitu komplitnya menjadi Ayah buat saya? Pa, saya suka cara Papa menolak permintaan saya. Saya suka Papa mengajarkan saya menunggu datangnya hal-hal baik yang worth waiting for. Saya suka cara Papa mengajarkan saya untuk sabar dan mandiri. Untuk jangan pernah berhenti mencoba meskipun gagal berkali-kali. Untuk terus meyakinkan bahwa saya bisa dan saya harus yakin bahwa saya bisa. Untuk selalu memberi saya kepercayaan bahwa saya punya kontrol untuk menjaga diri sendiri. Saya suka euforia yang Papa ciptakan setiap kali saya bisa melakukan, menyelesaikan, dan mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya suka segala sesuatu yang Papa terapkan terhadap saya. Saya tumbuh menjadi perempuan yang dibentuk dengan nilai-nilai yang begitu baik.<br />
<br />
Pa, apa yang terjadi kalau waktu itu pengobatan berjalan dengan baik dan Papa kembali sehat sampai hari ini dan seterusnya? Mungkin saya akan sangat bahagia, namun sekaligus menjadi produk gagal. Gagal ditempa masalah. Gagal menghadapi masalah. Semua ini, Pa, semoga cepat diberi titik terang. Ini hanya bagian kecil, Pa. Kapan-kapan lagi kalau ada waktu bertatap muka. Di mimpi, mungkin kita bisa lebih banyak bicara.<br />
<br />
Pa, Selamat Hari Ayah. Datanglah sekali-sekali ke mimpi mereka, katakan kalau saya bisa. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
-------------------------------------<br />
<i>Surat untuk Papa yang mengendap di laptop saya, ditulis 12 November 2014.</i>Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-25954885907461781492016-05-03T22:28:00.002+07:002016-05-03T22:28:36.233+07:00Menerka JayaJaya menatap ilustrasi dirinya yang samar terbentuk di balik kaca. Tak seperti orang-orang yang terlihat sibuk di sekitarnya, ia tak mengenakan pakaian rapi pukul enam pagi. Apa yang dilakukan Jaya? Siapa Jaya?<br />
Itu tak penting. Sungguh, baginya, siapa Jaya bukanlah hal yang penting dan menarik untuk diceritakan. Jaya adalah apapun yang bersarang pada persepsi orang ketika memandangnya.<br />
Dengan pakaian yang compang-camping, orang menganggapnya pengemis muda yang baru terjaga setelah mimpi panjangnya sebagai milioner semalam. Tapi Jaya tampak mengenakan jam tangan berbahan tali dari kulit asli dan kuning keemasan mengikat manis bingkainya. Tampak baru. Maka orang akan mengira bahwa Jaya adalah anak orang kaya yang baru kembali dari malam gemerlapnya di sebuah bar, tanpa tergagas ide akan menjadi pria seperti apa ketika bangun dalam keadaan mabuk paginya.<br />
Uraian tentang Jaya, bukanlah hal yang penting. Dan apa yang dipikirkan orang tentangnya jauh lebih tak penting. Ia jalan tertatih seperti begitu lelah. Tapi, benar juga. Ia tak tahu seperti apa hidupnya akan berlanjut kemudian, sepuluh jam ke depan, atau sepuluh menit kemudian.<br />
Bukankah hidup adalah sebuah taruhan besar di atas meja judi? Begitu sebaris kalimat yang pernah dibacanya, dituliskan oleh keresahan dan keputusasaan si penulis tentang hidupnya sendiri. Dan perempuan-perempuan nakal yang menggenapkan bahagianya hanyalah redup nyala lilin yang akan kembali menggelapkan Jaya ketika hasrat mereka telah habis masanya. Jaya mengendus hidupnya, entah.<br />
Bahkan bayangannya saja hanya muncul samar, malu dan tak mau terlibat banyak di balik kaca. Enggan menjelaskan siapa Jaya. Barangkali Jaya memang apapun yang bersarang pada persepsi orang ketika memandangnya.<br />
Pukul setengah dua dini hari, saya menulis ini sebab Jaya tiba-tiba tercipta di kepala saya sedari tadi. Sebab saya terus berusaha menemukan cerita untuk Jaya yang terlihat gundah memandang dirinya di balik kaca dan tak mengenakan pakaian rapi pukul enam pagi.<br />
<div>
<br /></div>
Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-5844417895011645992016-01-02T14:23:00.000+07:002016-01-02T14:23:11.401+07:00Runyam<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sembari
dininabobokan oleh waktu, kepalanya dirajam oleh pikiran-pikirannya sendiri.
Tentang bagaimana semestinya jika bla-bla dan bla. Matanya tak pernah
benar-benar terlelap ketika malam. Bahkan suara udara yang mengapung bebas di
ruangan pun terasa bisa didengarnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Runyam, </span></i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">batinnya.
