Minggu, 27 Desember 2015

Reinkarnasi

Untuk itulah Kirana—yang begitu yakin dengan dua hal: pertama, tentang adanya kehidupan kedua setelah manusia menjadi jasad; kedua, bahwa kehidupan keduanya jutaan kali lipat lebih hebat dari yang ia miliki sekarang—menanggalkan semua pakaiannya dan menyelam. Ditenggelamkannya dirinya ke samudera, pada satu dini hari yang sunyi dan gelap pekat. Hanya telinga dan kulitnya dua indera yang diandalkannya saat ini untuk memastikan sejauh apa dirinya telah menyelam. Seberhasil apa dirinya telah tenggelam.
Pada titik jenuh terendah, yang Kirana inginkan hanya satu, yakni agar lebur jiwanya dan terlahir baru. Di balik ketidakmampuannya untuk berenang, hatinya mewanti-wanti kepada Tuhan agar tak mati dengan rasa sakit akibat air menyesaki paru-parunya. Agar ruhnya segera berpindah ke janin tiga bulan yang tengah dikandung seseorang.
Kirana siap menjadi seseorang yang baru demi meninggalkan abu masa lalunya yang tak kalah sunyi seperti pukul satu dini hari. Perkara Surga atau Neraka, dipikirnya nanti saja.
Empat hari kemudian, seorang wanita ditemukan mengapung di perairan tanpa sehelai pakaian, tanpa selembar identitas apapun. Media menghimbau warga sekitar dan sekitarnya sekitar untuk segera melapor jika ada keluarganya yang menghilang.
Tapi,
Tak ada yang peduli dengan Kirana yang malang.
Pun nasib ruhnya terkatung-katung—tak ada yang tahu pasti ke mana Tuhan memberi rujukan kepada ruhnya untuk pergi. 

Minggu, 20 Desember 2015

Cerita Runi

Jika bisa memilih akan menjadi semenarik apa dirinya lima hingga sepuluh tahun yang akan datang, dengan iris matanya yang selalu berbinar cokelat susu, ingin dijawabnya dengan lantang bahwa Runi ingin semenarik jeruk.
Ketika Runi menginginkan sesuatu, siapa yang membutuhkan alasan?
Maka keesokan harinya, badan Runi yang kecil mengisi kostum bundar oranye berbentuk jeruk. Di panggung, Runi sepakat dengan dirinya bahwa tak masalah tak mendapatkan peran utama.
Terpenting, dia senang.
Karenanya, panggung tak lagi pucat dan membosankan dengan drama putri dan pangeran yang jutaan kali ditayangkan. Tak jadi soal bagaimana cerita akan berakhir. Yang penonton tak pernah bisa lupa, di drama yang biasa-biasa saja itu, ada jeruk menari-nari lucu di belakang.
Ketika Runi menginginkan sesuatu, siapa yang bisa menuntut segala sesuatu harus bisa masuk akal?

Minggu, 27 September 2015

Reblog: The One Who Never Leaves

All of us have that one person in our lives: the one who never leaves.
The one who never leaves is both always and never around. He is here, but at the same time, he isn’t.
You cannot hold his hands or kiss his cheek or hug him from behind anytime you like. He is not going to text-flirt you or call you every single day or pick you up for a night-out (that will end up with an episode of snuggling in a couch, talking about dead authors and unheard poems). He may not give you presents on your birthdays or send you postcards from faraway places when he travels. You cannot run to him when you’re having a breakdown and cry on his shoulders–seeking a familiar comfort on the slope of his neck that you have known by heart.
At first, you think you love and hate him with a more or less similar intensity. However, the more you try to hate him, the more you realize that you can’t. Of course, he is not perfect. He has his own flaws. He has his own issues. But he has also loved you and hurt you so deep, to the extent that both the love and the wounds have transformed you completely–you will never see the world the same way ever again.
And then you get it.
You can’t hate him simply because you love him too much to be able to hate him. After all the ups and downs, fireworks and turmoils, late night romance and silent tears, no matter how sad and lonely you feel, deep down inside you know that all you really want is for him to be happy. It surprises you, at times, that you are actually capable of loving someone that way.
The one who never leaves will always be around as you’re stepping into the milestones of your life: a relocation to an exotic country, an international best-selling book, an around-the-world trip for a year, a death in the family, an engagement, a marriage, a first child. He may be there to congratulate or console you (either in person or via Facebook), or he may not. But you know that he is (and will always be) the first person that comes to mind when you’re having these big moments in your life. And for a while, in the midst of euphoria or tragedy, he reminds you of the person you were, the person you always are, and the person you choose to be.
The one who never leaves is there inside of you as you’re listening to your favorite songs. When you’re visiting beautiful places and dancing with beautiful strangers. When you’re having a cup of coffee, gazing out the window, and realizing that you’re looking at such a lovely view. He is in your heart when you’re spending your time doing the things you love, as you’re falling in and out of love with somebody new, when you finally have the courage to kiss someone and be vulnerable again after a long time.
You know that this is how the two of you are: that you have gone your separate ways and lived your separate lives. No matter how close you are to the one who never leaves, there is also a distance now–one that is not merely physical–that you cannot trespass; unless he allows you to. But you will never know if that will happen, or whether you would want to cross that distance once again. So you are moving on with your life, your heart has healed from its swells and bruises and only gotten stronger.
If you’d like to be really honest, there will always be a glimmer of hope, no matter how faint, that the one who never leaves will be the one you can hold and hug and kiss every single day, the one you can cuddle and snuggle with whenever you feel like it, the one you can wake up to in the morning and fall asleep with at the end of a lovely evening. But soon, you ditch that hope and smile as you slip into another sunny day of yours, knowing that life is good the way it is. He has appeared in your life and you know that it’s enough of a blessing in itself.
Today, whether he’s here or not does not really matter anymore–and it does not bother you at all. Because despite everything, you know that he will always be the one who never leaves.


