Minggu, 13 November 2016

Mari Bicara


Mari bicara dalam seriuhnya riuh, dengan bahasa yang sesunyinya sunyi.
Tentang angin yang hilir mudik meniupkan rambut-rambut di sisi telingamu.
Tentang matahari yang perlahan turun sore itu.
Tentang garis-garis di dahimu saat kau terlalu lelah berpikir.
Tentang darah yang berdesir ketika kata-kata mulai kelu hendak terucap di ujung bibir.

Mari bicara dalam seriuhnya riuh.
Mari bicara dengan bahasa sesunyinya sunyi.
Ombak tergulung pelan menelantarkan harapan-harapan.
Rapi kau berkemas menuju pulang.

Apa yang kau kata?
Apa yang hendak kau ucap?
Bicarakan padaku
Tentang banyak hal.
Yang tak terlalu riuh,
Dengan bahasa yang tak lagi sunyi

Introver

Keramaian membuat kita mati perlahan. Dipaksanya kita untuk memalsukan tawa, perbincangan, dan uforia yang tak kita senangi demi untuk diterima. Demi untuk menjadi salah satu dari keramaian tersebut. Manusia-manusia berisik. Mereka pikir, hidup kita sekosong itu hingga kita dipaksa untuk terus melibatkan diri.
Padahal, kepala kita telah mampu menciptakan keramaian itu sendiri. Kita mencipta karakter-karakter dan terjun bebas di dalamnya. Kita bisa asyik meskipun sendiri. Di dalam kamar, di perpustakaan, di sudut ruangan, di tepi jalan. Kita tak butuh riuh, karena segala riuh yang paling kita gemari adalah percapakan-percakapan dengan diri kita sendiri. Dialog-dialog yang tak akan orang lain tanyakan kepada kita. Kita adalah kawan terbaik untuk jiwa kita.
Jika sudah terlalu senang tanpa harus menjadi orang lain, siapa yang butuh diterima?

Kamis, 03 November 2016

Pada Suatu Maghrib

1.
Seorang pria meringkik merapat
Depan pintu besi bekas toko plastik
Dekat sekali dengan pipa saluran air
Yang meneteskan bunyi-bunyian sisa hujan sesore
Perutnya bergemericik
Melantun bak aliran sungai
Melantur pikirannya berandai-andai

2.
Seorang pria duduk di pinggiran
Menyelaraskan lelahnya
Menghitung pundinya hari ini
Di samping sengat aroma sampah
Hasil pertarungannya dengan nasib hari ini
Harus pulang sekarang
Rengekan tangis anak
Dan biaya susu yang semakin mahal
Adalah penyemangat
Meski sang bini mulai berkedip
Dengan yang lebih berpenghasilan

3.
Seorang pria melonggarkan dasi
Yang mencekik dan menuntutnya
Lima hari dalam seminggu
Tujuh kilometer ditempuhnya
Kemonotonan yang mengayarayakan
Tapi tak juga ia pulang
Dengan menenggak jawaban
Atas pertanyaannya sehari-hari
Apa itu bahagia?

