Selasa, 24 Desember 2013

Pecundang

Bukankah segala jenis pecundang—pada akhirnya—akan kalah di medan perang?
Map biru tua masih ada di tangan kanan, masih lengkap isinya, tapi makin kusut tiap jamnya. Makin cocok dikatakan sebagai tisu untuk telapak tanganku yang mudah berkeringat. Dan makin tak berfungsi untuk menyimpan berkas-berkas melamar pekerjaan.
Aku melonggarkan ikat pinggangku yang mencekat perut buncit sedari pagi. Tak ada alasan untuk berhenti, sebetulnya, kalau aku mau mengesampingkan alasan lapar, lelah, dan putus asa. Hari semakin siang dan teriknya makin mengganas. Jalan yang harus ditempuh masih panjang. Baru empat dari sembilan perusahaan yang harus kusambangi untuk menitip nasib. Belum setengahnya, aku sudah di ambang menyerah.
Kipas-kipas sejenak, member kesempatan bulir-bulir keringat untuk terjun bebas.
“Jangan berhenti di tengah jalan,” pesan istriku tadi pagi, ketika aku hendak pergi dengan pakaian rapi. Tentu bukan perkara mudah mengiyakan ucapnya. Mencari pekerjaan, bisa jadi merupakan pekerjaan tersulit sebelum tercebur langsung ke dunia kerja nyata. Aku bisa berkata demikian, sebab ini bukan kali pertama aku bergabung di masa pencarian.
Tak kugunakan masa-masa santai di rumah demi menghamburkan uang dari satu metromini ke metromini selanjutnya, naik bajaj atau angkutan umum, dari satu tempat ke tempat lainnya. Rupiah-rupiah yang bisa kugunakan untuk membelikan makanan enak untuk istriku, terbuang sia-sia untuk merantau mencari pekerjaan. Ah, tak sia-sia sebenarnya, hanya saja belum ada rezeki lain yang menggantikan sehingga pepatah besar pasak daripada tiang adalah pepatah nomor satu yang sedang melingkupi perekonomian keluarga kecilku.
Masih sepuluh menit aku duduk, entah ini bisa dikatakan buang-buang waktu atau justru menjaga waktu dengan baik. Lelah belum kunjung reda. Bukan perjalannnya, tapi beberapa kegagalan pada pencarian-pencarian sebelumnya. Juga caci dan maki mertua yang dinyanyikan melalui sindiran-sindiran halus, dengan memberi kami pakaian-pakaian bekas yang masih layak pakai, misalnya. Seolah kami tak sanggup membeli yang baru meski murah, seolah aku tak sanggup membelikan yang baru meski murah. Kalau sudah begitu, aku dan istriku tak bisa menolak, berkah sekaligus aib ketidakmampuan kami.
Ada hal-hal yang tak bisa kita hindari memang, dalam perjuangan untuk bertahan melawan hidup. Terdengar berat, tapi—ya—kau harus punya sesuatu untuk memberi makan keluargamu. Tak akan bisa kau membeli beras, pakaian, menyewa kontrakan, mempersiapkan kelahiran anakmu, hanya dengan cinta. Cinta omong kosong. Ini tahun 2013. Berapa juta penduduk sedang bergerak menjadi pesaingmu di kehidupan nyata untuk berebut uang-uang yang hanya beberapa rupiah? Berapa juta?
Dan aku masih duduk di sini. Bisa jadi, kesempatanku di perusahaan yang selanjutnya hendak kudatangi, tengah diserobot orang dan rezekiku melayang. Aku mendengus. Mungkin sebaiknya memang harus kutamatkan kuliahku dua tahun yang lalu, demi ijazah untuk modal utama menghidupi keluarga baru yang keuangannya masih gersang ini. Tak keburu malas dan menuruti nafsu untuk cepat-cepat menikah. Bisa-bisa, usia pernikahanku pun akan dipercepat oleh mertuaku yang khawatir anaknya tak akan hidup sejahtera bersamaku.
Jangan berhenti di tengah jalan.
Tentu tidak. Aku hanya sedang menepi.
Karena jalan masih sangat panjang. Dan aku bukan pecundang.


Minggu, 08 Desember 2013

Nol

Kembang kempis dadanya melakoni peran sebagai pintu keluar-masuk udara. Keringatnya tumpah bercucuran, seukuran biji-biji jagung yang menetas dan meluncur bebas di bajunya. Larinya terhenti. Lelahnya mamanas hingga ke ubun.
Telah basah sekujur tubuhnya, dihantam rasa ingin tahu berkepanjangan yang membuatnya berlari mengejar jawaban. Larinya tak pernah melambat, belum pernah hingga hari ini. Ada yang dirasakannya perlu diredam. Tentang marahnya yang ia simpan bertahun-tahun. Tentang lantang suaranya yang ia jaga hanya untuk batinnya sendiri. Tentang semua amuk yang selalu ia pertahankan terkubur jauh di dalam egonya.
Larinya terhenti. Ribuan kilometer jauhnya, ia meninggalkan banyak hal besar yang kini menjadi titik-titik buram di belakang sana. Nafasnya masih saling memburu, seolah ia sedang berlayar ke bulan tanpa persediaan oksigen yang cukup. Badannya terbungkuk, menumpukan kedua tangannya pada lutut yang sakitnya bukan main. Pelarian yang sejauh ini, belum pernah ia berencana melakukannya. Tapi apa yang terjadi ia biarkan sudah. Tinggal bagaimana ia harus mempertanggungjawabkan puluhan kilometer yang ia tempuh ini.
Dirogohnya saku celana kanan dan kirinya. Nyaris lupa, ia sudah tak punya apa-apa. Pun botol air mineral telah lama ia tinggalkan karena dirasa membebani dan hanya akan memperlambat laju larinya. Ia kini seperti atlit salah jalur, berlari tanpa tahu ke mana arah yang akan ditempuhnya.
Ini seperti mimpi. Baru ia sadar ini seperti mimpi.
Ia tak sedang memijak apa-apa selain sepatu larinya. Ia sedang tak berada di mana-mana selain ruang putih yang begitu kosong. Tak nampak ada batas di manapun. Tak ada siapa-siapa di sekitarnya, ia seperti terlahir baru di sebuah keterasingan.
Setelah udara berhasil ia kumpulkan untuk mengisi kembali paru-parunya, ia kembali berjalan. Di ruang sesunyi ini, bahkan apa yang sedang carut marut di dalam kepalanya pun sanggup ia dengar bergema. Suara lain yang lebih nyata adalah langkah kakinya yang seolah menginjak ranting-ranting gugur di hutan, padahal ia hanya menginjak udara kosong.
“Di mana ini?” tanyanya berkali-kali. Tak satupun suara lain menjawab selain kesunyian lagi. Dilukiskan pandangannya lebih tajam ke segala arah. Putih. Semua putih. Seperti ia buta, hanya saja buta yang lain dari biasanya.
Tapi, tunggu. Ada yang berbeda. Segala putih di sekitarnya meredup, redup, red—seketika gelap total.
Kabarnya, seorang pelari ditemukan meninggal di sebuah jalan raya yang sepi. Meninggal karena kelelahan. Lelah menjalani tujuh tahun hidupnya untuk lari dari kenyataan.


