Sabtu, 22 Juni 2013

22 Juni


Halo! Haha, lama nggak nulis macam diary begini. Jadi, apa kabar para pembaca yang saya nggak tau siapa aja pembacanya?
Sejauh 2013 ini, segala sesuatu—iya, segala sesuatu—berjalan lebih baik sekali. Banyak berkah, banyak kejutan, sampai saya nggak tahu mana yang harus diceritakan. Alhamdulillah. Yang terpenting adalah, Tuhan sudah banyak membantu saya untuk mengoreksi ulang segala pemikiran buruk saya tentang orang-orang di sekitar saya dan hal-hal yang saya keluhkan. Sangat senang begitu saya tahu bahwa ada banyak sekali prasangka saya yang salah. Heuheu.
Jadi, 2013 ini blog saya makin nggak keurus. Iya, saya jadi jarang sekali nulis. Sibuk? Nggak juga sih. Buntu ide mungkin ya lebih tepatnya. Tapi, sebisa mungkin saya merajinkan diri untuk nulis. Kebetulan, sudah ada komunitas menulis juga di kampus. Sedikit banyak, ide-ide minim saya tersalurkan.
Hal lain yang menarik, saya berkesempatan mengirim tulisan dan dibuatkan film pendek sama anak-anak Gresik Movie. Wooooohooo! Salah satu wishlist saya tahun ini agar cerpen saya bisa difilmkan, resmi saya coret. Belum lihat hasilnya, tapi insya Allah saya akan suka, karena sudah pernah lihat hasil film-film pendek mereka sebelumnya. Proyek selanjutnya adalah masih menunggu kelanjutan rencana mem-film pendek-kan cerpen Konde Ibu. Semoga lancar dan semoga—kalau waktunya tepat—saya bisa melibatkan diri langsung dengan mereka.
Bagaimana dengan lovelife? Ah, don’t ask. Mungkin tugas saya sekarang adalah melayakkan diri dulu untuk bisa segera dipertemukan dengan yang pertama dan yang terbaik. Aamiin.
Yang sedang bikin sibuk sekarang adalah UAS dan event Psychofest di kampus. Semoga waktu luang masih banyak, karena liburan nanti saya berencana untuk lebih gencar ngeblog dan ikut lomba-lomba nulis lagi.
Semoga segala urusan kita semua ke depan lancar, ya!


Jumat, 21 Juni 2013

Self dan Humanisme


The Founders’ View of The Self and The Self as the Tendency for Growth
Self merupakan topik yang penting selama periode awal dari sejarah psikologi. Munculnya behaviorisme pada tahun 1920an membuat disiplin tersebut mulai meninggalkan perhatiannya terhadap self (Epstein, 1980). Pengenalan kembali self ke dalam teori psikologi diperlukan untuk dapat memahami kehidupan manusia. Self menjadi landasan dari pandangan tentang perkembangan dari kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada eksistensi manusia, serta proses dimana beberapa perubahan positif terjadi pada psikoterapi mereka terhadap klien.
Pandangan pencetus mengenai self adalah adanya pola dari perubahan. Rogers berpendapat bahwa semua makhluk hidup memiliki pola dasar dari perubahan dinamis yang berfungsi untuk membawa mereka ke arah perkembangan yang utuh dan matang. Pada manusia, pola ini bersifat bawaan dan tidak hanya mencakup pertumbuhan fisik seseorang tetapi juga pertumbuhan psikis ke arah potensi yang unik dan utuh, yang melekat pada diri individu. Self merupakan dorongan untuk mengaktualisasikan keutuhan seseorang, seiring dengan kebutuhannya untuk diterima oleh orang lain.
Dalam empat dekade sejak pendiri psikologi humanistik memperkenalkan gagasan mereka tentang self, psikologi akademik telah lebih dulu mengalihkan perhatian pada fungsi mental dan kognisi, dan filsafat telah mengambil tema postmodern. Konsep tentang diri adalah representasi mental dari diri seseorang. konsep diri seseorang dapat menjadi selaras atau tidak selaras dengan diri yang sebenarnya

