Senin, 21 April 2014

Bertemu Radiaga


Aku telah duduk dengan pakaian terbaikku: terusan biru selutut dengan aksen renda-renda menggantung di sekitar leher dan dadaku. Rambutku yang memutih dan semakin tipis kubiarkan tersisir ke belakang. Kukuku terpotong rapi ujung-ujungnya, baru kubenarkan sendiri sore tadi. Meja makan dengan lilin dan dua gelas anggur putih dan sebuket mawar merah. Tak pernah seromantis ini sebelumnya. Hari istimewa seperti ini, perlulah kuperlakukan dengan istimewa.
“Kenapa terlambat?” tanyanya singkat. Senyum tetap berada pada letaknya, di wajah itu. Yang tampannya tak pernah tersangkalkan. Pertanyaan menghakimi dengan senyum seperti itu, seperti api yang dihanguskan oleh air.
Hh, aku menghela nafas singkat. “Banyak yang harus dikerjakan. Lebih banyak daripada dulu. Lebih melelahkan,” jawabku jujur. Kepadanya, aku tak ada daya untuk berbohong.
“Sudah lebih cepat kehabisan tenaga? Hahahaha,” gelak tawanya menggema. Tampan sekali. Masih selalu tampan yang aku kagumi. “Aku tahu. Keriputmu sudah bicara lebih banyak.”
“Jangan begitu. Kau yang terlewat awet muda. Berapa usiamu sekarang?”
“Aku? Masih tiga dua”
“Seharusnya kau sudah tujuh delapan, delapan tahun lebih tua daripada aku.”
Dia memajukan tubuhnya dan menggenggam tanganku yang sedari tadi bertumpu di atas meja. “Aku tidak terlalu suka kamu bicara tentang seharusnya.”
Kau tak terlalu suka aku bicara tetang seharusnya kita masih bisa bersama-sama.
“Maaf. Aku tahu. Bagaimana kalau kita bicara tentang kabar kita?”
“Ah, klise. Kamu tahu aku selalu baik-baik saja. Bagaimana kalau kita bicara tentang rencanamu untuk menikah lagi?”
“Itu kau, yang merencanakan supaya aku menikah lagi. Sudah kubilang, aku tak mau”
“Jangan begitu. Kau cantik, mustahil tetangga-tetanggamu tak mencuri perhatian darimu”
“Tetangga yang mana? Tetanggaku masih beristri semua, tak mungkin curi pandang denganku”
“Hahahaha, memang. Kau lupa? Di dunia ini tak ada laki-laki lain yang lebih gila daripada aku, untuk bisa menyukaimu”
“Tetaplah gila”
“Aku masih gila, Sayang. Tenanglah. Kau juga jangan benar-benar punya pikiran untuk menikah lagi. Aku tak akan datang lagi seperti ini”
“Aku yang mengundangmu”
“Ah iya. Kita masih punya berapa pertemuan lagi?”
Aku menunduk lesu. “Aku sudah memesan enam, tapi entah. Belakangan ini aku mulai sakit-sakitan. Pekerjaanku tak sebaik dulu”
“Tak apa, Sayang. Lima tahun lagi pun aku tunggu. Aku masih akan sama seperti ini. Tiga puluh dua tahun, yang mau menemanimu sampai seratus tahun”
“Jangan bilang begitu. Ingatlah, kau seharusnya sudah setua aku”
Mulutnya terbuka lagi, tawanya menggaung lagi. Jari-jarinya yang pucat tapi kokoh masih menggenggam tanganku. Tak terlalu erat, tak pula terlalu longgar. Dia selalu melakukan segala sesuatu dengan pas.
Malam yang remang, malam yang tak meninggalkan rasa lapar di perut-perut kami. Sebab sebenar-benarnya rasa lapar adalah yang bercongkol di hati kami. Rindu. Kami menghabiskan sisa malam dengan tidur bersama dan tak banyak bercerita.