Kamis, 28 November 2013

Negosiasi

“Luka itu membuat seseorang menjadi lebih peka”
Ibu menuangkan teh hijau yang diseduhnya dengan daun mint, asapnya mengepul seperti amarah yang lama diredam. Segelas tanpa gula, disuguhkannya padaku yang baru datang untuk mampir sebentar.
Ibu lalu duduk di seberangku. Kedekatan kami hanya terbagi oleh meja rotan bundar di teras rumah. Hujan belum mau berhenti turun. Jaket tebal makin kurekatkan agar hangat terjalin di kulit-kulitku yang sejak kecil tak pernah betah dengan hawa dingin.
Sebuah pemantik berwarna ungu pastel diraih Ibu, lalu dibakarnya ujung sepuntung rokok. Sungguh Ibu selalu menyukai perpaduan yang aneh. Rokok dan teh, atasan merah dan bawahan kuning, kipas angin yang terus menyala di hari yang begitu dingin. Tak pernah ia menyukai hal-hal yang sepadan dan semestinya. Seperti juga…
“Kalau kamu belum pernah terluka, bagaimana bisa—suatu hari nanti—kamu mewaspadai sebuah luka akan datang,” lanjutnya lagi. Asap pecah-pecah keluar dari bibirnya yang menghitam. Entah dari mana Ibu memiliki keahlian menghisap rokok. Bahkan kakak lelakiku tak lebih mahir daripada dia.
“Tapi ini lain persoalan, Bu,” ujarku. Perkataan Ibu sama sekali benar, tak berhak disanggah. Tapi, Ibu tidak seharusnya mengatakan itu.
“Sama. Sama saja. Kesalahanmu juga melukai aku sebagai ibumu, Ras,” nada bicaranya mulai meninggi, entah menempati posisi tangga nada keberapa, yang jelas aku mulai tak suka. Diteguknya teh hijau yang asapnya sudah mulai kabur satu per satu. Seteguk saja, tak lebih. “Lantas kau minta Ibu untuk memberi maaf? Aku rasa, luka yang kamu tanamkan di hati ini, Ras, membuatku berhati-hati lagi untuk menerimamu kembali menjadi anakku.”
Ada gong yang begitu besar, seolah terpukul tepat di sebelah kedua telingaku. Gemuruhnya telak menggetarkan tak henti-henti. Luka yang merambat ke mana-mana, hingga ke dada ibuku hingga aku tak memiliki porsi lagi di hatinya. Negosiasi ini tak akan pernah berakhir. Aku tetaplah anak yang tak dianggapnya anak, sebab satu kesalahan besar telah kulakukan: mendurhakai Ibu.
“Rumah ini bukan tempat singgahmu lagi, Ras. Tak perlu kau sempatkan waktu sebulan-dua bulan sekali untuk mampir. Aku dan abangmu baik-baik saja,” begitu katanya lirih, semakin lirik di penghujung kalimat. Entah getar apa yang kutangkap dari bibirnya, mungkin tangisnya hendak pecah. Tapi aku tahu benteng setinggi apa yang menahannya untuk tak luluh begitu saja.
Tehku tak kucicip sedikitpun. Tas ransel besar kuraih cepat, berdiri segera meninggalkan tempat. Tak dibutuhkannya aku di sini. Langkahku berusaha berlalu cepat, sementara Ibu tetap diam kaku di tempat duduknya, menahanku pun tidak. Bersamaan dengan pergiku, seorang lelaki justru melangkahkan kakinya masuk. Kami bersisian, matanya menatap mataku. Mata yang sama dengan mataku, mata warisan Ibu.
“Aras, mau ke mana?” tanyanya sambil masih memayungi diri dengan kedua tangannya. Suaranya lamat-lamat, lirih tertelan deras hujan. Justru yang sanggup kudengar adalah lantang suaranya lima tahun silam, saat ia meneriakiku yang masih bersungut marah usai menampar Ibu yang mengataiku pelacur.
Pada kenyataannya—ya—aku ini pelacur.
Siapa lebih dulu melukai siapa, entah.
Langkahku berlalu pergi, lebih cepat lagi.


Jumat, 22 November 2013

Erythrura Gouldiae

Pada beberapa pagi, ia berkicau dengan tulus hati. Sayapnya terkepak, warna-warni, seperti bunga-bunga bermekaran yang hendak pamer kecantikan. Pindah ke dahan satu, dahan yang lain. Tak henti-henti.
Begitu saja sampai siang.
Oh mungkin hatinya sedang riang. Hanya dia dan Tuhan yang tahu kelopak jenis apa saja yang sedang berkembang-kuncup di hatinya.

Jumat, 15 November 2013

Terjebak

Istriku tidak boleh melahirkan waktu libur panjang. Aku tak akan senang jika aku dikabari untuk segera pulang karena calon bayiku mendesak keluar pada hari-hari libur panjang. Aku—bapaknya—akan sangat kerepotan.
Kerepotan terdorong-dorong antrian panjang membeli tiket kereta api.
Kerepotan kalau-kalau tiket kereta api habis dilahap orang-orang yang hendak bertamasya ke luar kota.
Kerepotan kalau harus menunggu beberapa hari lagi untuk mendapatkan tiket kereta menuju kampung halaman.
Harusnya, istriku tidak boleh melahirkan waktu libur panjang.
Sudah lima hari ini aku kehabisan tiket kereta.

Dua hari yang lalu, anakku keluar dari rahim ibunya, tanpa sosok lelaki panutan nomor satu yang merangkul dan mengadzaninya.

Selasa, 12 November 2013

Hari Untukmu

Halo, Pa.
Beberapa malam lalu, kita sudah jalan-jalan dan makan durian bersama, ke bioskop lalu tidak menonton apa-apa kecuali menonton malam. Tidak berbagi cerita apa-apa kecuali berbagi diam. Berdua saja. Sepi.
Tapi hangat. Hangat yang sudah begitu jarang.
Selamat hari Ayah, Ayah kebanggaan nomer satu!

Jumat, 01 November 2013

Pesan Suara

Ia menulis suara-suara dalam amplop kecil putih yang tak lebih besar dari telapak tangannya. Sudah sebanyak empat puluh tujuh suara ia tuliskan dalam empat puluh tujuh amplop. Lalu disimpannya dalam sebuah kotak plastik kecil. Orang yang menyaksikan pilunya ia menulis belakangan ini akan paham, bagaimana besar rindunya perlu ia tumpahkan dalam surat-surat suara.
Laranya berkepanjangan. Dunia yang diketahuinya pada awal kelahirannya telah begitu banyak berubah. Belakangan ini orang makin jarang menggunakan bibirnya untuk bercakap dan menyediakan telinganya untuk mendengar. Semua orang memilih sibuk sendiri, apatis terhadap kaki-kaki yang lalu lalang di harinya masing-masing. Benda mati lah yang kini lebih sering bersuara. Engsel pintu yang dibuka, halaman-halaman buku cerita yang dibalik pembacanya, cangkir yang terantuk dengan meja ketika diletakkan, dan lain-lain.
Ia gusar. Sudah begitu lama ia tak mendengar suara anak dan suaminya. Dan ayah ibunya. Juga kakak adik dan sanak saudara lainnya. Mereka berjumpa fisik, namun tak ada hidup lain yang dibagi untuk masing-masing. Bertatap muka sekenanya, lalu lebur kembali dalam sunyi.
Surat-surat suara itu ia susun tiap malam, sejak empat puluh tujuh malam terakhir ia merasakan kerinduan yang begitu besar terhadap bagaimana orang-orang terdekatnya berbicara. Sudah terlalu lama dunia hening, dan hatinya merasa begitu sepi.
Besok, ia hendak pergi ke kantor pos, mengirim amplop-amplop kecil itu untuk empat puluh tujuh orang yang dirindunya. Bahkan untuk anak dan suaminya yang tinggal seatap bersamanya. Berharap, ketika surat-surat suara itu diterima dan amplop dibuka oleh yang tertuju, suaranya akan terdengar lirih menggetarkan.
“Ceritakan padaku banyak hal, aku rindu suaramu”