4.
Pada suatu Maghrib
Ribuan orang pulang
Dari keterpaksaan-keterpaksaan
Yang dirahasiakan

Selasa, 25 Oktober 2016

Doa Ibu

Yang terlihat megah dan berjajar ratusan meter menjulang ke langit—ratusan meter lebih tinggi dari nasibnya yang  begitu kecil—adalah ketakutannya sendiri.
Mia berkemeja putih dan celana kain hitam. Pilihan setelan yang begitu wajar namun tak lagi enak dipandang di tahun dua ribu enam belas yang modern ini. Mia tahu, sepatu haknya yang baru dibeli semalam dengan harga empat puluh ribuan tak akan membantunya lolos wawancara hari ini. Ia juga tahu, alis yang digambar sekenanya dan tak simetris kanan-kiri tak juga akan membantu meyakinkan interviewer bahwa dia adalah satu dibanding sekian yang layak lolos ke tahap berikutnya. Tapi, ada doa Ibu, pikirnya begitu.
Bukankah doa ibu adalah yang paling didengar Tuhan (meskipun Tuhan Maha Mendengar)?
Ibu siapa dulu?
Ibu yang paling susah di antara ibu peserta tes yang lain.
Kau yakin ibumu adalah yang tersusah?
Lihatlah, penampilanku. Ibuku tak punya apa-apa yang bisa dibekalkannya ke anak gadisnya ini selain satu-satunya doa agar aku berhasil hari ini.
Kau membandingkan dirimu dengan siapa? Kau bahkan belum masuk dan bertemu para pesaingmu.
Benar juga!
Pikirannya beradu, telah disiapkan skenario sebaik mungkin tentang hal-hal apa yang kemungkinan akan ditanyakan dan jawaban apa yang paling masuk akal dan ingin didengar. Lima puluh lima menit yang lalu, Mia pikir dirinya akan begitu siap menghadapi hari ini: panggilan tes pertamanya setelah berhasil menjadi satu-satunya anak Ibu yang bergelar Sarjana. Satu dari enam, satu-satunya yang paling beruntung dari lima kakak-kakaknya yang memilih untuk menambatkan hati mereka untuk bekerja-meskipun-pendapatan-pas-pasan dan yang-penting-kerja-halal selepas Sekolah Menengah Atas.
Lima puluh lima menit yang lalu, Mia pikir ini adalah harinya. Begitu bangganya ia mendapat kesempatan untuk mengikuti wawancara di salah satu perusahaan yang acak dipilihnya untuk dilempari satu dari lima puluh lamaran yang dibuatnya.
Mia kira, dia begitu siap.
Hingga ia turun dari angkutan umum dan mendapati sekalimat lewat di hatinya “Selama ini kau tinggal di mana?”
Dilihatnya angkuh bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Begitu kecil ia sampai kepalanya harus mendongak, seakan serangga yang siap ditelan oleh kejam ibukota. Rasanya tak pernah ia berkelana dari rumah sejauh ini. Hidupnya di pinggiran. Rumah-rumah padat penduduk dengan jumlah kamar tak sebanding dengan jumlah anggota keluarga. Dihimpit segala kekurangan ekonomi di sana-sini. Hidup dengan mendengar keluhan serbakekurangan setiap hari.
Lantas, timbul lagi sekalimat saat ia melangkahkan kaki jenjangnya di atas sepatu berhak tinggi yang dibeli murah semalam itu, “Aku ini siapa”.
Bak kehilangan jati diri, ciut nyali Mia. Berbekal doa ibu, nyatanya ia tetap melangkah ragu.
Bukankah doa ibu adalah yang paling didengar Tuhan (meskipun Tuhan Maha Mendengar)?
Ibu siapa dulu?
Ibuku, yang paling susah. Yang empat tahun lalu meninggalkan keluarga kami demi menikah kembali dengan seorang kaya raya agar salah satu anaknya bisa sekolah tinggi dan memperbaiki nasib keluarga.
Ini harinya. Berbekal doa Ibu yang masih membuatnya ragu, Mia toh—pada akhirnya tetap melangkah maju. Kepada Sang Perancang Nasib, ia berpasrah. Ia siap dilumat oleh ketidakberuntungan.
Atau, keberuntungan.
Atas doa Ibu yang belum pernah didengarnya lagi empat tahun belakangan ini.

Senin, 19 September 2016

Di Kereta

Di kereta, ada perasaan-perasaan yang berjalan bergegas untuk segera dipastikan. Perasaan yang berdenyut-denyut sepanjang nadi rel kereta
“Kita tak ada tujuan”, katanya. Tapi, kau tahu betul tangannya masih di sana: di genggaman tanganmu sejak memasuki gerbong hingga lima puluh menit penuh jeda yang berlalu.
Tak ada getir yang lebih terkoyak dari ini, kau dibawanya dengan mesra menuju sesuatu yang tak pernah pasti. Menuju puluhan gerbong kereta api, menuju puluhan tempat pemberhentian sementara untuk melanjutkan ketidakpastian kembali.
Pada stasiun berikutnya, yang ingin kau lakukan hanya satu: turun dan melambaikan tangan. Karena hidupmu telah terlalu banyak dipenuhi oleh persinggahan-persinggahan, juga bising lalu dan lalang persimpangan. Sedang kau begitu lelah dan ingin melangkah keluar saja.
Kau tahu? Turunlah, berhentilah jika ingin. Kau tak lagi perlu puluhan perjalanan.
Kau tahu?
Di sini, ada aku.