Tidak Adanya “Self” pada Filsafat Postmodernisme
Pandangan postmodernis mengatakan bahwa meskipun seseorang memiliki konsep diri, tidak ada konsep yang mengacu pada diri mereka, dengan kata lain, konsep tersebut merupakan konsep kosong. Tema utama pada pemikiran postmodern adalah pikiran merupakan refleksi dari bahasa seseorang, bukan merupakan objek dari dunia. Jadi, meskipun ada kata self, tidak berarti bahwa di dunia ini ada yang disebut dengan self.
 Penulis postmodern membatasi konsep tentang self. Karena self-concept merupakan produk budaya, self-concept berbeda-beda berdasarkan periode sejarah dan kultur lokal dimana manusia tinggal. Ahli postmodern mengajukan bahwa konsep tentang self sangat relatif. Pengertian manusia tentang dunia adalah fungsi dari kultur yang berbeda menurut skema interpretative, dan pemikiran dan aksi mereka selalu dimediasi dan dikonstruksi melalui skema-skema yang ada.

Self-Knowledge Neisser
Teori Neisser menyatakan bahwa self adalah keseluruhan dari manusia dilihat dari sudut pandang tertentu. Neisser fokus pada perbedaan bentuk informasi yang dialami oleh self. Neisser mengidentifikasi lima aspek, yaitu the ecological self, the interpersonal self, the extended self, the private self, dan the conceptual self.
The ecological self adalah pengertian self yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan efek yang dihasilkan pada lingkungan itu sendiri. “Saya adalah seseorang di tempat ini, sedang melakukan aktivitas tertentu” (Neisser, 1998, p. 36). Pengetahuan dari interpersonal self diinformasikan secara langsung melalui pengalaman emosional dan komunikasi langsung yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain. Pengalaman ekologis dan interpersonal yang dialami individu akan terus berlangsung selama hidup individu tersebut.
Tiga tipe informasi lainnya diperoleh dari pemikiran reflektif manusia. The extended self didasarkan oleh ingatan personal dan impian masa depan. The private self merupakan kesimpulan dari pengalaman unik yang dirasakan individu, yang tidak dirasakan oleh orang lain. The conceptual self adalah apa yang dipercaya oleh individu mengenai dirinya sendiri.

Lakoff and Johnson's Philosophy of the Flesh
Lakoff dan Johnson (Lakoff, 1987; Lakoff & Johnson 1980, 1981, 1999) membedakan dua generasi dalam pengembangan pengetahuan ilmiah kognitif. Generasi pertama yang dikembangkan sekitar tahun 1950 dan 1960 sama seperti psikologi humanistik, sebagai pergerakan untuk memperbaiki ketergantungan psikologi terhadap pemahaman behavioris tentang manusia. Generasi kedua dari pengetahuan ilmiah kognitif yang muncul sekitar tahun 1970 diragukan oleh gagasan bahwa pikiran tidak terpengaruh oleh tubuh dan tidak diperintahkan menurut pola-pola logika formal.
Lakoff dan Johnson (dalam Schneider, et.al, 2001) mengungkapkan bahwa pikiran berhubungan dengan tubuh dan gagasan kebanyakan terjadi secara tidak sadar. Mereka menyatakan bahwa gagasan tidak berhubungan dengan alam pemikiran, sebaliknya itu adalah sebuah aktivitas dari tubuh itu sendiri.

Gendlin's Intricacy and Self
Gendlin berfokus pada hubungan antara pengalaman dan konsep yang digunakan untuk menyusun pengalaman. Dia menyatakan bahwa pengalaman bukan merupakan struktur yang dikenakan secara budaya, sebaliknya pengalaman adalah hasil dari interaksi yang lebih mendasar antara orang dan dunia. Proses experiencing adalah interaksi kita terhadap situasi dalam kehidupan dan pemaknaan secara jasmani bahwa situasi tersebut ada untuk kita. Pengetahuan terhadap diri adalah pengetahuan yang dirasakan oleh tubuh, bukan susunan konseptual. Self atau diri adalah hubungan yang secara kompleks terjalin dalam pengalaman interaksi seseorang yang ada antara orang tersebut dengan dunianya.