Kamis, 17 Oktober 2013

Rumahku yang Baru




Rumahku yang baru, terbuat dari kayu bercat putih. Bukan anggun, hanya saja tampak begitu manis. Kau tahu?
Rumahku yang baru, tak memiliki halaman di depannya. Maklum, saat ini rasanya tak realistis saja membuang-buang lahan hanya untuk pekarangan sementara kami masih memerlukan ruangan yang lebih untuk bergerak. Lagipula, kau tahu, bukan, kalau aku tak suka menanam? Menunggu benih menjadi rindang itu hal yang membuang waktu.
Rumahku yang baru, baru ditempati dua bulan. Tiap pagi, ada pedagang koran lewat berjalan kaki. Pak Tukin namanya. Senyumnya ramah sekali. Baru aku tahu kalau dia mengalami gangguan mental. Tapi tak mengapa, dua bulan berlalu dan senyumnya tak mengkhawatirkan.
Rumahku yang baru, ada satu ruangan khusus yang bercat biru muda. Biru muda di antara semua ruangan bercat putih. Untuk apa, coba kau tebak. Untuk calon bayi yang akan lahir. Kata dokter, laki-laki. Tak apa, kan laki-laki diarahkan untuk menyukai warna biru? Aku yang mengecatnya sendiri, dengan sepenuh hati. Hasilnya tak terlalu buruk.
Rumahku yang baru, aku suka sekali. Banyak suka cita di dalamnya. Meski masih asing dan tak luas, namun bahagianya seperti ketika kau ada di sini. Bersama surat ini, aku kirimkan foto rumahku yang baru. Semoga lekas kita bisa bertemu di sini.


Sore segera habis. Istriku merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum lebar di depan rumah majikannya yang baru. Angin mulai merambat masuk. Sepucuk surat itu kutinggalkan di atas meja, dan bergegas menutup jendela-jendela dengan spanduk-spanduk bekas merongsok.





Jumat, 04 Oktober 2013

Bermain Peran



“Kamu bawa bekal apa?” tanya Mira, sedikit melongokkan kepalanya ke kiri, mengintip apa yang tertata rapi di balik kotak makan Ema.
“Waaah” Mata Ema terbelalak, seolah kotak makannya berisi kejutan. “Mama membawakan aku burgel!” katanya. Sebuah roti bundar dengan isi tersusun rapi telah berjejal di kotak makan kuningnya. Mama menaruhnya lengkap dengan saus kemasan plastik kecil. Ukuran sebesar ini, sangat cukup mengganjal perut Ema yang kurus kecil. “Kamu, Mir?”
Mira mengerdikkan bahunya, tak tahu sama sekali. Mira menebak, mamanya dan mama Ema sama-sama suka menaruh kejutan untuk bekal anak-anaknya. Tiap hari menu yang dibawa tak pernah sama. Mereka kaya bukan main, saat anak lain hanya membawa bekal nasi-mi-telur, mereka membawa makanan-makanan orang dewasa. “Ayo kita buka! Satu, dua…” Mira membuka kotak makan birunya pelan-pelan sambil kembang kempis dadanya menebak-nebak. “Waaah” kali ini ia yang terbelalak.
Ema mengintip isi kotak Mira. Kue pipih bundar dengan saus dan daging di atasnya. Ada pula jamur-jamur kecil yang tak kalah seru menghiasi kue itu. “Pisa!” keduanya berteriak bersamaan. Tawa mereka keras dan bahagia, meski tertelan habis di udara.
“Kamu boleh minta burgel aku, tapi aku minta pisa kamu ya”
“Oke!”
Jalanan lengang di hari libur. Tak ada pendapatan dari mengamen atau menjual koran. Keduanya masih duduk di trotoar. Masih kusam. Masih menggunakan pakaian kumal.
Masih bermain peran sebagai dua anak berseragam putih-merah yang bertukar bekal di jam istirahat sekolah. Merasakannya tak pernah. Kotak bekalnya pun tak nyata.
Jalanan lengang di hari libur. Di sudut trotoarnya, dua gadis kecil meriangkan diri.

Rabu, 02 Oktober 2013

Ke Luar Angkasa



Ada hal-hal yang boleh dilakukan ketika kita melayang-layang di luar angkasa, di antaranya:
1.      Menari.
Siapa yang tak suka? Aku suka menari di pantai, ketika sedang sendiri, ketika ibu sedang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, ketika layar-layar perahu mulai terbit dari garis horizon laut lepas pertanda ayahku segera pulang. Aku suka menari di mana saja. Menari membuat bahagia!

2.      Makan biskuit.
Aku suka biscuit. Aku suka ketika makan biskuit di luar angkasa dan remah-remahnya melayang. Tak akan jauh berbeda dengan serbuk-serbuk bintang yang tersebar seperti biji-bijian bercahaya.

3.      Lari-lari
Di luar angkasa, tak ada jatuh yang menyakitkan. Sekeras apapun kamu tersandung, ya, di sana, kamu masih melayang tanpa perlu melihat darah tercecer dari dagu dan lututmu. Terjatuh dari ketinggian berapapun, kau terjatuh dengan selamat.

4.      Memetik bunga
Hal ini menarik, sebenarnya. Dan boleh kau lakukan di luar angkasa. Hanya saja, siapa yang sudah berhasil menumbuhkan bunga-bunga di atas sana?


Lili menulis sambil sesekali menguap. Kantuk menggelayuti kedua matanya. Tak lama, permukaan meja menggodanya bak bantal empuk yang nyaman dijadikan sandaran tidur.
Lili terlelap.
Terlelap.
Terlelap.
Asap lampu templok membumbung tinggi. Panas. Bakar. Membakar langit-langit rumah Lili.
Buku Lili ikut terbakar, pensilnya juga.
Rumah gubuk Lili terbakar.
Ibunya sedang bekerja, tak pulang-pulang. Ayahnya belum lama berangkat melaut.
Lili, terbakar.

***

Ada banyak hal yang boleh kau lakukan ketika sedang berada di luar angkasa. Tapi, ada satu hal saja yang tak boleh nekad kau lakukan: ke sana sendirian.
Di hening yang begitu merasuk, nyawa Lili melayang-layang di seantero galaksi.