Minggu, 18 September 2016

Prolog

Akan tiba harinya, yang paling dinanti olehmu: hidup bersamanya.
Mulai sekarang, bersamanya kau akan terbangkan doa-doa sejauh mungkin dan berusaha menata satu per satu anak tangga untuk menggapai mimpi-mimpi. Mulailah semuanya dari awal, sebab kau tahu betul segala pergerakan harus bermula dari titik nol. Bersamanya, sanggupkan dirimu untuk berjalan sejauh apapun tanpa alas kaki. Biar lelah ditanggung bersama, sadari bahwa tak segala sesuatu bisa didapatkan semudah kalian menengadahkan tangan ke orang tua dulu.
Pada harinya nanti, kami akan berpesta merayakan kisah barumu. Buku baru, halaman satu hingga tak terhingga. Karena kami tahu, “selamanya” adalah satu-satunya hal yang akan kalian menangkan nantinya. Dan kalian tahu, kemenangan adalah proses yang panjangnya tak terkira. Jangan lelah, jangan pernah menyerah jika ada terjang badai, atau tumpul asa di depan nanti. Kalian adalah yang berikrar untuk menua bersama, abadi dalam janji paling suci. Yakinlah, bersamanya kau tak akan ragu untuk memenangkan kisahmu. Pada halaman terakhir nantinya, kami ingin menyaksikan haru kisah kalian yang hanya akan terpisahkan oleh maut. Bukan prasangka, atau pemeran lainnya.
Kau dengannya, mungkin adalah sepasang yang tiap paginya akan saling menatap dan meyakinkan satu sama lain, “Ini tak akan mudah, tapi bersamamu aku mau hidup susah”.
Hingga akhirnya, selamat berjalan berdampingan. Semoga susah senang sama-sama merasakan. Semoga berbahagia. Kau tahu, doa kami selalu menyertai.

Senin, 12 September 2016

Genang

Adalah banjir yang memporakporandakan seisi rumah kami. Di sekujur lantai yang pucat pasi, tergenang satu-dua kenangan. Pigura foto keluarga yang tenggelam bebas di permukaan paling dasar, pun sepertiga sofa tempat kami menghabiskan waktu dengan hangat percakapan-percakapan ringan, kini menjadi basah dan dingin.
Guyur hujan semalam dan banjir selutut yang menggenangi rumah kami melengkapi memori yang tenggelam akan satu-dua orang rumah yang perginya begitu jauh, tak ubahnya daun kering—gugur satu per satu tertiup angin dan berkelana meninggalkan pohonnya.
Kupungut gambar kami berenam bersama kebahagiaan yang tercetak manis di pigura kayu yang tenggelam. Tak ada yang bisa menyelamatkan basahnya. Tak juga aku.
Di sekujur lantai yang pucat pasi, tergenang satu-dua kenangan pada sepasang mata yang menatap nanar pada keadaan.
“Kapan Ibu bisa melihat kalian pulang?”

Jumat, 26 Agustus 2016

Reblog: No Matter How Honest and Warm I Began

I always ended up chopping my letter into one normal-but cold, impersonal, template like-sentence. For millions reasons. 

One for millions. 

Maybe some day I'll tell you a story about what growing up means to me. And I'll listen to yours.

Till then, I hope you're well and happy.


-----------------------------
kristynelwan.blogspot.co.id/2016/04/no-matter-how-honest-and-warm-i-began.html?m=1

Rabu, 24 Agustus 2016

Pudar Jiwa

Dihisaplah jiwamu, oleh ruh-ruh yang berkunjung malam-malam. “Sia-sia hidupmu!” kutuknya (atau, aku berpikir ia hanya merangkum apa yang ia ketahui tentang hidupmu, bukan mengutuk). Mereka tampak seperti asap, mendekatimu kala lelap. Kau dirasuknya, tak terasa. Tidurmu nyenyak sekali. Kau hanya tersentak sekali, seperti dihampiri mimpi terburuk. Tapi kau mendengkur kembali.
Paginya, kau turut serta tak bernyawa. Hanya ragamu berjalan biasa saja.
Tak ada pendar.
Tak juga jiwa.