***

“Kita belum pernah kehabisan stok seperti ini. Semakin banyak orang meninggal, Ras. Semakin banyak kekasih-kekasih yang membeli tiket merah saga kepada kami untuk bisa menemui gadis atau lelakinya lewat mimpi,” Arkula berbicara padaku seolah dia adalah dewa kenyataan yang membangunkanku dari mimpi semalam. “Mereka masih muda, dan pekerja keras. Pundi-pundi yang mereka dapatkan bisa lebih banyak darimu. Kesempatan mereka untuk bisa mendapatkan tiket merah saga akan lebih besar, kapanpun mereka mau.”
“Sisakan dua untukku. Sembunyikan di tempat paling tersembunyi,” jawabku, menurunkan nominal, setelah dua hari yang lalu kuminta Arkula untuk menyisakan enam tiket merah saga untukku. Demi enam kali kesempatan bertemu suamiku di mimpi.
“Yaras, berhentilah. Dari sekian banyak pelangganku, kaulah yang paling sering membeli tiket ini untuk menemui Radiaga. Beri kesempatan untuk yang lain. Punyalah waktu untuk bersenang-senang,” katanya lagi.
Seolah ia tak tahu bahwa kesenangan utamaku adalah Diaga.
Semua orang di kota ini harus bekerja dan mengumpulkan dua ribu koin untuk bisa mendapatkan tiket merah saga dari Arkula, sahabatku. Dua ribu bukan jumlah yang kecil. Dalam sehari, sekeras apapun seseorang bekerja, ia tak akan bisa mendapatkan lebih dari lima koin. Dan tiket merah saga adalah tiket termahal di kota ini, sebab ia mempertemukan manusia dengan roh-roh keluarga yang telah mati.
Sedangkan orang mati terus bertambah.
Semakin banyak pula pesaing-pesaingku dalam mendapatkan tiket itu, secarik kertas istimewa yang akan mengantarku menemui Diaga. Satu tiket untuk satu malam. Kau lihat? Betapa saat ini mimpi pun tak ada yang gratis.
“Kau pernah mencoba membeli tiket kuning madu? Hanya enam ratus koin. Lebih murah, dan kau bisa bermimpi mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah kau kunjungi selama ini,” kata Arkula lagi, benar-benar berusaha membujukku untuk berhenti. “Atau tiket cokelat karang, dua ratus koin. Hanya dalam semalam bisa membuatmu bermimpi libur bekerja sebulan. Kau akan bangun dan merasa jauh lebih muda.”
Riuh kanan kiri robot-robot pekerja berlalu-lalang di jam istirahat makan siang. Aku ingin ke belakang, aku ingin murung sebentar tanpa harus memutuskan untuk berhenti menemui Diaga atau tidak. Lebih baik kuanggap Arkula tak pernah bicara apa-apa.
“Aku tidak terlalu suka kamu bicara tentang seharusnya”
“Kau tak terlalu suka aku bicara tetang seharusnya kita masih bisa bersama-sama”

 