Senin, 30 September 2013

Luruh


Rindu yang panjang, seperti kereta api yang hendak membawaku pulang. Pada jalurnya yang berkelok-kelok, pada kecepatannya yang konstan dan tak dapat dihentikan sering-sering. Ah, sudahlah. Memang nampaknya segala sesuatu yang telah dikemas, harus selamanya berada di sana tak peduli selama apa waktu akan membungkusnya.
“Kamu akan dibawa sejauh apa?” tanyamu kemarin malam, mengamatiku bergegas memasukkan barang-barangku ke dalam sebuah koper cokelat besar.  
Aku mengerdikkan bahuku, pertanda entah. Ketidaktahuan atas rencana-rencana yang direncanakan Tuhan. Rencanaku hanya bagian kecil yang tak penting dan tak akan merubah lihainya takdir-takdir Tuhan yang telah terancang rapi.
“Kamu bisa, kan, kembali lagi?” tanyamu lagi, gerikmu gelisah.
“Bisa, mungkin. Tunggu kabar saja”
“Jangan begitu, katakan sesuatu yang pasti”
“Tapi bisa saja aku tidak kembali”
“Pasti bisa”
“Sudah. Jangan khawatir”
Malam runtuh pelan-pelan. Seperti tembok yang terkikis masa, mulai mengelupas dan tak lagi sama. Kau menghabiskan tehmu sementara aku tak kunjung selesai berkemas. Barangku di rumahmu ada banyak sekali, berjejasl di setiap lemari.
Puntung-puntung rokok, pakaian dalam, sisir, kosmetik, biscuit sisa sebulan lalu, lego-lego kecil.
“Jangan semua kau bawa”
“Tak apa. Biar mereka tak menjadi bebanmu”
“Beban apa? Barang-barang kecil itu”
“Kalau aku tidak kembali, kamu akan melihat barang-barang ini tiap hari di rumahmu. Kamu akan sedih”
“Pasti kembali”
Pernah kau dengar tentang kepercayaan yang kabur? Larinya cepat sekali, seperti enggan ditemui lagi. Bukan padamu kesalahan terjadi. Padakulah. Semua orang, setelah ini, berhak menyalahkanku. Menyalak-nyalak mencaciku, menginjak-injakku di depanmu.
“Bagaimana kalau kita pergi sama-sama?”
“Tidak bisa”
“Aku bisa. Pasti bisa”
Aku menatap matamu yang bersungguh, seperti membaca kitab dalam waktu singkat, kutamatkan cepat-cepat bagaimana caramu memandangku. Mata yang sayu itu. “Tidak bisa” ucapku lirih.
“Ayo, menikah saja”

***

Kereta ini membawaku pergi. Jauh sekali.
Rindu ini masih saja berpulang padamu.
Sedang seorang pria menungguku dengan sabar di penghujung keretaku berhenti.

***

“Pernah kau dengar sebuah cerita tentang kepercayaan yang kabur? Larinya cepat sekali, seperti enggan ditemui lagi”
“Cerita dari mana?”
“Baru saja kubuat. Kamu harus mendengarnya”
Burung hantu bersemedi di ranting-ranting pohon. Kau mengecup dahiku sebelum terlelap mendengar ceritaku. Besok, aku menjadi kepercayaanmu yang kabur jauh.

Sabtu, 28 September 2013

Bunga Alamanda


Bunga alamanda kuning, terkatung-katung, terantuk di udara, menggantung seperti gaun-gaun peri yang hendak belajar terbang. Gagal, masih tergantung. Pada tangkai-tangkai hijau. Pada apapun yang menahannya.


Kamis, 12 September 2013

Koloni


Koloni-koloni itu, menyerbu tanpa ampun.
Sementara aku memohon-mohon ampun untuk tak diserbu.
Hidupku selesai begitu saja.


Dua Dekade


Pada satu dekade lalu kau memuja habis-habisan musik-musik klasik Frank Sinatra dan pada satu dekade berikutnya kau lebih memilih setia memuja habis-habisan istrimu yang baru melahirkan satu anak yang tampan dan terlihat mirip denganmu.
Ada Tuhan yang iri sambil menunggu untuk kau puja habis-habisan selama dua dekade.  

Sebuah Pagi dalam Satu Kalimat


Lelaki yang tinggal di jalan akasia nomor tiga puluh tujuh itu tiap pukul tujuh lewat tiga puluh lima menit pagi selalu meletakkan radionya di dekat jendela yang berbatasan langsung dengan teras depan rumahnya dan menyalakan lagu keras-keras sambil ia membersihkan debu-debu yang sedari malam tadi pelan-pelan tertiup angin lalu jatuh ke perabotan rumahnya.


Selasa, 03 September 2013

Bangun Pagi

Halo, Pa.
Dulu sekali, bukankah kita hobi bangun pagi? Lalu jalan-jalan yang agak jauh, berburu tiwul enak tak lama setelah matahari mulai naik. Tak lama setelah kota menjadi agak lebih terang dari menit-menit sebelumnya.
 Dulu sekali, bukankah Papa bilang, olahraga itu penting. Supaya aku tinggi dan sehat. Di ulang tahunku yang ke—entah, aku lupa—Papa belikan aku sepeda yang tinggi untuk orang besar. Tiap Minggu pagi, dulu sekali, Papa bangunkan aku pagi-pagi, menyuruh bersepeda. Biar tinggi, katanya.
Papa, dulu sekali. Papa sering ajak aku jalan-jalan. Udara pagi bagus sekali. Matahari terbit sewajarnya. Mungkin sangat cantik, layaknya matahari terbit di foto-foto itu. Mungkin sangat memukau. Tapi saat itu aku tak terlalu peduli. Lebih penting udara paginya dan jalanan masih begitu sepi, bukan pukul berapa matahari terbit atau bagaimana anggunnya benda itu merayap naik pelan-pelan di jauh sana.
Papa, pagi tadi, aku bangun pagi-pagi sekali. Sebenarnya, hanya demi bisa mengambil foto matahari terbit untuk hiasan di Instagram. Maklum, aku susah bangun pagi, Papa tahu itu, kan?
Dan, Pa, tahu tidak? Cantik sekali. Terbitnya—ternyata—cantik sekali. It reminds me of you and our Sunday morning hours. Am I too old to hope that I could turn back the time? Lalu kita jalan-jalan pagi lagi. Lalu aku tamatkan sungguh-sungguh bagaimana matahari terbit setelah subuh.
Bukan asal jalan.
Bukan asal bersepeda.
Bukan asal-asalan tak menikmati waktu-waktu saat aku masih bisa bersama Papa.
Yang aku sesali, aku tak pernah merekam sungguh-sungguh semua pembicaraan kita, kecuali di bulan-bulan terakhir hidupmu.
Malam lalu, akhirnya Papa datang di mimpiku ya, Pa. Mengemas semua barang dalam koper-koper besar, lalu pergi jauh.
Pa, kamu sudah terlalu jauh meninggalkan kami. Di mimpi saja, jangan pergi lagi.