Reblogged from beradadisini.com

Kamis, 24 September 2015

Sehingga

Saya akan lupa, bagaimana asyik rasanya mencipta karakter baru, membaginya ke paragraf-paragraf cerita, membakar emosi lewat kata-kata. Saya akan lupa, bagaimana keinginan untuk lari dan pergi, dan mati hingga hidup kembali, hanya bisa dinikmati secara tak nyata. Saya akan lupa bagaimana asyiknya suatu hari jari-jari saya keras mengetik, berusaha membahasakan selaput kaca di dua mata.
Karena ternyata selalu ada saja orang-orang yang bisa diajak bercakap dan berbagi segalanya.
Karena berbicara lebih menenangkan daripada mengendap-endap di balik cerita.
Karena jatuh hati tak harus berakhir dengan patah dan remuk redam.
Juga karena luka ternyata bisa disembuhkan.
Sehingga saya akan lupa, bagaimana asyik rasanya menanam benci dari balik cerita.


Minggu, 09 Agustus 2015

Sejarak

“Tuhan berada sedekat Senin dan Selasa denganku”, katamu sambil melipat sajadah seusai melaksanakan ibadah Duhur. Kau tak pernah lepas beribadah. Begitu adzan berkumandang, Tuhan-lah yang kau cari pertama kali. Sungguh tak ada hal lain lagi yang lebih penting.
Tapi sore itu, kau ditikam seseorang. Darahmu tertahan di sana, di pakaian kerjamu yang berwarna abu-abu. Menurut para saksi mata, hanya sepersekian detik lamanya pisau itu dihunus lalu dicabut—dan kau kehilangan nyawa.
Mungkin Tuhan hanya berjarak ayunan detik pertama dan detik kedua saja denganmu. Begitu dekat. Begitu erat. Tak dibiarkan-Nya kau pergi ke mana-mana selain berbaring di sisi-Nya.  
Pada setiap waktu di mana adzan sedang bersahut-sahutan memanggil kami untuk bergegas melepas duniawi, ketenanganmulah yang kudoakan pertama kali.

Minggu, 19 Juli 2015

Raya Sunyi

Di ruang hati nenek tak ada kue-kue kering yang rapi cantik tertata di toples-toples rendah untuk mengisi meja. Juga tak akan kau temukan opor ayam dan ketupat jika kau berjalan terus menyusuri hatinya yang sunyi senyap. Di hati nenek, Lebaran bukan tentang itu.
Di hati nenek barangkali masih sama dengan Lebaran tahun-tahun lalu: hanya ada beribu maaf untuk anak-anaknya yang bertahun lamanya tak menjemput doa, peluk, serta restu darinya.
Di kamar panti yang sesiang ini tirainya masih tertutup itu, nenek menyeka tangis.

Rabu, 24 Juni 2015

Asap

Asap-asap berhamburan ke udara.
Dari tutup kepala yang darahnya mencapai didih.
Dari mulut-mulut yang saling tuduh.
Dari jiwa-jiwa yang terkoyak di pinggir jalan.
Dari ciuman-ciuman malam lalu yang masih menyisa bara.
Dari luka-luka yang menganga di seantero kota.
Asap-asap berhamburan ke udara.
Nyawa-nyawa tak tahu pasti hendak pulang ke mana.

