Minggu, 28 April 2013

Epilog


Tidakkah harimu menjadi begitu biasa, pada hal-hal yang itu-itu saja? Perihal hitam dan putih yang monoton. Juga hari-hari dan peta hidup, serta rutinitasmu yang datar-datar saja. Tak pernah ada ombak di pantaimu yang terlampau tenang. Tak ada air yang meloncat tinggi, gagah menggerus batu-batu karang. Tak ada kerumunan burung yang kembali ke rumah saat malam tiba. Tak ada putih awan menggumpal di langit yang biru, yang bersih-bersih saja.
Semua yang kau lalui hanya satu alinea yang begitu biasa.
Lalu kau mencari sesuatu.
Sesuatu.
Se-su-a-tu.
Yang kau cari pada diri-diri mereka yang bergantian kau sebut sebagai ‘seseorang’-mu. Hanyut di gelak, tenggelam di tawa. Beradu nasib pada perjudian di malam panjang, mengenai penerimaan atau penolakan.
Tak pernah kau sangka akan begini jadinya. Hidupmu yang hitam dan putih, tak bercelah untuk diberi warna. Tetap monoton. Tetap ada kekosongan yang menganga, gaduh yang tercuri dan belum dikembalikan oleh entah siapa. Tak ada yang menopang di nadimu, jantungmu, hatimu. Kau serupa pelamun ulung, yang memenangkan perlombaan tatapan kosong. Melangkah begitu saja, mencari sesuatu yang tak lihai kau ketahui.
Kau tahu betul rasanya. Kau mengerti betul bagaimana sepinya.
Berangkat bernyawa, lalu pulang dalam keadaan lupa meninggal nyawa di mana.
Hambar. Kau adalah kekosongan abadi. Pencarianmu pada sesuatu yang kau kira bermuara pada seseorang, berakhir pada status gagal.
Selamat malam, selamat mendengkur kelelahan.

Sabtu, 27 April 2013

Penakut

Halo, Pa.

Pa, Papa tidak akan mengerti bagaimana gaduhnya perasaan ini melihat wajah letihnya. Mengangkat beban sebegitu banyaknya, di mana aku menjadi salah satunya.

Pa, aku meliriknya diam-diam ketika ia sedang memanjatkan doa-doa. Tak kulihat matanya beralih dari satu fokusnya. Ada namaku terucap di sana, berkali-kali. Mungkin sebab aku beban terbesar yang sedang ditanggungnya.

Satu lagi kesulitan datang, untukku, tapi lagi-lagi ia yang menepisnya kuat-kuat. Namun, justru pada detik itu lemahnya mulai kentara: sebuah ketakutan luar biasa. Lalu aku turut menjadi lemah pula atas segala rasa bersalah pada ketidakmampuanku menjaganya dengan baik sedangkan ialah yang tega meluruhkan waktunya demi menjagaku.

Wajah itu, Pa, yang menjaga tidurmu dengan tenang dalam kematian yang perlahan-lahan merabamu kala itu, sedang mengkhawatirkanku dalam batas ambang yang ikut membuatku takut luar biasa.

Takut dengan ketakutannya.
Takut menyia-nyiakan banyak hal tentangnya.

Andai Papa di sini.

Senin, 08 April 2013

Fragmen Api


1
Aku rasa, namanya bukan api.
Aku terus-menerus menghabiskan waktuku untuk mencari padanan kata yang pas. Yang tepat. Untuk sebuah makhluk oranye menyala yang melahap habis rumahku tujuh minggu silam. Dia terlihat begitu marah dan membabi buta menelan segala yang ada. Perabotan-perabotan hasil rombengan Bapak yang tak laku dijual lagi karena memang tak layak pakai pun ditelannya habis-habis. Hanya menyisakan abu hitam dan rangka-rangka yang tak jelas lagi bagaimana wujudnya.
Jadi, ya, nama ‘api’ terlalu mungil untuknya. Tak gahar. Sedangkan—kau tahu?—apa yang mampu dilakukannya dalam sekejap tidurku? Tak hanya menghabiskan rumahku. Bapakku pun amblas ditelan lidah-lidah panasnya yang tak pilih-pilih mangsa. Beruntung, Abah Husin, tetanggaku, berhasil menyelamatkanku dan adikku yang menurut orang-orang kala itu tengah tak sadarkan diri karena terlalu banyak menghirup asap kebarakan ketika tidur.

