Jumat, 30 Agustus 2013

Kemarin Matahari Terbit


Kemarin—akhirnya—matahari terbit.
Kau tidak bisa membayangkan kebahagiaan macam apa yang hinggap di desa kami, ketika—akhirnya—matahari terbit. Sinarnya seolah hinggap di wajah-wajah yang lelah menanti itu. Mereka bergegas, menyelesaikan hal-hal yang tak bisa dilakukan ketika matahari tenggelam begitu lama dalam dunia yang entah.
Perempuan-perempuan tambun berdaster itu segera mencuci pakaian-pakaian yang menumpuk selama sebelas hari. Mereka menjemurnya di tali-tali kawat dengan wajah suka cita.
Pria-pria berkumis sibuk berolahraga di luar. Matahari terbit. Waktu yang tepat untuk menguras keringat dan menyehatkan badan. Sebelas hari bekerja tanpa henti, pulang malam, makan banyak, lalu tidur. Sebelas hari mereka menimbun lemak di mana-mana. Istri mereka tak begitu senang dengan lemak yang terlalu.
Lain lagi dengan anak-anak itu, yang memilih bermain di luar. Sebelas hari tak ada matahari. Akhirnya matahari terbit. Kulit-kulit mereka yang tadinya terlalu kaku, perlahan mengendur. Waktunya bermain tanpa henti. Waktunya bersenang-senang di luar.
Kemarin—akhirnya—matahari terbit. Tak lama, sebentar saja.
Aku bisa melihat rasa syukur melayang di mana-mana.

Senin, 26 Agustus 2013

Tujuan


Pernahkah kamu sekali waktu bertemu dengan seseorang dan kamu tahu betul ada bagian dari dirinya yang perlu diperbaiki? Segala susah dan sedihnya, segala kusut dan rumitnya. Dan kamu merasa ingin mengerahkan usahamu untuk memperbaikinya, tanpa diminta. Dan kamu rela ketika pada akhirnya kamu harus melakukannya dengan tulus—memperbaiki segala kerumitan yang dia miliki—karena ketika itu kamu tahu: dia menjadi tujuan dari segala rasa dan pikirmu.
 



Kamis, 22 Agustus 2013

Tanya tak Berjawab


Apa yang menggantung di atas kepalamu itu—sekeras apapun kau berusaha menghapusnya—bukankah sesuatu yang dinamakan pertanyaan? Sudah berapa lama kau biarkan dia ada di sana seperti bayang-bayang? Puluhan atau ribuan hari?
Kau hanya orang yang tahu  dan mengerti bahwa tak semua pertanyaan memiliki jawaban. Tapi yang tak kau pahami adalah, tak semua pertanyaan memiliki jawaban, kecuali kau berusaha mencarinya dengan sungguh-sungguh.
Sudah berapa jengkal usahamu untuk mencari jawaban yang kau butuhkan? Belum sama sekali, bukan? Kau sangka nikmat telah cukup kau rasa hanya dengan duduk-duduk santai dan membiarkan waktu yang menjawab. Waktu itu benda mati, Sayang. Yang tak bisa mengerti apapun apalagi menjawab tanyamu.
Yang tak kau pahami adalah, apa yang menggantung di atas kepalamu itu—sekeras apapun kau berusaha menghapusnya—tumbuhnya akan makin membesar setiap kau bangun pagi dan berpura-pura tidak membutuhkan jawaban apapun.