Minggu, 31 Juli 2016

Rumah Juli

Belakangan ini, rumah Pak Atma sedang ramai. Keramaian yang membuat para tetangga bertanya-tanya. Sebab, selama hampir tujuh puluh tahun menginjak rumah tua itu, tak pernah Pak Atma terlihat dikunjungi keluarga dan sanak saudara. Nyawanya tumbuh sendiri, bersama hari-hari sepinya di rumah yang penuh pohon buah itu. Namun, beberapa hari ini meski tak ada mobil di depan, tak ada wujud manusia keluar-masuk atau sekedar duduk di teras, tetiba terdengar riuh orang berbincang-bincang di dalam. Pagar masih selalu terkunci, daun-daun kering dibiarkan gugur di halaman dan belum tersapu. Para tetangga menyangsikan, jangan-jangan lelaki temperamen yang menggunakan tongkat kayu sebagai kaki ketiganya itu terlibat dalam sindikat teroris atau pengedar ganja. Tak ada satupun orang yang berani mencari tahu apa yang sedang dilakukan Pak Atma bersama tamu-tamunya di dalam. Pintu dan jendelanya tertutup rapat. Diingat-ingat, sejak hari itu, tiga puluh satu juli dua ribu lima belas.
***
“Bakar saja kalau tak mau jaga!” pria tua yang temperamen itu lantas membanting rolling door abu-abu yang karatnya mulai hidup di sana-sini, turut mengupas esensi kehadiran cat berwana kuning yang melafalkan “Rumah Juli”.
Siang yang begitu terik, sampai dari kejauhan terlihat bias panas aspal mengawang di sepanjang jalan. Beberapa tetangga yang sedang asyik minum kopi di warung Yu Narti—seberang rumah Pak Atma—tampak tak peduli karena sudah terbiasa dengan adegan marah-marah yang kerapkali diulang-ulang Pak Atma ketika mempermalukan pegawai-pegawainya yang belum ada seminggu bekerja itu. Berbeda dengan tetangga Pak Atma yang lain—yang ibu-ibu. Mereka memilih melirik-lirik ketus sambil berbisik ke telinga kanan tetangga satu, dan menyambung bisik ke telinga kiri tetangga lainnya.
Bocah lelaki yang kurus kering dan kudengar usianya masih empat belas tahun itu, hanya menunduk dan diam saja sambil meremas koran hari ini yang dipegangnya sedari tadi. Dengan sigap, Pak Atma meraih lembaran media cetak itu dari tangan si bocah dan menghempaskannya keras menabrak ke arah rolling door yang baru saja dihentaknya. “Selalu seperti ini kalau harta bendaku kuserahkan ke jongos yang putus sekolah sepertimu! Tak tahu cara merawat barang penting!” teriaknya sekali lagi. Kata-kata yang keterlaluan itu, adalah kalimat terakhir yang mengiringi si bocah pergi dengan tangis yang hendak pecah dan rasa malu yang tak akan pernah ia lupa hingga dewasa nanti. Dan ternyata, kalimat itu pula yang menjadi penutup segala drama antara Pak Atma dan pegawai-pegawai yang silih berganti mengadu nasib di Rumah Juli. Tak ada yang menyangka, itulah kali terakhir kami menyaksikan pertengkaran dan amarah Pak Atma—setidaknya, hingga hari ini, tiga puluh satu juli dua ribu enam belas.
***
Kira-kira, dua minggu lamanya setelah terakhir kali kulihat amarah Pak Atma meledak-ledak sambil tertatih memasuki rumahnya dan mengunci rapat pintu serta jendelanya, aku mulai terusik dengan ketidakhadiran beliau pada hari-hari berikutnya. Aku mulai memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Si Tua yang tak pernah dikunjungi sanak saudara itu (bahkan tak ada yang tahu berapa anak Pak Atma, atau berapa bersaudarakan ia, dari mana asalnya) barangkali darah tingginya kambuh dan mengalami stroke sehingga ia lumpuh tanpa pertolongan di dalam rumahnya dan tak bisa ke mana-mana. Atau ia mengalami serangan jantung dan telah tewas sejak dua minggu yang lalu? Tapi, kurasa tidak. Belum ada bau bangkai dan kepanikan warga. Tetangga sekitar tampak biasa saja dan tak curiga apa-apa. Semoga hipotesisku salah.
