Minggu, 08 Desember 2013

Nol

Kembang kempis dadanya melakoni peran sebagai pintu keluar-masuk udara. Keringatnya tumpah bercucuran, seukuran biji-biji jagung yang menetas dan meluncur bebas di bajunya. Larinya terhenti. Lelahnya mamanas hingga ke ubun.
Telah basah sekujur tubuhnya, dihantam rasa ingin tahu berkepanjangan yang membuatnya berlari mengejar jawaban. Larinya tak pernah melambat, belum pernah hingga hari ini. Ada yang dirasakannya perlu diredam. Tentang marahnya yang ia simpan bertahun-tahun. Tentang lantang suaranya yang ia jaga hanya untuk batinnya sendiri. Tentang semua amuk yang selalu ia pertahankan terkubur jauh di dalam egonya.
Larinya terhenti. Ribuan kilometer jauhnya, ia meninggalkan banyak hal besar yang kini menjadi titik-titik buram di belakang sana. Nafasnya masih saling memburu, seolah ia sedang berlayar ke bulan tanpa persediaan oksigen yang cukup. Badannya terbungkuk, menumpukan kedua tangannya pada lutut yang sakitnya bukan main. Pelarian yang sejauh ini, belum pernah ia berencana melakukannya. Tapi apa yang terjadi ia biarkan sudah. Tinggal bagaimana ia harus mempertanggungjawabkan puluhan kilometer yang ia tempuh ini.
Dirogohnya saku celana kanan dan kirinya. Nyaris lupa, ia sudah tak punya apa-apa. Pun botol air mineral telah lama ia tinggalkan karena dirasa membebani dan hanya akan memperlambat laju larinya. Ia kini seperti atlit salah jalur, berlari tanpa tahu ke mana arah yang akan ditempuhnya.
Ini seperti mimpi. Baru ia sadar ini seperti mimpi.
Ia tak sedang memijak apa-apa selain sepatu larinya. Ia sedang tak berada di mana-mana selain ruang putih yang begitu kosong. Tak nampak ada batas di manapun. Tak ada siapa-siapa di sekitarnya, ia seperti terlahir baru di sebuah keterasingan.
Setelah udara berhasil ia kumpulkan untuk mengisi kembali paru-parunya, ia kembali berjalan. Di ruang sesunyi ini, bahkan apa yang sedang carut marut di dalam kepalanya pun sanggup ia dengar bergema. Suara lain yang lebih nyata adalah langkah kakinya yang seolah menginjak ranting-ranting gugur di hutan, padahal ia hanya menginjak udara kosong.
“Di mana ini?” tanyanya berkali-kali. Tak satupun suara lain menjawab selain kesunyian lagi. Dilukiskan pandangannya lebih tajam ke segala arah. Putih. Semua putih. Seperti ia buta, hanya saja buta yang lain dari biasanya.
Tapi, tunggu. Ada yang berbeda. Segala putih di sekitarnya meredup, redup, red—seketika gelap total.
Kabarnya, seorang pelari ditemukan meninggal di sebuah jalan raya yang sepi. Meninggal karena kelelahan. Lelah menjalani tujuh tahun hidupnya untuk lari dari kenyataan.


0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com