Kamis, 15 Agustus 2013

Sayuran


Oh, itu namanya sayuran.
Kaki Nana bergoyang-goyang, menggantung karena kursi kayunya ketinggian. Dagunya menempel di atas meja. Matanya yang bulat hitam seperti biji buah kelengkeng, berkonsentrasi penuh pada keranjang belanjaan ibu.
Ibu baru pulang dari pasar. Setiap hari, sepulang dari tempat orang berjual-beli itu, keranjang belanja ibu selalu kembali dengan penuh oleh isi-isian yang menarik.
“Yang warnanya hijau, seperti baju Nana, itu sayuran” kata Ibu, kemarin, waktu makan malam. Waktu bayam sudah menjadi hidangan yang tersantap habis oleh keluarga kecilnya.
Oh, bajuku warnanya hijau. Waktu itu Nana berpikir demikian.
Sambil melamun memandangi sayuran yang lagi-lagi memenuhi keranjang belanjaan ibu di dapur, Nana jadi ingat sesuatu. Sesuatu yang minggu lalu membuatnya tak bisa tidur semalaman. Takut bercampur merinding.
Sesuatu berwarna hijau, yang ditonton ayahnya di televisi minggu lalu. Baru kali itu Nana melihat yang seperti itu. Memporakporandakan kota, membuat takut orang banyak. Berjalan dengan langkah-langkah besarnya yang berdebam, seolah ia penguasa dunia. Nana jauh lebih menyukai Doraemon, yang meskipun kartun, tapi berkarakter baik hati dan lucu.
Monster itu, jangan-jangan kebanyakan makan sayur.
Apa jadinya jika ibu—yang vegetarian—harus terus menerus memakan sayur seperti itu? Nana bergidik, jangan-jangan kalau ibu marah, sekujur tubuhnya menjadi berwarna hijau dengan urat-urat yang memaksa hendak keluar. Nana akan takut bukan main.
Lamunannya buyar. Ibu sedang mengeluarkan satu per satu hijau-hijauan itu dari keranjang belanjaan, memilah-milah mana yang bagus dan mana yang lebih patut dimakan ulat, lalu mencucinya.
“Bu, jangan makan sayur terus”, kata Nana, tak sanggup menyelesaikan alasannya.
Ia turun dari kursi dan beranjang ke kamar.

Arloji


Pada otak kebanyakan orang, arloji adalah sebagai pengingat waktu. Yang berpikir seperti itu, rata-rata adalah orang yang merasa dirinya dikejar oleh waktu. Hah, dikejar? Akan lari ke mana?
Apa yang mereka pikirkan itu, kadang, adalah hal yang benar. Di balik kaca arloji tertata rapi deretan angka yang selalu berbentuk bulat, yang saling menunggu giliran untuk tersentuh jarum panjang. Begitu saja. Siapa mengejar siapa, kenapa harus manusia yang merasa tak nyaman dengan fenomena biasa itu?
Aku mengelus pergelangan tanganku. Bertengger melingkar sebuah arloji bertali kulit cokelat. Bukan arloji baru, tetapi tak seumurku pula. Arloji ini mati, jika kau mau jeli mengamati jarumnya yang tak bergerak. Jantungnya tak lagi berdetak, tak bernyawa.
Maka bagiku, arloji bukan lagi masalah waktu. Namun sebagai pengingat, benar. Pengingat tentang sekelebat kenangan yang masih menganga di ingatan. Tentang siapa pemberinya, tentang berapa lama waktu yang dilalui dengan jalan berdua sambil merangkulkan lengannya ke bahuku, tentang berapa banyak langkah yang dijejakkan dari awal bertemu hingga harus berpisah.
Sudah tak ada lagi kereta yang hendak pulang ke stasiun ini. Si perempuan ini akan pulang. Mungkin benar kata orang, bahwa kekasihnya telah meninggal di negeri seberang, bersamaan dengan hilangnya nyawa arloji ini. Mungkin benar kata orang, bahwa di setiap pertemuan pasti perpisahan.
Biar aku kembali pulang. Sayang, besok aku ke sini lagi. Siapa tahu nyawamu tertinggal dan menungguku di stasiun ini. Biar kupasrahkan diriku, besok, berbaring di atas rel kereta. Menunggumu meraih tanganku untuk bertemu kembali.