Seingatku—sebagai salah satu tetangga yang hanya memandang kehidupan tetangganya dari luar—Pak Atma berubah sepeninggal isterinya. Bu Juli (ejaan lama, dibaca Yuli) adalah permata hati satu-satunya yang dimiliki Pak Atma sepanjang hidup, entah sejak kapan. Aku lahir dan besar di lingkungan ini dan tahu-tahu mereka telah setua itu tinggal bersama di sebuah rumah dengan keberuntungan berupa lahan halaman yang cukup luas dan subur sehingga mudah ditanami berbagai macam pohon buah. Di sisi kiri rumah mereka, ada sebuah garasi dengan rolling door berwarna abu-abu dengan aksen tulisan latin berwarna kuning yang terbaca sebagai “Rumah Juli”.
Pernah ada pertanyaan menggelitik yang pernah kusampaikan kepada Ibu, “Mengapa Rumah Juli? Bukan Rumah Atma, sebab Pak Atma adalah kepala keluarga? Atau Rumah Atma dan Juli, agar adil?”. Lalu kami berdua duduk sambil menyantap makan siang kami sepulangku sekolah. Diceritakannya padaku sebuah kisah:
Rumah itu adalah Rumah Bu Juli yang diwariskan oleh orang tuanya sebelum meninggal. Jauh sebelum Bu Juli menikah dengan Pak Atma—ketika usianya masih sebelia nenek dan kakekmu yang dulunya juga berasal dari wilayah ini—beliau sendirilah yang merawat dengan baik peninggalan kedua orang tuanya.
Karena tak berpendidikan tinggi, Bu Juli yang rendah hati itu mendedikasikan masa remajanya sebagai pembaca dongeng. Setiap sore, ia mengumpulkan anak-anak kecil untuk dibacakan fabel maupun cerita-cerita rakyat dengan cara yang sangat menarik. Itulah awal mula Rumah Juli terbentuk, sebagai tempat di mana anak-anak mendapatkan cerita-cerita yang akan mereka kenang sebagai legenda hingga tua. Dari lima, sepuluh, hingga berkembang menjadi hampir lima puluh anak memenuhi Rumah Juli setiap harinya. Ketenaran ini membawa seorang wartawan dan penulis muda yang gemar mengkritisi gaya hidup muda-mudi pada masanya, untuk bertandang meliput kegiatan di Rumah Juli. Namanya, Atma.
Aku lahap memakan ayam goreng dan meresapi cerita Ibu. Menarik. Pertanyaanku dijawab dengan sangat apik oleh Ibu.  Pun belum pernah aku merasa setertarik ini dengan tetangga sendiri.
Dari situlah mereka jatuh cinta. Dari dongeng-dongeng yang dan kesenangan terhadap anak-anak yang dibagi oleh Bu Juli kepada Pak Atma, lelaki yang dulunya tampan itu jatuh cinta dan meminang Bu Juli. Keputusan yang tergesa namun tepat yang diambil Pak Atma hanya dalam hitungan hari setelah mereka berkenalan.
Berdua, mereka mulai mengembangkan potensi Rumah Juli. Pak Atma yang ternyata tak hanya menulis berita itu, juga menyumbangkan banyak sekali tulisan-tulisan pendeknya yang sarat akan pesan moral untuk dibacakan setiap hari oleh Bu Juli. Berdua, mereka adalah pasangan yang membuat iri pasangan lain, sebab, meskipun telah belasan tahun menikah dan belum dikaruniai anak, mereka dapat menjalin hubungan orang tua dan anak yang sangat membanggakan dengan bocah-bocah yang selalu haus akan dongeng-dongeng baru mereka berdua. Rumah Juli bukan lagi tempat bercerita, tetapi juga perpustakaan yang meminjamkan buku-buku kumpulan cerita pendek karya Pak Atma yang tak pernah dipublikasikan demi keuntungan komersil dan tidak ada di toko buku manapun. Di tangan Pak Atma dan Sang Isteri, Rumah Juli semakin hidup merangsang kegemaran anak-anak untuk membaca.