2
Nyala lampu templok redup menghangatkan kami yang sedang berdesak di atas kasur lipat tipis, melantunkan doa-doa menjelang tidur dalam hati. Listrik belum memasuki daerah tempat tinggalku yang memang lebih pelosok dari rumah orang tuanya dulu. Kalaupun listrik sudah menjalar hingga ke sini, aku tak yakin mampu membayar tagihannya, belum lagi harus menghidupi dua bocah ini.
“Kek, Ibu ke mana?” tanyanya suatu malam, ketika hendak tidur. Rasa kantuk telah menggantung di pelupuk matanya, tapi, aku tahu, ada yang lebih meresahkan pikirannya pada malam yang sunyi seperti ini. Membuatnya gelisah dan susah tidur, sejak berminggu-minggu yang lalu.
“Memangnya kenapa?” aku balik bertanya singkat, membentenginya agar tak bertanya lebih banyak lagi.
“Aku belum pernah ketemu ibu lagi sejak bapak meninggal”
“Nanti juga kamu ketemu sama ibumu, mungkin sedang ada urusan”
“Kapan, Kek?”
“Ah, sudah, tidur sana”
Aku lantas membelakanginya dengan punggung rentaku yang dingin. Usianya masih sebelas, terlalu dini untuk dikatakan dewasa. Terlalu minim hatinya untuk disuruh melapangkan. Kenyataan yang memburunya terlalu pahit, kurasa.
Husin, tetangganya yang belum pernah kukenal sebelumnya, membawa Angga dan adiknya kemari sore-sore sekitar dua bulan yang lalu. Tergesa ia datang menghampiriku. Jelas ada yang tak beres, batinku.
Aku sendiri tak terlalu dekat dengan Priyanto dan keluarganya. Yanto hanya anak angkat yang kubesarkan dengan keadaan yang jauh dari kata layak. Memiliki keturunan adalah hal yang mustahil bagi istriku yang bermasalah dengan kandungannya. Maka, mengangkat Yanto—anak dari sepupu jauhku—sebagai anak adalah pilihan terakhir untuk mengobati kesepian kami atas ketidakhadiran buah hati.
Aku sendiri tak memiliki jalinan yang dekat dengan Yanto. Istrikulah, yang memegang andil besar dalam perkembangannya. Hingga selepas istriku meninggal karena kanker rahim menahun yang tak terobati, Yanto yang belum genap dua puluh tahun memutuskan untuk merantau ke kota besar, mencari pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik untuk hidupnya kelak. Meninggalkan Si Tua pesakitan yang tak bisa dijadikan tempatnya bergantung lagi ini.
Sejak itulah, aku tak mengetahui sama sekali bagaimana keadaan Yanto. Apa pekerjaannya, apakah dia telah menikah, apakah dia bahagia. Hingga sore itu, Husin, yang mengaku sebagai tetangga Yanto, membawa seorang lelaki berusia sebelas tahun bernama Angga, dan si kecil Ana yang baru berusia delapan tahun. Kali pertama aku mengetahui bahwa aku telah menjadi seorang kakek.
Juga, kali pertama aku mendengar ringkasan kehidupan Yanto yang kini telah bersemayam di dalam pusaranya.

3
Aku mengenal Priyanto tak lebih dari seorang tetangga di salah satu kawasan Tempat Penampungan Sampah di Surabaya. Tak banyak yang mengenalnya sebagai sosok yang baik. Hampir seluruh tetangga menerjemahkan sosok Yanto layaknya sebuah kalimat berkonotasi negatif. Pemabuk yang jarang berinteraksi sosial dengan orang-orang di lingkungannya.
Entah bagaimana Susi—perempuan manis, lemah lembut, dan baik perangainya itu—bisa menikah dengan Yanto. Menurutku, itu adalah sebuah bencana, sebab Susi layak mendapatkan yang lebih baik. Tujuh turunan aku tak akan rela menyaksikan Susi berkeringat menyelesaikan pekerjaannya untuk menutup hutang di sana-sini akibat suaminya yang tak mampu memperoleh penghasilan yang lebih.
Ya, sejak Susi menawarkan diri untuk bekerja di tempatku sebagai pembantu rumah tangga, aku merasa senang bukan main. Telah lama ekor mataku mengincar Susi. Ia bagaikan bunga sepatu merah merekah yang tumbuh di tengah kekeringan hubunganku dengan istriku.
Namun, itu semua tak berlangsung lama.
Susi memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Berhari-hari kuperhatikan ia tak lagi seperti hari-hari dulu yang mengobral senyum di mana-mana. Susi lebih banyak murung, memperlihatkan sedikit keramahannya.
Hingga hari itu, setelah sebuah kebakaran memakan rumah kontrakannya dan menewaskan Yanto, aku baru tahu apa yang terjadi dengan Susi. Kuselamatkan anak-anaknya pada ayah Yanto yang masih bisa kujangkau keberadaannya. Sengaja kujauhkan dari hingar-bingar kota, juga dari akses media komunikasi.
Sebab, nama orang tua mereka telah menjadi bulanan media cetak maupun elektronik manapun setelah kejadian nahas itu.