Rencana Tahun Lalu


“Baru pulang dari pendakian ke gunung mana, Mas?” tanyaku sore itu, waktu matahari sore sedang giat memberi kesan gerah dan menjadikan sore semakin terasa melelahkan di langit-langit kota. “Semeru? Gede? Jaya Wijaya?”
Senyumnya tak tanggung tersungging dengan leluasa, untukku yang hanya seorang asing. “Jalan-jalan saja, bukan dari pendakian manapun” katanya.
Dengan keringat yang bercucuran seperti itu, di muka hingga bisepnya, mustahil aku percaya. Apalagi, tengah ia pikul ransel besar yang kutaksir berisi peralatan bekal hidup di gunung. Celana selutut dan sepatu yang kumal dan penuh bercak tanah membuatku semakin yakin bahwa lelaki ini hanya berusaha merendah. Maklum, tak semua orang sanggup melakukan pendakian, baik secara fisik maupun sarana pendukung lain untuk singgah lama di sana. Menemui orang seperti ini, sore-sore begini, di kota besar seperti ini, agaknya sangat susah. Karenanya, orang yang melakukan pendakian dianggap keren. Mungkin sebab itulah ia merendah, pikirku.
“Mau es teh, Mas? Kelihatannya butuh minum” aku mencoba menawarinya, kelelahan terlihat sedang menggantungkan hidup kepadanya. Lagipula, ini hari pertamaku bekerja di warung Pak Asnan. Mungkin ini bukan kebetulan. Mungkin laki-laki ini memang diharuskan lewat agar segelas es teh terbeli. Dengan begitu, aku bisa menunjukkan kepada Pak Asnan bahwa keponakannya ini sedikit bisa menarik pembeli.
“Boleh, yang es batunya banyak, ya” jawabnya. Kemudian menaruh ranselnya di atas kursi kayu panjang di luar jendela warung.
Aku segera masuk, menuang es batu yang banyak ke dalam satu gelas bening yang agak besar, disusul dengan menuang racikan teh manis dari dalam teko aluminium yang sudah disiapkan istri Pak Asnan agar tak membiarkan pembeli menunggu terlalu lama. “Ini, Mas, silakan diminum”
Tegukannya besar-besar, masuk ke dalam kerongkongan hingga menimbulkan bunyi glek, glek, yang begitu jelas. Tak lama, segelas besar es teh manis telah habis, tersisa bongkahan es batu yang belum sempat mencair. “Makasih ya Mbak” katanya sambil menaruh gelas di samping tempat duduknya.
“Sama-sama, Mas. Dua ribuan, boleh langsung dibayar, boleh nanti, boleh ngutang juga asalkan besok datang lagi” sahutku, keseriusan yang kubungkus dengan candaan. Maklum, akhir-akhir ini—kata Pak Asnan—supir-supir  angkot sering berhenti dan main comot gorengan lalu pergi tanpa membayar. Tujuh ratus lima puluh per gorengan, kalau sekali comot bisa terambil tiga dan dalam sehari ada lima supir angkot yang melakukannya, bisa turun drastis gajiku.
“Hahaha, santai Mbak, nanti saya bayar” jawabnya sambil tersenyum lebar. “Mbak, kok tahu kalau saya dari gunung?” tanyanya.
Nah, tepat. “Wah, walaupun sekolah saya nggak tinggi, Mas, kalau lihat penampilan Mas seperti itu sudah jelas habis turun gunung, hehehe”
“Iya, Mbak. Sudah waktunya pulang. Lusa hari penting buat saya Mbak, naik gunung barusan cuma untuk nyari ketenangan walaupun nggak sampai puncak”
“Oh ya? Hari penting apa, Mas?”
“Pernikahan saya, Mbak. Persiapan sudah beres semua, makanya saya berani ninggal ke gunung. Katanya, waktu ijab itu lebih nervous daripada siding skripsi ya, Mbak? Makanya saya nyari ketenangan, di gunung. Pas saya mau sidang skripsi dulu aja seminggu nggak turun-turun, Mbak”
“Wah, saya doakan lancar ya Mas, ya”
“Aamiin, makasih ya Mbak” katanya sambil kembali memamerkan senyum yang makin lama makin terasa akrab itu. “Mbak, ini uangnya. Kembaliannya ambil aja. Saya harus buru-buru pulang. Kamis malam gini pasti jalannya padat”.
Aku sedikit ternganga. Ah, mungkin terlalu lelah lelaki ini, pikirku. Hingga menyangka sore-sore cerah begini sebagai malam. Lagipula, ini hari Sabtu, bukan Kamis. Atau mungkin dia hanya salah ucap. Bukan hal yang perlu diperdebatkan. Kuterima selembar uang lima ribu rupiah dari tangannya, dan sesuai permintaannya, tak kukembalikan tiga ribu rupiahhnya. Sedang aku hanya melempar senyum.
“Pinter juga kamu ngelayani orang gila” kata Pak Asnan dari belakang, tak lama setelah lelaki itu memasuki sebuah gang dan menghilang dari pandangan.
Aku masih tak paham.
“Namanya David. Gila karena tahun lalu, sepulang dari pendakian, rumah calon istrinya yang juga tetangganya itu mengalami kebakaran. Dia, ibunya, dan satu adiknya meninggal. Pacaran enam tahun dan pernikahannya gagal”
“Kejadiannya Kamis malam?”
“Iya, Nduk
Glek. Kali ini kerongkonganku seolah menenggak es batu bulat-bulat.