Jumat, 30 Agustus 2013

Kemarin Matahari Terbit


Kemarin—akhirnya—matahari terbit.
Kau tidak bisa membayangkan kebahagiaan macam apa yang hinggap di desa kami, ketika—akhirnya—matahari terbit. Sinarnya seolah hinggap di wajah-wajah yang lelah menanti itu. Mereka bergegas, menyelesaikan hal-hal yang tak bisa dilakukan ketika matahari tenggelam begitu lama dalam dunia yang entah.
Perempuan-perempuan tambun berdaster itu segera mencuci pakaian-pakaian yang menumpuk selama sebelas hari. Mereka menjemurnya di tali-tali kawat dengan wajah suka cita.
Pria-pria berkumis sibuk berolahraga di luar. Matahari terbit. Waktu yang tepat untuk menguras keringat dan menyehatkan badan. Sebelas hari bekerja tanpa henti, pulang malam, makan banyak, lalu tidur. Sebelas hari mereka menimbun lemak di mana-mana. Istri mereka tak begitu senang dengan lemak yang terlalu.
Lain lagi dengan anak-anak itu, yang memilih bermain di luar. Sebelas hari tak ada matahari. Akhirnya matahari terbit. Kulit-kulit mereka yang tadinya terlalu kaku, perlahan mengendur. Waktunya bermain tanpa henti. Waktunya bersenang-senang di luar.
Kemarin—akhirnya—matahari terbit. Tak lama, sebentar saja.
Aku bisa melihat rasa syukur melayang di mana-mana.

Senin, 26 Agustus 2013

Tujuan


Pernahkah kamu sekali waktu bertemu dengan seseorang dan kamu tahu betul ada bagian dari dirinya yang perlu diperbaiki? Segala susah dan sedihnya, segala kusut dan rumitnya. Dan kamu merasa ingin mengerahkan usahamu untuk memperbaikinya, tanpa diminta. Dan kamu rela ketika pada akhirnya kamu harus melakukannya dengan tulus—memperbaiki segala kerumitan yang dia miliki—karena ketika itu kamu tahu: dia menjadi tujuan dari segala rasa dan pikirmu.
 



Kamis, 22 Agustus 2013

Tanya tak Berjawab


Apa yang menggantung di atas kepalamu itu—sekeras apapun kau berusaha menghapusnya—bukankah sesuatu yang dinamakan pertanyaan? Sudah berapa lama kau biarkan dia ada di sana seperti bayang-bayang? Puluhan atau ribuan hari?
Kau hanya orang yang tahu  dan mengerti bahwa tak semua pertanyaan memiliki jawaban. Tapi yang tak kau pahami adalah, tak semua pertanyaan memiliki jawaban, kecuali kau berusaha mencarinya dengan sungguh-sungguh.
Sudah berapa jengkal usahamu untuk mencari jawaban yang kau butuhkan? Belum sama sekali, bukan? Kau sangka nikmat telah cukup kau rasa hanya dengan duduk-duduk santai dan membiarkan waktu yang menjawab. Waktu itu benda mati, Sayang. Yang tak bisa mengerti apapun apalagi menjawab tanyamu.
Yang tak kau pahami adalah, apa yang menggantung di atas kepalamu itu—sekeras apapun kau berusaha menghapusnya—tumbuhnya akan makin membesar setiap kau bangun pagi dan berpura-pura tidak membutuhkan jawaban apapun.


Kamis, 15 Agustus 2013

Sayuran


Oh, itu namanya sayuran.
Kaki Nana bergoyang-goyang, menggantung karena kursi kayunya ketinggian. Dagunya menempel di atas meja. Matanya yang bulat hitam seperti biji buah kelengkeng, berkonsentrasi penuh pada keranjang belanjaan ibu.
Ibu baru pulang dari pasar. Setiap hari, sepulang dari tempat orang berjual-beli itu, keranjang belanja ibu selalu kembali dengan penuh oleh isi-isian yang menarik.
“Yang warnanya hijau, seperti baju Nana, itu sayuran” kata Ibu, kemarin, waktu makan malam. Waktu bayam sudah menjadi hidangan yang tersantap habis oleh keluarga kecilnya.
Oh, bajuku warnanya hijau. Waktu itu Nana berpikir demikian.
Sambil melamun memandangi sayuran yang lagi-lagi memenuhi keranjang belanjaan ibu di dapur, Nana jadi ingat sesuatu. Sesuatu yang minggu lalu membuatnya tak bisa tidur semalaman. Takut bercampur merinding.
Sesuatu berwarna hijau, yang ditonton ayahnya di televisi minggu lalu. Baru kali itu Nana melihat yang seperti itu. Memporakporandakan kota, membuat takut orang banyak. Berjalan dengan langkah-langkah besarnya yang berdebam, seolah ia penguasa dunia. Nana jauh lebih menyukai Doraemon, yang meskipun kartun, tapi berkarakter baik hati dan lucu.
Monster itu, jangan-jangan kebanyakan makan sayur.
Apa jadinya jika ibu—yang vegetarian—harus terus menerus memakan sayur seperti itu? Nana bergidik, jangan-jangan kalau ibu marah, sekujur tubuhnya menjadi berwarna hijau dengan urat-urat yang memaksa hendak keluar. Nana akan takut bukan main.
Lamunannya buyar. Ibu sedang mengeluarkan satu per satu hijau-hijauan itu dari keranjang belanjaan, memilah-milah mana yang bagus dan mana yang lebih patut dimakan ulat, lalu mencucinya.
“Bu, jangan makan sayur terus”, kata Nana, tak sanggup menyelesaikan alasannya.
Ia turun dari kursi dan beranjang ke kamar.

Arloji


Pada otak kebanyakan orang, arloji adalah sebagai pengingat waktu. Yang berpikir seperti itu, rata-rata adalah orang yang merasa dirinya dikejar oleh waktu. Hah, dikejar? Akan lari ke mana?
Apa yang mereka pikirkan itu, kadang, adalah hal yang benar. Di balik kaca arloji tertata rapi deretan angka yang selalu berbentuk bulat, yang saling menunggu giliran untuk tersentuh jarum panjang. Begitu saja. Siapa mengejar siapa, kenapa harus manusia yang merasa tak nyaman dengan fenomena biasa itu?
Aku mengelus pergelangan tanganku. Bertengger melingkar sebuah arloji bertali kulit cokelat. Bukan arloji baru, tetapi tak seumurku pula. Arloji ini mati, jika kau mau jeli mengamati jarumnya yang tak bergerak. Jantungnya tak lagi berdetak, tak bernyawa.
Maka bagiku, arloji bukan lagi masalah waktu. Namun sebagai pengingat, benar. Pengingat tentang sekelebat kenangan yang masih menganga di ingatan. Tentang siapa pemberinya, tentang berapa lama waktu yang dilalui dengan jalan berdua sambil merangkulkan lengannya ke bahuku, tentang berapa banyak langkah yang dijejakkan dari awal bertemu hingga harus berpisah.
Sudah tak ada lagi kereta yang hendak pulang ke stasiun ini. Si perempuan ini akan pulang. Mungkin benar kata orang, bahwa kekasihnya telah meninggal di negeri seberang, bersamaan dengan hilangnya nyawa arloji ini. Mungkin benar kata orang, bahwa di setiap pertemuan pasti perpisahan.
Biar aku kembali pulang. Sayang, besok aku ke sini lagi. Siapa tahu nyawamu tertinggal dan menungguku di stasiun ini. Biar kupasrahkan diriku, besok, berbaring di atas rel kereta. Menunggumu meraih tanganku untuk bertemu kembali.