Kamis, 21 Mei 2015

Kerumunan

Kita berlari sambil tangan terus tergenggam. Kau menarikku, gaunku mendayu-dayu. Kita memilih kerumunan yang tepat untuk berdansa, atau sekedar menari, atau sekedar saling berusaha mencuri hati. Kita memilih kerumunan yang tepat untuk bisa lebih hidup lagi.
Tak bersamamu, barangkali aku mati suri.

Rabu, 15 April 2015

Monolog



Kita menanam benci seperti menanam mawar. Sebab kebaikan-kebaikan telah lama mati. Terdampar lemas menguning seperti rumput-rumput yang tadinya tegak berdiri tak ada tandingan.
Kita menanam benci seperti menanam mawar. Merawatnya dengan hati-hati, berharap kebencian tak lantas mati. Menumbuhkan dendam penuh strategi, rapi dan cantik. Namun, tetap saja. Mawar seperti benci, durinya melukai.
Saat kita sadar, kita lemas dan cemas.
Menjadi yang patut namun mati cepat.
Atau yang hanya terlihat memikat namun layak dihujat.

Minggu, 05 April 2015

Perayaan



Halo Pa, belakangan ini saya ingat satu kejadian yang membuat saya cukup sedih karena tak bisa mengulangnya lagi denganmu.
23 November beberapa tahun lalu, kalau tidak salah waktu saya masih duduk di bangku SMP. Saya ulang tahun ke sekian belas tahun, dan hari itu berlalu biasa saja. Tapi, pukul delapan malam kita berdua duduk bersebelahan menonton TV. Papa setia menikmati lagu-lagu tembang kenangan di TVRI, dan saya ikut tenang menikmati.
Tiba-tiba, Papa ambil telepon dan meletakkannya tepat di depan Papa. Menekan beberapa nomor, beberapa kali gagal. Sampai akhirnya saya tahu bahwa Papa sedang berusaha menghubungi acara televisi tersebut yang sistemnya semacam radio: membuka kesempatan bagi penelepon di rumah untuk bertelepon interaktif, berkirim salam, atau boleh juga memesan lagu untuk dibawakan oleh band.
Beberapa kali gagal, akhirnya tersambung juga. Saya ikut deg-degan. Senang bercampur sedikit malu, Papa saya masuk televisi meski hanya suaranya saja. Tersambung! Iya, itu dia suara Papa saya masuk dan disapa oleh pembawa acaranya. Tercantum nama Papa juga di bagian bawah layar televisi. Senang bukan main.
Papa yang notabene cukup antusias dan percaya diri, segera saja mengirim salam-salam untuk kerabat yang jauh di sana. Menyapa dari rumah, semoga target penerima salam sedang ikut menonton.
Lalu, di situlah “Mau kirim salam juga buat Putri, anak saya, lagi ulang tahun ini dia. Selamat ulang tahun, semoga makin pintar, makin.......” kejutan! “Sama mau request lagu ulang tahun untuk anak saya, ini dia juga lagi nonton di sebelah saya”
Dan seketika, setelah telepon ditutup, semua tamu yang hadir live di acara tersebut menyanyikan “Happy Birthday” diiringi alunan musik dari band dan tepukan tangan para manusia yang hadir. Beberapa menit itu, adalah kenangan yang mengganggu saya akhir-akhir ini, Pa. Mengganggu karena menimbulkan dorongan yang hebat untuk bisa mengulangi beberapa menit tersebut, tapi tak punya daya sebab saya tak lagi punya kamu, Pa.
Senang bukan main. Papa tak perlu memberi kejutan yang mengeluarkan biaya. Papa tak perlu memberi ucapan dan cium pipi secara langsung (meskipun hal itu selalu dilakukan). Papa tak perlu susah payah mengadakan pesta dan menyuruh saya mengundang beberapa orang teman.
Dengan hanya duduk di sebelah saya, Pa—Papa ingat?—Papa bisa membuat sekian banyak orang dari jarak yang sekian jauhnya dari saya, turut melakukan perayaan singkat atas hari istimewa saya. Dengan hanya duduk di sebelah saya, sebenarnya kita tak sedang melakukan perayaan apa-apa kecuali kebersamaan kita yang selalu jadi hal favorit saya sepanjang hidup, sejauh ini.
Karena ketika bersamamu, Pa, saya bisa menanam rasa senang yang besarnya luar biasa. Tapi sungguh, tak ada kenangan yang tak menyesakkan jika sekali lagi saya sadar: kenangan-kenangan baik itu saya panen ketika sudah tidak bisa lagi bersama Papa. Itulah kenapa, sebahagianya hidup saya sekarang, rasanya adalah bahagia yang cacat sebab tak bisa saya bagi denganmu, Pa.