Selasa, 13 Agustus 2013

Mengobral Maaf


Apa yang perlu dimaafkan dari dosa-dosa yang tak pernah dilakukan? Kita hanya bertemu setahun sekali, pun hanya berjabat tangan untuk saling meminta maaf. Lalu melakukan hal yang sama tahun selanjutnya—itupun, jika bertemu. Tak ada kalimat lain yang kita ucapkan selain itu. Sama sekali. Lantas, dari sisi mana kau membuat dosa terhadapku—dan sebaliknya—sehingga kita harus saling berucap maaf, lagi dan lagi?
Mungkin tahun depan, kita tidak usah saling meminta maaf. Karena kita tidak pernah bertemu. Dan tak pernah saling membicarakan, saling menghujat, saling mengusili satu sama lain, dan lain-lain.
Tapi, eh, tunggu. Bukankah niat untuk tak meminta maaf adalah niat yang buruk? Maka aku berdosa kepadamu, baru saja.
Ah, memang kita harus terus meminta dan memberi maaf.

Minggu, 04 Agustus 2013

Apa yang Terlintas ketika Mendengar Lagu Sedih dan Itulah Mengapa Aku Menghapus Banyak Lagu Sedih


Kau masih saja seperti itu, serupa nyata yang maya. Yang membungkus kabut-kabut sisa malam lalu dengan seteguk ucapanmu yang melantunkan perpisahan secara damai. Tetapi, damai? Perpisahan yang damai tak akan pernah memasuki kawasan rasa sakit, setahuku.
Yang tak kau mengerti dari semuanya adalah, aku tak akan pernah lupa menaruh ingatanku. Kau masih saja memiliki porsi dalam kenangan yang tak mau kubuang.