Rencana Tahun Lalu


“Baru pulang dari pendakian ke gunung mana, Mas?” tanyaku sore itu, waktu matahari sore sedang giat memberi kesan gerah dan menjadikan sore semakin terasa melelahkan di langit-langit kota. “Semeru? Gede? Jaya Wijaya?”
Senyumnya tak tanggung tersungging dengan leluasa, untukku yang hanya seorang asing. “Jalan-jalan saja, bukan dari pendakian manapun” katanya.
Dengan keringat yang bercucuran seperti itu, di muka hingga bisepnya, mustahil aku percaya. Apalagi, tengah ia pikul ransel besar yang kutaksir berisi peralatan bekal hidup di gunung. Celana selutut dan sepatu yang kumal dan penuh bercak tanah membuatku semakin yakin bahwa lelaki ini hanya berusaha merendah. Maklum, tak semua orang sanggup melakukan pendakian, baik secara fisik maupun sarana pendukung lain untuk singgah lama di sana. Menemui orang seperti ini, sore-sore begini, di kota besar seperti ini, agaknya sangat susah. Karenanya, orang yang melakukan pendakian dianggap keren. Mungkin sebab itulah ia merendah, pikirku.
“Mau es teh, Mas? Kelihatannya butuh minum” aku mencoba menawarinya, kelelahan terlihat sedang menggantungkan hidup kepadanya. Lagipula, ini hari pertamaku bekerja di warung Pak Asnan. Mungkin ini bukan kebetulan. Mungkin laki-laki ini memang diharuskan lewat agar segelas es teh terbeli. Dengan begitu, aku bisa menunjukkan kepada Pak Asnan bahwa keponakannya ini sedikit bisa menarik pembeli.
“Boleh, yang es batunya banyak, ya” jawabnya. Kemudian menaruh ranselnya di atas kursi kayu panjang di luar jendela warung.
Aku segera masuk, menuang es batu yang banyak ke dalam satu gelas bening yang agak besar, disusul dengan menuang racikan teh manis dari dalam teko aluminium yang sudah disiapkan istri Pak Asnan agar tak membiarkan pembeli menunggu terlalu lama. “Ini, Mas, silakan diminum”
Tegukannya besar-besar, masuk ke dalam kerongkongan hingga menimbulkan bunyi glek, glek, yang begitu jelas. Tak lama, segelas besar es teh manis telah habis, tersisa bongkahan es batu yang belum sempat mencair. “Makasih ya Mbak” katanya sambil menaruh gelas di samping tempat duduknya.
“Sama-sama, Mas. Dua ribuan, boleh langsung dibayar, boleh nanti, boleh ngutang juga asalkan besok datang lagi” sahutku, keseriusan yang kubungkus dengan candaan. Maklum, akhir-akhir ini—kata Pak Asnan—supir-supir  angkot sering berhenti dan main comot gorengan lalu pergi tanpa membayar. Tujuh ratus lima puluh per gorengan, kalau sekali comot bisa terambil tiga dan dalam sehari ada lima supir angkot yang melakukannya, bisa turun drastis gajiku.
“Hahaha, santai Mbak, nanti saya bayar” jawabnya sambil tersenyum lebar. “Mbak, kok tahu kalau saya dari gunung?” tanyanya.
Nah, tepat. “Wah, walaupun sekolah saya nggak tinggi, Mas, kalau lihat penampilan Mas seperti itu sudah jelas habis turun gunung, hehehe”
“Iya, Mbak. Sudah waktunya pulang. Lusa hari penting buat saya Mbak, naik gunung barusan cuma untuk nyari ketenangan walaupun nggak sampai puncak”
“Oh ya? Hari penting apa, Mas?”
“Pernikahan saya, Mbak. Persiapan sudah beres semua, makanya saya berani ninggal ke gunung. Katanya, waktu ijab itu lebih nervous daripada siding skripsi ya, Mbak? Makanya saya nyari ketenangan, di gunung. Pas saya mau sidang skripsi dulu aja seminggu nggak turun-turun, Mbak”
“Wah, saya doakan lancar ya Mas, ya”
“Aamiin, makasih ya Mbak” katanya sambil kembali memamerkan senyum yang makin lama makin terasa akrab itu. “Mbak, ini uangnya. Kembaliannya ambil aja. Saya harus buru-buru pulang. Kamis malam gini pasti jalannya padat”.
Aku sedikit ternganga. Ah, mungkin terlalu lelah lelaki ini, pikirku. Hingga menyangka sore-sore cerah begini sebagai malam. Lagipula, ini hari Sabtu, bukan Kamis. Atau mungkin dia hanya salah ucap. Bukan hal yang perlu diperdebatkan. Kuterima selembar uang lima ribu rupiah dari tangannya, dan sesuai permintaannya, tak kukembalikan tiga ribu rupiahhnya. Sedang aku hanya melempar senyum.
“Pinter juga kamu ngelayani orang gila” kata Pak Asnan dari belakang, tak lama setelah lelaki itu memasuki sebuah gang dan menghilang dari pandangan.
Aku masih tak paham.
“Namanya David. Gila karena tahun lalu, sepulang dari pendakian, rumah calon istrinya yang juga tetangganya itu mengalami kebakaran. Dia, ibunya, dan satu adiknya meninggal. Pacaran enam tahun dan pernikahannya gagal”
“Kejadiannya Kamis malam?”
“Iya, Nduk
Glek. Kali ini kerongkonganku seolah menenggak es batu bulat-bulat.


Selasa, 13 Agustus 2013

Mengobral Maaf


Apa yang perlu dimaafkan dari dosa-dosa yang tak pernah dilakukan? Kita hanya bertemu setahun sekali, pun hanya berjabat tangan untuk saling meminta maaf. Lalu melakukan hal yang sama tahun selanjutnya—itupun, jika bertemu. Tak ada kalimat lain yang kita ucapkan selain itu. Sama sekali. Lantas, dari sisi mana kau membuat dosa terhadapku—dan sebaliknya—sehingga kita harus saling berucap maaf, lagi dan lagi?
Mungkin tahun depan, kita tidak usah saling meminta maaf. Karena kita tidak pernah bertemu. Dan tak pernah saling membicarakan, saling menghujat, saling mengusili satu sama lain, dan lain-lain.
Tapi, eh, tunggu. Bukankah niat untuk tak meminta maaf adalah niat yang buruk? Maka aku berdosa kepadamu, baru saja.
Ah, memang kita harus terus meminta dan memberi maaf.

Minggu, 04 Agustus 2013

Apa yang Terlintas ketika Mendengar Lagu Sedih dan Itulah Mengapa Aku Menghapus Banyak Lagu Sedih


Kau masih saja seperti itu, serupa nyata yang maya. Yang membungkus kabut-kabut sisa malam lalu dengan seteguk ucapanmu yang melantunkan perpisahan secara damai. Tetapi, damai? Perpisahan yang damai tak akan pernah memasuki kawasan rasa sakit, setahuku.
Yang tak kau mengerti dari semuanya adalah, aku tak akan pernah lupa menaruh ingatanku. Kau masih saja memiliki porsi dalam kenangan yang tak mau kubuang.