4
Pada mulanya, Priyanto menjanjikan sebuah rayuan yang dengan sukarela ku-“iya”-kan sambil berpegang pada kesediaan untuk menjadi susah bersama, pun senang bersama. Merayap dari satu tempat ke tempat lain, memakai pakaian lusuh berhari-hari, hingga menemui pekerjaan tetapnya sebagai pemulung untuk menyambung hidup. Memiliki dua orang anak yang penurut, aku kira aku akan bahagia meski jauh dari kemapanan secara ekonomi.
Aku bekerja sebagai seorang buruh cuci, setelah Angga harus berhenti sekolah di bangku kelas tiga SD. Keadaan ekonomi kami memburuk, namun kuupayakan agar kami tetap membanting tulang kami sekeras-kerasnya untuk menukarnya dengan rupiah pemenuh kebutuhan. Tak hanya itu, kujual tenaga dan jasaku untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Si Kaya Husin, demi menyelamatkan kontrakan kami yang menunggak pembayarannya.
Namun, harapan baik justru membuahkan sesuatu yang berbalik. Mas Yanto menyia-nyiakan pundi-pundi rupiah kami di meja judi. Pulang tengah malam dalam keadaan mabuk, membanting apapun yang bisa dilemparnya dengan bebas di rumah.
Tak hanya itu, beberapa malam yang panjang harus kulalui dengan kemarahan dan ketakutan bertubi-tubi yang terus melingkari kepalaku, takut akan kehilangan Mas Yanto. Adalah malam-malam setelah memergoki suamiku menjatuhkan dirinya pada pelukan seorang gadis murahan. Kusaksikan sendiri dengan mata kepala dan sekujur tubuhku yang masih memaafkan setiap detail kesalahannya selama bertahun-tahun, di ranjang yang sama mereka berdua sedang beradu asmara.
Pernikahan ini tak seharusnya berakhir dengan sebuah perceraian. Sungguh aku masih mencintai Mas Yanto dengan segala kebutaanku akan keburukannya yang terus menerus kumaafkan. Maka, dengan inilah ia dan status pernikahan ini kuakhiri.
Aku lupa, sejauh mana persiapanku untuk mengakhirinya. Malam itu, ia masih terlelap di kursi rotan ruang depan. Mukanya kuyu, semerbak aroma alkohol menggerayangi tubuhnya. Aku yang sedang kalap segera memercik tubuhnya dengan minyak gas. Tak terlalu banyak. Menyusul kemudian, kurogoh dari saku dasterku, sebuah pemantik api warna merah tua.
Kulihat bagaimana api perlahan membangunkannya dari tidur lelap dengan mimpinya bersama si bidadari murahan. Sementara aku, khusyuk memerhatikan suamiku yang habis terpanggang secara perlahan sambil melangkah keluar, menyelamatkan diri.
Doaku turut serta menghanguskannya. Aku tak akan takut lagi kehilangan Mas Yanto dalam pelukan wanita lain, meski akan kuhabiskan beberapa tahunku di dalam bui.

5
Pengkhianat. Batinku terus merutuki Susi.
Langkahku berjalan dengan cepat, menandas panasnya kerikil di jalanan. Seharusnya, aku pulang bersama Susi. Dia memintaku menjemputnya siang itu di rumah Si Husin, tempatnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sela kesibukannya menjadi pencuci pakaian.
Aku datang tepat waktu.
Menyaksikan sesuatu yang tak tepat pada waktunya.
Husin sedang merayu istriku, memeluk bahu Susi dengan mesra, mencubit pinggang Susi yang mudah geli, memilin rambut hitam sebahu yang kubelai tiap hari, menyentuh dagunya yang kuciumi setiap malam.
Sandiwara apa ini? Susi menikmatinya tanpa penolakan. Tersenyum-senyum geli di depan mataku yang mengintip dari balik jendela teras rumah Husin.
Aku memang tak lebih kaya daripada Husin. Aku hanya pemulung, sementara dia menjadi pengelola sampah organik yang mendapatkan penghargaan dari segala penjuru Tanah Air. Pantas saja Susi selalu menyempatkan diri untuk menuntaskan pekerjaannya di rumah Husin hingga lepas Magrib.
Aku pulang dengan geram. Pembalasan selalu lebih kejam, bukan?
Ya, pembalasan selalu lebih kejam. Setelah berganti kukhianati istriku dengan bermain wanita di belakangnya, ia menghabisiku hidup-hidup. Hingga aku tak lagi hidup dalam dunianya.
Beginilah cara kami bermain api.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com