Kamis, 01 Agustus 2013

Pakaian Pesta


Pakaian terbarunya, kabarnya, harganya lebih mahal daripada perabotan di ruang makan kami yang hanya terdiri dari meja kayu reyot dan empat kursi yang salah duanya hampir patah. Kubilang, kenapa harus membeli mahal-mahal, sementara hanya dipakai untuk pergi-pergi saja? Jawabnya, hidup butuh kepastian.
“Kalau memang acaranya formal, kenapa tidak kita pakai baju yang bagus sekalian? Kenapa harus memilih nyaman dengan kaus kusam dan celana panjang seadanya?” katanya sore itu, sepulangnya dari sebuah pusat perbelanjaan ternama di jantung kota.
Begini, untuk yang hidup serba pas-pasan sepertiku dengan jaringan pertemanan yang tak seluas dia, tentu, aku tak akan pernah sekalipun mendapatkan undangan pernikahan atau sekedar makan malam dengan setting yang begitu mewah sehingga aku harus menyesuaikan diri. Pesta terbaik yang pernah kuhadiri, pun hanya pernikahan anak sulung seorang tetangga baik, Amang Dani, yang digelar di pelataran rumahnya yang sederhana. Kubilang terbaik, sebab makanan sangat berlimpah hari itu. Mungkin karena rejeki Amang Dani melebihi jumlah undangan, maka keluarga kami ikut kebanjiran sisa-sisa makanan yang bahkan masih kami pertahankan hingga tiga hari. Tiga hari terbaik di mana kami tak perlu bingung menyisihkan uang untuk makan.
Mobil melaju perlahan, meninggalkan sisa-sisa keramaian pusat perbelanjaan, memasuki gang-gang kecil yang jarang terjangkau. Suaranya tak lagi terdengar sejak masuk tadi. Matanya masih terbungkus kacamata hitam yang besar. Mungkin sebab ia tak sedang mengenakan make up apapun pada matanya seperti biasa sehingga ia malu bahkan hanya untuk melepasnya sejenak.
“Berhentikan saya di ponten umum, yang agak bersih” katanya lagi, dengan suara kecil seperti sedang menahan sesuatu. Aku mengangguk saja menuruti perintah. Lagipula, suasana hatinya sedang kacau sekali dari semalam. Pulang dari Dubai dalam keadaan sakit, lalu harus bergerak cepat mempersiapkan diri untuk menghadiri sebuah pesta yang begitu mendadak. Siapa yang mau ada di posisinya?
Aku menghentikan mobil di depan sebuah musola kecil. Tepat dugaanku, alisnya mengernyit, seolah bertanya, “Mau apa?”
“Di sini saja, Nyonya. Susah cari ponten umum yang bersih. Kalau kamar mandi musola, sudah terjamin kebersihannya”, ujarku.
Perempuan itu menanggapi dengan datar, lalu keluar dan melenggang masuk mencari toilet wanita. Melihat ekspresinya, aku benar-benar yakin setelah ini aku akan diam saja. Benar-benar diam, bahkan tak akan kubuat kata-kata yang menyiratkan suatu candaan meskipun aku serius.
Tak lama, ia keluar. Ternyata ia mencari kamar mandi untuk berganti pakaian. Terusan kuning selutut—pakaian barunya yang mahal itu—kini menghiasi tubuhnya yang masih seperti gadis. Rambutnya masih terikat ke belakang, hanya saja sedikit lebih rapi dari tadi. Kaca mata hitam juga masih menggantung di wajahnya. Namun, sedikit perona pipi dan pemerah bibir kembali terpoles tipis, memunculkan kecantikannya.
Setelah ia memasuki mobil, kembali kami meluncur di tengah gemuruh petir yang menyayat-nyayat. Di atas sana, langit sedang mendung total.

***

Pesta, baru saja dimulai. Serupa pesta kebun, rupanya.
Majikanku yang cantik itu, turun dari mobil. Hak sepatunya terantuk-antuk kerikil di tanah. Langkahnya mengundang banyak mata untuk memandang. Ah, entahlah, aku rasa mungkin lebih karena pakaian yang dikenakannya, terusan kuning itu.
Seolah mengerti, kerumunan orang berpakaian serbahitam itu memecah barisan, menyediakan jalan untuk Sang Ratu lewat. Langkahnya begitu rapi, lurus berjalan tanpa tengokan-tengokan kecil menatap kerabat yang berdiri di kanan-kirinya.
Gerimis mulai turun. Aku memayunginya dari belakang. Tak sepertinya yang mengangkat dagu dan memanahkan pandangan lurus ke depan, aku lebih memilih untuk menunduk.
Di hadapan makam suaminya, ia bersimpuh. Tak ada tangis yang lebih menyayat dari tangis tanpa suara yang menderaskan air mata dan guncangan bahu yang begitu hebat.
Ia mencoba tetap cantik di balik busana terbarunya, persembahan terakhir bagi suaminya.


Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com