Konsep Naratif ‘Diri’ Ricoeur
Ricoeur memiliki dua jenis konsep diri, yaitu: (1) konsep paradigmatic, menggambarkan acuan mereka sebagai kategori suatu hal, misalnya pemahaman konseptual diri seseorang sebagai laki-laki atau perempuan, tinggi atau pendek, dan sebagainya. (2) konsep naratif, bersifat terstruktur, menampilkan proses dan perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu (Polkinghorne, dalam Schneider, 2001).
Menurut Ricoeur, naratif atau cerita merupakan bentuk linguistik yang paling mendistorsi pengalaman temporal. Konsep diri menjadi terwujud dalam tindakan seseorang sebagai pribadi yang berkembang kisah hidupnya menuju satu tahap di mana potensi yang melekat dalam sebuah pengalaman ditunjukkan dalam tindakan seseorang (Schneider, 2001).

Sumber:     Schneider, K., Bugental, J.F.T, Pierson, J.F. (2001). Handbook of Humanity Psychology. Sage Publication.


Disusun Oleh:
Ria D. J. (111011061) | Ferina O. D. (111011086) | Kamelia W. (111011139) | Esti K. (111011159) | Putri P. S. (111011167)

Kelas A / Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya
2013


Sabtu, 15 Juni 2013

Setubuh


Ada gema yang kau sumbangkan di sealiran darah, dari venamu menuju venaku. Apakah itu? Yang berdesir sangat cepat. Apakah pompa jantungmu? Atau ketakutanmu akan kematian salah satu dari aku dan kau yang berusaha kau bagi dalam satu nafas panjang di balik hangat dinding-dinding inkubator yang membungkus kita?
Oh, manusia-manusia itu, tak akan pernah tahu apa yang terjadi di dalam isi kepala kita. Bagaimana sistem kerjanya memerintah paru-paru kita untuk membagi udara yang sama, untukmu dan untukku. Juga kaki kita yang hanya dua, apakah otakmu yang berkuasa atas gerakannya, ataukah otakku?
Semua ini membingungkan.
Di dalam sini, kita tertidur pulas menanti putusan Tuhan, apakah masih akan memberi esok, lusa, atau bertahun ke depan untuk kita berdua.



Jumat, 14 Juni 2013

Belas Kasih


Belas.
Kasih.
Belas. Kasih.
Belas kasih.
Sebelas. Kasih.
Sebelas kasih.
Sebelas, kekasih.
Sebelas kekasih.
Sebelas kekasih telah aku miliki. Satu lagi, maka genap selusin.
Dua puluh empat jam mengencani dua belas kekasih. Oh, beri aku belas kasih.

Selasa, 11 Juni 2013

Makan Pagi


Aku selalu menanyakan beberapa hal ini dalam hati: bagaimana bisa cairan kuning dan putih dapat tumbuh menjadi calon ayam? Bagaimana bisa cangkang sekecil ini mampu menyimpan tubuh seekor anak ayam? Jika kupecah cangkangnya, lalu kupindahkan isinya ke dalam plastik dan menaruhnya di tempat yang hangat, apakah mereka masih bisa berubah menjadi ayam?
Siapa yang berkonspirasi di balik perubahan cairan menjadi benda padat berwujud makhluk bernama ayam ini? Kudengar-dengar, namanya Tuhan. Siapa itu Tuhan?
Ck, aku selalu melamun seperti ini ketika menghabiskan pagiku di dekat peralatan memasak. Spatulaku tangkas membalik telur mata sapi yang mulai matang bagian bawahnya. Memasak telur seperti ini kadang terasa melelahkan. Sebentar lagi aku akan istirahat. Sebentar lagi, setelah telur kelima belas ini matang.
Persediaan telur ayam di rumah kami sangat banyak. Di dalam kulkas, di keranjang-keranjang kecil, bahkan di atas kursi. Sangat banyak, sampai-sampai suamiku begitu takut kalau-kalau mereka menetas tiba-tiba.
“Cepatlah!” di meja makan, suamiku mulai berkokok. Kubawa kelima belas piring telur mata sapi sesegera mungkin. Pagi ini, sekali lagi, kami melahap habis calon anak-anak kami.
Sebab kami hanya belum siap memiliki anak.
Lagipula, mereka begitu lezat.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com