Kamis, 01 Agustus 2013

Pakaian Pesta


Pakaian terbarunya, kabarnya, harganya lebih mahal daripada perabotan di ruang makan kami yang hanya terdiri dari meja kayu reyot dan empat kursi yang salah duanya hampir patah. Kubilang, kenapa harus membeli mahal-mahal, sementara hanya dipakai untuk pergi-pergi saja? Jawabnya, hidup butuh kepastian.
“Kalau memang acaranya formal, kenapa tidak kita pakai baju yang bagus sekalian? Kenapa harus memilih nyaman dengan kaus kusam dan celana panjang seadanya?” katanya sore itu, sepulangnya dari sebuah pusat perbelanjaan ternama di jantung kota.
Begini, untuk yang hidup serba pas-pasan sepertiku dengan jaringan pertemanan yang tak seluas dia, tentu, aku tak akan pernah sekalipun mendapatkan undangan pernikahan atau sekedar makan malam dengan setting yang begitu mewah sehingga aku harus menyesuaikan diri. Pesta terbaik yang pernah kuhadiri, pun hanya pernikahan anak sulung seorang tetangga baik, Amang Dani, yang digelar di pelataran rumahnya yang sederhana. Kubilang terbaik, sebab makanan sangat berlimpah hari itu. Mungkin karena rejeki Amang Dani melebihi jumlah undangan, maka keluarga kami ikut kebanjiran sisa-sisa makanan yang bahkan masih kami pertahankan hingga tiga hari. Tiga hari terbaik di mana kami tak perlu bingung menyisihkan uang untuk makan.
Mobil melaju perlahan, meninggalkan sisa-sisa keramaian pusat perbelanjaan, memasuki gang-gang kecil yang jarang terjangkau. Suaranya tak lagi terdengar sejak masuk tadi. Matanya masih terbungkus kacamata hitam yang besar. Mungkin sebab ia tak sedang mengenakan make up apapun pada matanya seperti biasa sehingga ia malu bahkan hanya untuk melepasnya sejenak.
“Berhentikan saya di ponten umum, yang agak bersih” katanya lagi, dengan suara kecil seperti sedang menahan sesuatu. Aku mengangguk saja menuruti perintah. Lagipula, suasana hatinya sedang kacau sekali dari semalam. Pulang dari Dubai dalam keadaan sakit, lalu harus bergerak cepat mempersiapkan diri untuk menghadiri sebuah pesta yang begitu mendadak. Siapa yang mau ada di posisinya?
Aku menghentikan mobil di depan sebuah musola kecil. Tepat dugaanku, alisnya mengernyit, seolah bertanya, “Mau apa?”
“Di sini saja, Nyonya. Susah cari ponten umum yang bersih. Kalau kamar mandi musola, sudah terjamin kebersihannya”, ujarku.
Perempuan itu menanggapi dengan datar, lalu keluar dan melenggang masuk mencari toilet wanita. Melihat ekspresinya, aku benar-benar yakin setelah ini aku akan diam saja. Benar-benar diam, bahkan tak akan kubuat kata-kata yang menyiratkan suatu candaan meskipun aku serius.
Tak lama, ia keluar. Ternyata ia mencari kamar mandi untuk berganti pakaian. Terusan kuning selutut—pakaian barunya yang mahal itu—kini menghiasi tubuhnya yang masih seperti gadis. Rambutnya masih terikat ke belakang, hanya saja sedikit lebih rapi dari tadi. Kaca mata hitam juga masih menggantung di wajahnya. Namun, sedikit perona pipi dan pemerah bibir kembali terpoles tipis, memunculkan kecantikannya.
Setelah ia memasuki mobil, kembali kami meluncur di tengah gemuruh petir yang menyayat-nyayat. Di atas sana, langit sedang mendung total.

***

Pesta, baru saja dimulai. Serupa pesta kebun, rupanya.
Majikanku yang cantik itu, turun dari mobil. Hak sepatunya terantuk-antuk kerikil di tanah. Langkahnya mengundang banyak mata untuk memandang. Ah, entahlah, aku rasa mungkin lebih karena pakaian yang dikenakannya, terusan kuning itu.
Seolah mengerti, kerumunan orang berpakaian serbahitam itu memecah barisan, menyediakan jalan untuk Sang Ratu lewat. Langkahnya begitu rapi, lurus berjalan tanpa tengokan-tengokan kecil menatap kerabat yang berdiri di kanan-kirinya.
Gerimis mulai turun. Aku memayunginya dari belakang. Tak sepertinya yang mengangkat dagu dan memanahkan pandangan lurus ke depan, aku lebih memilih untuk menunduk.
Di hadapan makam suaminya, ia bersimpuh. Tak ada tangis yang lebih menyayat dari tangis tanpa suara yang menderaskan air mata dan guncangan bahu yang begitu hebat.
Ia mencoba tetap cantik di balik busana terbarunya, persembahan terakhir bagi suaminya.


Sabtu, 22 Juni 2013

22 Juni


Halo! Haha, lama nggak nulis macam diary begini. Jadi, apa kabar para pembaca yang saya nggak tau siapa aja pembacanya?
Sejauh 2013 ini, segala sesuatu—iya, segala sesuatu—berjalan lebih baik sekali. Banyak berkah, banyak kejutan, sampai saya nggak tahu mana yang harus diceritakan. Alhamdulillah. Yang terpenting adalah, Tuhan sudah banyak membantu saya untuk mengoreksi ulang segala pemikiran buruk saya tentang orang-orang di sekitar saya dan hal-hal yang saya keluhkan. Sangat senang begitu saya tahu bahwa ada banyak sekali prasangka saya yang salah. Heuheu.
Jadi, 2013 ini blog saya makin nggak keurus. Iya, saya jadi jarang sekali nulis. Sibuk? Nggak juga sih. Buntu ide mungkin ya lebih tepatnya. Tapi, sebisa mungkin saya merajinkan diri untuk nulis. Kebetulan, sudah ada komunitas menulis juga di kampus. Sedikit banyak, ide-ide minim saya tersalurkan.
Hal lain yang menarik, saya berkesempatan mengirim tulisan dan dibuatkan film pendek sama anak-anak Gresik Movie. Wooooohooo! Salah satu wishlist saya tahun ini agar cerpen saya bisa difilmkan, resmi saya coret. Belum lihat hasilnya, tapi insya Allah saya akan suka, karena sudah pernah lihat hasil film-film pendek mereka sebelumnya. Proyek selanjutnya adalah masih menunggu kelanjutan rencana mem-film pendek-kan cerpen Konde Ibu. Semoga lancar dan semoga—kalau waktunya tepat—saya bisa melibatkan diri langsung dengan mereka.
Bagaimana dengan lovelife? Ah, don’t ask. Mungkin tugas saya sekarang adalah melayakkan diri dulu untuk bisa segera dipertemukan dengan yang pertama dan yang terbaik. Aamiin.
Yang sedang bikin sibuk sekarang adalah UAS dan event Psychofest di kampus. Semoga waktu luang masih banyak, karena liburan nanti saya berencana untuk lebih gencar ngeblog dan ikut lomba-lomba nulis lagi.
Semoga segala urusan kita semua ke depan lancar, ya!