Entah mengatakan untuk apa atau untuk siapa. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bisa
jadi, untuk pekerjaannya yang tak terselesaikan akhir-akhir ini <i>sehingga</i> memantik amarah-amarah baru dan
menciptakan karakter-karakter monster baru di lingkungannya. <i>Sehingga—</i>sekali lagi—ia membatin satu
kata runyam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Atau
untuk kisah cintanya yang tak pernah berakhir dengan sebuah perayaan atau
penyelenggaraan kecil seperti hari jadi atau yang lainnya. <i>Sehingga</i>—lagi-lagi <i>sehingga</i>—ia
membatin satu kata runyam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Atau
untuk—apa saja bisa. Sebab kau tahu bahwa—seperti yang telah kutulis di awal—kepalanya
sedang dirajam oleh pikiran-pikirannya sendiri. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sementara
di luar jendela kamarnya, kembang api bertaburan. Melesat jauh ke angkasa tanpa
suara. Sebab sejelas-jelasnya suara yang memenuhi isi dirinya saat ini hanyalah
suara udara yang mengapung di ruangannya. Juga suara pikiran-pikiran yang turut
merunyamkan kepalanya sendiri.<o:p></o:p></span></div>
Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-62160730492442898782015-12-27T14:30:00.003+07:002015-12-27T14:35:17.058+07:00Reinkarnasi<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Untuk itulah Kirana—yang begitu yakin dengan
dua hal: pertama, tentang adanya kehidupan kedua setelah manusia menjadi jasad;
kedua, bahwa kehidupan keduanya jutaan kali lipat lebih hebat dari yang ia
miliki sekarang—menanggalkan semua pakaiannya dan menyelam. Ditenggelamkannya dirinya
ke samudera, pada satu dini hari yang sunyi dan gelap pekat. Hanya telinga dan
kulitnya dua indera yang diandalkannya saat ini untuk memastikan sejauh apa
dirinya telah menyelam. Seberhasil apa dirinya telah tenggelam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pada titik jenuh terendah, yang Kirana
inginkan hanya satu, yakni agar lebur jiwanya dan terlahir baru. Di balik
ketidakmampuannya untuk berenang, hatinya mewanti-wanti kepada Tuhan agar tak
mati dengan rasa sakit akibat air menyesaki paru-parunya. Agar ruhnya segera
berpindah ke janin tiga bulan yang tengah dikandung seseorang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kirana siap menjadi seseorang yang baru
demi meninggalkan abu masa lalunya yang tak kalah sunyi seperti pukul satu dini
hari. Perkara Surga atau Neraka, dipikirnya nanti saja.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Empat hari kemudian, seorang wanita
ditemukan mengapung di perairan tanpa sehelai pakaian, tanpa selembar identitas
apapun. Media menghimbau warga sekitar dan sekitarnya sekitar untuk segera
melapor jika ada keluarganya yang menghilang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tapi,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tak ada yang peduli dengan Kirana yang
malang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pun nasib ruhnya terkatung-katung—tak ada
yang tahu pasti ke mana Tuhan memberi rujukan kepada ruhnya untuk pergi. <o:p></o:p></span></div>
</div>
Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-78693453136251205042015-12-20T15:00:00.000+07:002015-12-20T15:00:03.309+07:00Cerita Runi<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Jika
bisa memilih akan menjadi semenarik apa dirinya lima hingga sepuluh tahun yang
akan datang, dengan iris matanya yang selalu berbinar cokelat susu, ingin dijawabnya
dengan lantang bahwa Runi ingin semenarik jeruk.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Ketika
Runi menginginkan sesuatu, siapa yang membutuhkan alasan?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Maka
keesokan harinya, badan Runi yang kecil mengisi kostum bundar oranye berbentuk
jeruk. Di panggung, Runi sepakat dengan dirinya bahwa tak masalah tak
mendapatkan peran utama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Terpenting,
dia senang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Karenanya,
panggung tak lagi pucat dan membosankan dengan drama putri dan pangeran yang
jutaan kali ditayangkan. Tak jadi soal bagaimana cerita akan berakhir. Yang
penonton tak pernah bisa lupa, di drama yang biasa-biasa saja itu, ada jeruk
menari-nari lucu di belakang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Ketika
Runi menginginkan sesuatu, siapa yang bisa menuntut segala sesuatu harus bisa
masuk akal?</span></div>
Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-65331322660099034192015-09-27T18:33:00.003+07:002015-09-27T18:33:52.600+07:00Reblog: The One Who Never Leaves
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">All of us have that one person in our
lives: the one who never leaves.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">The one who never leaves is both always
and never around. He is here, but at the same time, he isn’t.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">You cannot hold his hands or kiss his
cheek or hug him from behind anytime you like. He is not going to text-flirt
you or call you every single day or pick you up for a night-out (that will end
up with an episode of snuggling in a couch, talking about dead authors and
unheard poems). He may not give you presents on your birthdays or send you
postcards from faraway places when he travels. You cannot run to him when
you’re having a breakdown and cry on his shoulders–seeking a familiar comfort
on the slope of his neck that you have known by heart.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">At first, you think you love and hate
him with a more or less similar intensity. However, the more you try to hate
him, the more you realize that you can’t. Of course, he is not perfect. He has
his own flaws. He has his own issues. But he has also loved you and hurt you so
deep, to the extent that both the love and the wounds have transformed you