Kamis, 03 April 2014

Hujan Belum Datang


Udara sedang bergerak kencang, menggoyangkan daun-daun pohon jambu sehingga bergesekan satu sama lain, menimbulkan bunyi gemuruh seolah pepohonan hendak runtuh. Tapi angin tak sampai hati masuk rumah kami, keberadaannya terhalang oleh jendela-jendela kaca yang tak pernah dibiarkan terbuka oleh Bapak. Lantas, rumah berjendela yang jendelanya tak pernah dibuka, untuk apa? Entah, tanyakan saja padanya.
Atau, jangan tanyakan. Bapak tak suka diberi serentetan pertanyaan. Ketidaksukaannya akan ditunjukkan dengan decakan kecil atau desahan nafas dan jawaban singkat. Bapak tak suka orang yang banyak bicara. Tak juga, orang yang terlalu diam dan tak punya apa-apa untuk disampaikan. Rumit. Enam belas tahun hidup bersama Bapak, intisari yang bisa kulakukan untuk menghadapi kerumitannya berkomunikasi adalah ini: berbicara seperlunya.
Bapak sedang gelisah sejak pukul sembilan tadi. Kakinya tak bisa diam, berjalan ke sana, kemari, di sekitaran ruang tamu saja. Atau ketika sedang duduk, pun kakinya bergoyang-goyang seperti hendak lepas dari sendi-sendinya dan memilih untuk berjalan mondar-mandir sendiri—kalau bisa.
Kami telah berpakaian rapi dari pagi. Bapak membangunkanku sambil mengemas baju-bajuku dari lemari. Terlihat buru-buru. Kalau tak salah dengar, Bapak baru menerima telepon dari seseorang ketika itu. Aku sendiri menurut saja ketika Bapak memintaku bersiap diri dan berpakaian rapi. Karena kita akan pergi pagi ini.
Jadi, Bapak mungkin sedang gelisah menunggu mobil travel yang hendak menjemput kami, simpulku.
Ck, decakan singkat keluar dari mulut Bapak. “Hujan belum datang,” katanya.
Aku melongok ke luar. Langit memang sedang mendung, dan angin bergerak dengan tekanan yang pasti akan membuat siapapun terhuyung-huyung ketika berjalan di luar—terutama yang berbadan kecil seperti aku. Tapi, hujan memang belum datang dan aku tak mengerti kenapa Bapak menggelisahkan hujan. Bukankah hujan lebih baik tak usah datang jika kita hendak bepergian?
“Bapak duduklah, aku buatkan kopi”
Bapak menatap ke arahku. Kesedihan menggelayut pada cekung hitam di sekitar kedua matanya. Sudah berhari-hari Bapak tak tidur, menyelesaikan tulisan pendeknya sambil meminum bercangkir-cangkir kopi hitam sambil ditemani batang-batang rokok. Tak mandi, jarang pula makan. Bapak sering begitu, lembur menyelesaikan tulisan-tulisan pendeknya. Berusaha sangat keras untuk menelurkan kisah-kisah baru yang segar, agar media cetak yang telah mempercayakan amanah kepadanya untuk menjadi penulis tetap sebulan ini tak buru-buru menghentikan rejekinya.  
Lantas, tulisan pendek macam apa yang memakan waktu pembuatan sepanjang itu dengan menghabiskan begitu banyak durasi istirahat yang harusnya menjadi hak Bapak?
Banyak yang tak kumengerti dari Bapak. Tentang langkah kakinya yang begitu pelan tak menghasilkan suara, tentang tatapan matanya yang tak pernah lebih bahagia dari kucing yang baru saja menemukan tulang ikan di tong sampah, tentang suaranya yang tetiba bisa begitu menggelegar seperti halilintar, juga tentang pelukan-pelukannya dalam jeda waktu diam yang begitu lama.
Secangkir kopi panas untuk Bapak, yang sedang menunggu—entah hujan, atau mobil travel.
***
Pukul sebelas. Mendung semakin pekat dan dua hal yang ditunggu Bapak tak kunjung datang. Gelisahnya semakin menjadi tiap kali telepon berdering. Dari seorang lelaki, samar-samar bisa kudengar suaranya. Tiap kali telepon diangkat, kali itu pula Bapak mengelap peluh-peluh tipis yang muncul di dahinya. Biasa terjadi saat Bapak sedang sangat gugup.
Dari siapa? Kenapa Bapak khawatir?
Tak ada percakapan yang bocor terdengar. Bapak berbicara dengan sangat lirih, bisikannya nyaris tak bersuara.
Ck, kenapa hujan belum datang?” katanya sekali lagi. Ah, hendak kubantu menanyakannya pada Tuhan sebelum aku ingat Tuhan tak akan langsung menyerukan jawaban.
***
Ada yang pernah berkata padaku, bahwa dunia serupa taruhan. Akan ada hal-hal yang perlu dikorbankan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Jika tidak begitu, maka sudah pasti bukan makhluk bernama manusia yang mengisi riuh dunia.
Ada yang berkata padaku—yaitu tulisan tangan dalam surat Bapak—sekelompok rentenir menyitaku sebentar. Sebab untuk memperpanjang masa pembayaran hutang Bapak, mereka hanya memberi dua pilihan: menyita rumah atau menyita anak perempuan Bapak.
Jelas kupertahankan rumah. Sebab rumah tempat ternyamanku menyelesaikan tulisan. Secepatnya kutuntaskan cerita-cerita itu, agar segera kukirim pada redaksi dan menerima gaji untuk menebusmu pelan-pelan. Bapak janji, tak akan lama.
Saat itu, hujan belum datang. Jika hujan datang lebih awal, kabarnya, mereka tak jadi membawaku hari itu.
Di sudut perasingan, aku berharap mereka tak menjadikanku seorang jalang.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com