Jumat, 21 Juni 2013

Self dan Humanisme


The Founders’ View of The Self and The Self as the Tendency for Growth
Self merupakan topik yang penting selama periode awal dari sejarah psikologi. Munculnya behaviorisme pada tahun 1920an membuat disiplin tersebut mulai meninggalkan perhatiannya terhadap self (Epstein, 1980). Pengenalan kembali self ke dalam teori psikologi diperlukan untuk dapat memahami kehidupan manusia. Self menjadi landasan dari pandangan tentang perkembangan dari kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada eksistensi manusia, serta proses dimana beberapa perubahan positif terjadi pada psikoterapi mereka terhadap klien.
Pandangan pencetus mengenai self adalah adanya pola dari perubahan. Rogers berpendapat bahwa semua makhluk hidup memiliki pola dasar dari perubahan dinamis yang berfungsi untuk membawa mereka ke arah perkembangan yang utuh dan matang. Pada manusia, pola ini bersifat bawaan dan tidak hanya mencakup pertumbuhan fisik seseorang tetapi juga pertumbuhan psikis ke arah potensi yang unik dan utuh, yang melekat pada diri individu. Self merupakan dorongan untuk mengaktualisasikan keutuhan seseorang, seiring dengan kebutuhannya untuk diterima oleh orang lain.
Dalam empat dekade sejak pendiri psikologi humanistik memperkenalkan gagasan mereka tentang self, psikologi akademik telah lebih dulu mengalihkan perhatian pada fungsi mental dan kognisi, dan filsafat telah mengambil tema postmodern. Konsep tentang diri adalah representasi mental dari diri seseorang. konsep diri seseorang dapat menjadi selaras atau tidak selaras dengan diri yang sebenarnya

Tidak Adanya “Self” pada Filsafat Postmodernisme
Pandangan postmodernis mengatakan bahwa meskipun seseorang memiliki konsep diri, tidak ada konsep yang mengacu pada diri mereka, dengan kata lain, konsep tersebut merupakan konsep kosong. Tema utama pada pemikiran postmodern adalah pikiran merupakan refleksi dari bahasa seseorang, bukan merupakan objek dari dunia. Jadi, meskipun ada kata self, tidak berarti bahwa di dunia ini ada yang disebut dengan self.
 Penulis postmodern membatasi konsep tentang self. Karena self-concept merupakan produk budaya, self-concept berbeda-beda berdasarkan periode sejarah dan kultur lokal dimana manusia tinggal. Ahli postmodern mengajukan bahwa konsep tentang self sangat relatif. Pengertian manusia tentang dunia adalah fungsi dari kultur yang berbeda menurut skema interpretative, dan pemikiran dan aksi mereka selalu dimediasi dan dikonstruksi melalui skema-skema yang ada.

Self-Knowledge Neisser
Teori Neisser menyatakan bahwa self adalah keseluruhan dari manusia dilihat dari sudut pandang tertentu. Neisser fokus pada perbedaan bentuk informasi yang dialami oleh self. Neisser mengidentifikasi lima aspek, yaitu the ecological self, the interpersonal self, the extended self, the private self, dan the conceptual self.
The ecological self adalah pengertian self yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan efek yang dihasilkan pada lingkungan itu sendiri. “Saya adalah seseorang di tempat ini, sedang melakukan aktivitas tertentu” (Neisser, 1998, p. 36). Pengetahuan dari interpersonal self diinformasikan secara langsung melalui pengalaman emosional dan komunikasi langsung yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain. Pengalaman ekologis dan interpersonal yang dialami individu akan terus berlangsung selama hidup individu tersebut.
Tiga tipe informasi lainnya diperoleh dari pemikiran reflektif manusia. The extended self didasarkan oleh ingatan personal dan impian masa depan. The private self merupakan kesimpulan dari pengalaman unik yang dirasakan individu, yang tidak dirasakan oleh orang lain. The conceptual self adalah apa yang dipercaya oleh individu mengenai dirinya sendiri.

Lakoff and Johnson's Philosophy of the Flesh
Lakoff dan Johnson (Lakoff, 1987; Lakoff & Johnson 1980, 1981, 1999) membedakan dua generasi dalam pengembangan pengetahuan ilmiah kognitif. Generasi pertama yang dikembangkan sekitar tahun 1950 dan 1960 sama seperti psikologi humanistik, sebagai pergerakan untuk memperbaiki ketergantungan psikologi terhadap pemahaman behavioris tentang manusia. Generasi kedua dari pengetahuan ilmiah kognitif yang muncul sekitar tahun 1970 diragukan oleh gagasan bahwa pikiran tidak terpengaruh oleh tubuh dan tidak diperintahkan menurut pola-pola logika formal.
Lakoff dan Johnson (dalam Schneider, et.al, 2001) mengungkapkan bahwa pikiran berhubungan dengan tubuh dan gagasan kebanyakan terjadi secara tidak sadar. Mereka menyatakan bahwa gagasan tidak berhubungan dengan alam pemikiran, sebaliknya itu adalah sebuah aktivitas dari tubuh itu sendiri.

Gendlin's Intricacy and Self
Gendlin berfokus pada hubungan antara pengalaman dan konsep yang digunakan untuk menyusun pengalaman. Dia menyatakan bahwa pengalaman bukan merupakan struktur yang dikenakan secara budaya, sebaliknya pengalaman adalah hasil dari interaksi yang lebih mendasar antara orang dan dunia. Proses experiencing adalah interaksi kita terhadap situasi dalam kehidupan dan pemaknaan secara jasmani bahwa situasi tersebut ada untuk kita. Pengetahuan terhadap diri adalah pengetahuan yang dirasakan oleh tubuh, bukan susunan konseptual. Self atau diri adalah hubungan yang secara kompleks terjalin dalam pengalaman interaksi seseorang yang ada antara orang tersebut dengan dunianya.

Konsep Naratif ‘Diri’ Ricoeur
Ricoeur memiliki dua jenis konsep diri, yaitu: (1) konsep paradigmatic, menggambarkan acuan mereka sebagai kategori suatu hal, misalnya pemahaman konseptual diri seseorang sebagai laki-laki atau perempuan, tinggi atau pendek, dan sebagainya. (2) konsep naratif, bersifat terstruktur, menampilkan proses dan perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu (Polkinghorne, dalam Schneider, 2001).
Menurut Ricoeur, naratif atau cerita merupakan bentuk linguistik yang paling mendistorsi pengalaman temporal. Konsep diri menjadi terwujud dalam tindakan seseorang sebagai pribadi yang berkembang kisah hidupnya menuju satu tahap di mana potensi yang melekat dalam sebuah pengalaman ditunjukkan dalam tindakan seseorang (Schneider, 2001).

Sumber:     Schneider, K., Bugental, J.F.T, Pierson, J.F. (2001). Handbook of Humanity Psychology. Sage Publication.


Disusun Oleh:
Ria D. J. (111011061) | Ferina O. D. (111011086) | Kamelia W. (111011139) | Esti K. (111011159) | Putri P. S. (111011167)

Kelas A / Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
2013


Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com