Kembang
kempis dadanya melakoni peran sebagai pintu keluar-masuk udara. Keringatnya
tumpah bercucuran, seukuran biji-biji jagung yang menetas dan meluncur bebas di
bajunya. Larinya terhenti. Lelahnya mamanas hingga ke ubun.
Telah
basah sekujur tubuhnya, dihantam rasa ingin tahu berkepanjangan yang membuatnya
berlari mengejar jawaban. Larinya tak pernah melambat, belum pernah hingga hari
ini. Ada yang dirasakannya perlu diredam. Tentang marahnya yang ia simpan
bertahun-tahun. Tentang lantang suaranya yang ia jaga hanya untuk batinnya
sendiri. Tentang semua amuk yang selalu ia pertahankan terkubur jauh di dalam
egonya.
Larinya
terhenti. Ribuan kilometer jauhnya, ia meninggalkan banyak hal besar yang kini
menjadi titik-titik buram di belakang sana. Nafasnya masih saling memburu,
seolah ia sedang berlayar ke bulan tanpa persediaan oksigen yang cukup.
Badannya terbungkuk, menumpukan kedua tangannya pada lutut yang sakitnya bukan
main. Pelarian yang sejauh ini, belum pernah ia berencana melakukannya. Tapi
apa yang terjadi ia biarkan sudah. Tinggal bagaimana ia harus
mempertanggungjawabkan puluhan kilometer yang ia tempuh ini.
Dirogohnya
saku celana kanan dan kirinya. Nyaris lupa, ia sudah tak punya apa-apa. Pun
botol air mineral telah lama ia tinggalkan karena dirasa membebani dan hanya
akan memperlambat laju larinya. Ia kini seperti atlit salah jalur, berlari
tanpa tahu ke mana arah yang akan ditempuhnya.
Ini
seperti mimpi. Baru ia sadar ini seperti mimpi.
Ia
tak sedang memijak apa-apa selain sepatu larinya. Ia sedang tak berada di
mana-mana selain ruang putih yang begitu kosong. Tak nampak ada batas di
manapun. Tak ada siapa-siapa di sekitarnya, ia seperti terlahir baru di sebuah
keterasingan.
Setelah
udara berhasil ia kumpulkan untuk mengisi kembali paru-parunya, ia kembali
berjalan. Di ruang sesunyi ini, bahkan apa yang sedang carut marut di dalam
kepalanya pun sanggup ia dengar bergema. Suara lain yang lebih nyata adalah
langkah kakinya yang seolah menginjak ranting-ranting gugur di hutan, padahal
ia hanya menginjak udara kosong.
“Di
mana ini?” tanyanya berkali-kali. Tak satupun suara lain menjawab selain
kesunyian lagi. Dilukiskan pandangannya lebih tajam ke segala arah. Putih.
Semua putih. Seperti ia buta, hanya saja buta yang lain dari biasanya.
Tapi,
tunggu. Ada yang berbeda. Segala putih di sekitarnya meredup, redup, red—seketika
gelap total.
Kabarnya,
seorang pelari ditemukan meninggal di sebuah jalan raya yang sepi. Meninggal
karena kelelahan. Lelah menjalani tujuh tahun hidupnya untuk lari dari
kenyataan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)