completely–you will never see the world the same way ever again.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">And then you get it.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">You can’t hate him simply because you
love him too much to be able to hate him. After all the ups and downs,
fireworks and turmoils, late night romance and silent tears, no matter how sad
and lonely you feel, deep down inside you know that all you really want is for
him to be happy. It surprises you, at times, that you are actually capable of
loving someone that way.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">The one who never leaves will always be
around as you’re stepping into the milestones of your life: a relocation to an
exotic country, an international best-selling book, an around-the-world trip
for a year, a death in the family, an engagement, a marriage, a first child. He
may be there to congratulate or console you (either in person or via Facebook),
or he may not. But you know that he is (and will always be) the first person
that comes to mind when you’re having these big moments in your life. And for a
while, in the midst of euphoria or tragedy, he reminds you of the person you
were, the person you always are, and the person you choose to be.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">The one who never leaves is there inside
of you as you’re listening to your favorite songs. When you’re visiting
beautiful places and dancing with beautiful strangers. When you’re having a cup
of coffee, gazing out the window, and realizing that you’re looking at such a
lovely view. He is in your heart when you’re spending your time doing the
things you love, as you’re falling in and out of love with somebody new, when
you finally have the courage to kiss someone and be vulnerable again after a
long time.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">You know that this is how the two of you
are: that you have gone your separate ways and lived your separate lives. No
matter how close you are to the one who never leaves, there is also a distance
now–one that is not merely physical–that you cannot trespass; unless he allows
you to. But you will never know if that will happen, or whether you would want
to cross that distance once again. So you are moving on with your life, your
heart has healed from its swells and bruises and only gotten stronger.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">If you’d like to be really honest, there
will always be a glimmer of hope, no matter how faint, that the one who never
leaves will be the one you can hold and hug and kiss every single day, the one
you can cuddle and snuggle with whenever you feel like it, the one you can wake
up to in the morning and fall asleep with at the end of a lovely evening. But
soon, you ditch that hope and smile as you slip into another sunny day of
yours, knowing that life is good the way it is. He has appeared in your life
and you know that it’s enough of a blessing in itself.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Today, whether he’s here or not does not
really matter anymore–and it does not bother you at all. Because despite
everything, you know that he will always be the one who never leaves.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Reblogged
from beradadisini.com</span></i></div>
<br />Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-5222760370578748432015-09-24T13:01:00.002+07:002015-09-24T13:01:50.917+07:00Sehingga
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
Saya akan lupa, bagaimana asyik rasanya mencipta
karakter baru, membaginya ke paragraf-paragraf cerita, membakar emosi lewat
kata-kata. Saya akan lupa, bagaimana keinginan untuk lari dan pergi, dan mati
hingga hidup kembali, hanya bisa dinikmati secara tak nyata. Saya akan lupa
bagaimana asyiknya suatu hari jari-jari saya keras mengetik, berusaha
membahasakan selaput kaca di dua mata.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
Karena ternyata selalu ada saja orang-orang yang bisa
diajak bercakap dan berbagi segalanya.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
Karena berbicara lebih menenangkan daripada
mengendap-endap di balik cerita.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
Karena jatuh hati tak harus berakhir dengan patah
dan remuk redam.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
Juga karena luka ternyata bisa disembuhkan.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
Sehingga saya akan lupa, bagaimana asyik rasanya
menanam benci dari balik cerita.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<br /></div>
<br /></div>
Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6305733353872042532.post-16794752442087220912015-08-09T14:20:00.003+07:002015-08-09T14:25:46.999+07:00Sejarak<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Tuhan berada sedekat Senin dan Selasa
denganku”, katamu sambil melipat sajadah seusai melaksanakan ibadah Duhur. Kau
tak pernah lepas beribadah. Begitu adzan berkumandang, Tuhan-lah yang kau cari
pertama kali. Sungguh tak ada hal lain lagi yang lebih penting.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tapi sore itu, kau ditikam seseorang.
Darahmu tertahan di sana, di pakaian kerjamu yang berwarna abu-abu. Menurut
para saksi mata, hanya sepersekian detik lamanya pisau itu dihunus lalu dicabut—dan
kau kehilangan nyawa. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Mungkin Tuhan hanya berjarak ayunan
detik pertama dan detik kedua saja denganmu. Begitu dekat. Begitu erat. Tak
dibiarkan-Nya kau pergi ke mana-mana selain berbaring di sisi-Nya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-indent: 1cm;">Pada setiap waktu di mana adzan sedang
bersahut-sahutan memanggil kami untuk bergegas melepas duniawi, ketenanganmulah
yang kudoakan pertama kali.</span></div>
</div>
</div>
Putripushttp://www.blogger.com/profile/16517122108267846393noreply@blogger.com3