Jumat, 13 Maret 2015

Hari 3: Kain



“Sapu tangan bisa menyeka keringatmu. Darahmu juga. Cepat-cepat hapus, jangan mau dikeringkan duluan oleh angin” katanya sambil menyodorkan selembar kain warna abu-abu dengan garis-garis hijau di tepiannya. Bisa saja ia berbasa-basi setelah dicideraiku oleh amarahnya. Sekantung penuh rupiah telah direnggutnya dengan mudah dari saku celanaku.
Ini pemberianku, sapu tangan yang di beberapa bagiannya telah berhiaskan bercak-bercak darah yang tak mau singgah meski berulang kali dicuci ini. Darah-darahku. Biar kuhitung nanti di Neraka, atau jika Tuhan keliru menjebloskannya ke Surga.
Biar dia lupa siapa yang telah memungutnya di jalanan setelah kelaparan mencengkeram erat tubuhnya yang kering kerontang saat itu. Biar dia lupa siapa yang lebih dulu rela menganggapnya saudara dan menyingkirkan segala kepentingan pribadi demi ia bisa hidup layak. Biar dia lupa siapa yang memohon-mohonkan pada Tuhan, mendoakannya tiap hari seusai ibadah, agar orang tuanya diberikan jalan untuk menemukannya.
Biar dia lupa, siapa yang telah lama menahan lelah menjadikannya saudara, bekerja keras membanting tulang dari pagi hingga malam untuk menopang kebutuhannya berfoya-foya.
Biar dia lupa, dia hanya siapa.

Selasa, 10 Maret 2015

Hari 2: Alien



“Aku ketemu belalang betal, Ma!” Hanggara mendorong pintu dengan keras dan melempar sepatu putihnya yang telah berubah menjadi cokelat, basah penuh tanah. Pun tasnya, dilemparkan begitu saja. Cepat-cepat ia mengisi gelasnya dengan air putih lalu meneguknya cepat hingga gelas kembali kosong. “Betal tekali! Matanya tegini” lidahnya yang belum fasih berkata-kata rupanya tak menghalangi berapi-apinya Hanggara ketika menemukan hal menarik dari perjalanannya bermain di semak-semak yang agak jauh dari rumah bersama kawan-kawan di kompleknya. Kedua tangannya membentuk bulatan di depan mata. Untuk membuat kisahnya terasa lebih nyata, tak lupa bocah kecil itu ikut membelalakkan matanya.
“Oh ya? Besar sekali memangnya?” tanya Mama yang sedang sibuk dengan pancinya, sup sedang dimasak, aromanya sudah menggoda-goda.
“He’em. Siska nangis, Ma, tapi aku belani. Betal, Ma, tapi kulus, tegini” Hanggara mengacungkan kelingkingnya. “Walnanya hijau, buninya... bip-bip, bip-bip
“Oo.. bunyinya seperti robot?”
“Iya! Tapi antenanya bagus, Ma. Ada lampunya dua di tini” giliran dua telunjuk Hanggara mencuat dari kepala, membentuk dua antena.
“Ya sudah, cuci tangan sama kaki dulu sana, nanti habis ini kita makan sup ayam kesukaan Hanggara. Cepat, ya”
“Iya, Ma!” Hanggara berlari ke kamar mandi.
Ceritanya belum berakhir. Hingga ayahnya pulang dari kerja, makan malam bersama, bahkan setelah doa akan tidur diucapkan, cerita itu masih terus diulangnya. Kedua orang tua Hanggara menanggapi basa-basi, “Oh ya?”, “Wah”, dan sejenisnya agar tampak terkesima.
Belalang yang sebesar kelingking anak kecil, yang melompat dari rumput ke rumput, daun ke daun, bukan hal yang menakjubkan lagi untuk kedua orang tuanya. Meskipun, mereka pernah merasakan hal yang sama seperti Hanggara semasa kecil dulu. Takjub dan penasaran sebab tak pernah berhasil menangkapnya.
Begitu mereka kira.
Padahal, apa yang dilihat Hanggara bersama teman-temannya, jauh berbeda dengan apa yang orang tua mereka pikirkan.
Besoknya, para warga dihebohkan oleh berita melesatnya sebuah lempengan besi bercahaya yang diduga UFO, yang sempat melintasi wilayah komplek. Di depan televisi, Hanggara kencang berseru, “Belalangnya kemalin naik itu!”

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com