Begitu kira-kita.
Hingga akhirnya, dua belas tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku SMP, Bu Juli yang tak pernah jauh dari suaminya itu meninggal pada tidurnya yang begitu nyenyak dan tenang pada suatu dini hari.
Sejak saat itu, seribu satu kisah yang ditulis Pak Atma tak ada artinya lagi. Beliau berhenti menulis. Kaku tangan dan hatinya, berhenti akan lebih baik, pikirnya. Tak ada lagi persewaan buku. Tak ada lagi pembaca dongeng yang ramah menyapa anak-anak dan sanggup menjadi kekasih terbaik baginya. Seribu satu kisah—bahkan mungkin lebih—yang tak pernah dipublikasikan itu hanya berjajar di rak-rak buku Rumah Juli dan dibersihkan debunya sesekali. Membacanya kembali pun enggan. Rumah Juli tak sehidup dulu, macam musim gugur yang terlampau lama. Kering akan tawa dan bahagia seperti yang dulu orang-orang begitu puja.
Melekang bersama kesendiriannya, Pak Atma menjadi pribadi yang tertutup dan temperamen. Andai kata fisiknya sanggup, tentu ia sendiri yang akan merawat baik-baik kisah-kisahnya. Namun usia dan fisik yang melemah menjadikannya bergantung pada pembantu-pembantu yang silih berganti merawatbuku-buku dongeng buatannya. Pun, tak ada dari mereka yang hasil kerjanya cukup memuaskan. Pak Atma selalu bermuara pada pikiran andai Juli di sini.
Begitulah.
Maka, di minggu kedua setelah terakhir kali kulihat amarah Pak Atma meledak-ledak ini, aku masih menebak-nebak: apa seperti ini luka yang akan ditinggalkan seorang kekasih terbaik pada kekasihnya?
***
“Sepertinya, kita harus beritahu orang-orang,” Albertus, anak lelaki kecil yang punya volume otak menyamai orang dewasa itu, berlagak sebagai pemimpin rapat.
Yang lain diam saja. Empat hari ini, itu-itu saja yang telah dibahas dan begini-begini saja hasil akhirnya: tak ada aksi apapun untuk memulai gagasan itu. Yang lebih membuat susah,
“Lihat Pak Atma, dia harus dibawa ke Rumah Sakit secepatnya, atau...........”
“Tamat riwayat kita”
“Tamat riwayat kita” yang lain ikut menyahut panik.
“Tak perlu panik”, kata Bu Betty, ibu dari lima belas anak yang jago memasak itu baru saja menyelesaikan bubur ayamnya. Uap panas masih mengepul dari dalam mangkuk. Duduk di samping Pak Atma yang sedang terbaring, Bu Betty dengan sigap mengipas sendok demi sendok untuk disuapkan pada Pak Atma yang begitu lemah. “Masih ada kita. Kita semua bisa menangani ini”.
Lembar demi lembar, halaman per halaman, seribu satu tokoh dari seribu satu kisah yang pernah dicipta Pak Atma mulai berhamburan keluar. Tokoh-tokoh yang hendak berbalas budi atas terciptanya merekalah, yang kini merawat Pak Atma dengan sangat baik di Rumah Juli.
Sudah setahun sejak kemarahan terakhir Pak Atma terhadap pekerjanya, meski tak ada mobil di depan, tak ada wujud manusia keluar-masuk atau sekedar duduk di teras, tetiba terdengar riuh orang berbincang-bincang dari dalam Rumah Juli.
Pagar masih selalu terkunci, daun-daun kering dibiarkan gugur di halaman dan belum tersapu.

Surat (Untuk yang Kelak Akan Saya) Cinta

Pada suatu hari yang bersemayam di minggu terakhir bulan Juli, saya menulis surat untuk yang kelak akan saya cinta.
Sayang, kita tak akan pacaran lama-lama, sebab saya bukan perempuan pada umumnya. Saya tak pernah tahu pacaran itu bagaimana, sebab untuk saya pacaran hanyalah kesenangan yang menghabiskan banyak waktu demi ketidakpastian. Dan saya tidak suka membuang waktu. Karena itu pulalah saya jamin tak akan ada yang kau cemburui, sebab kemampuan saya untuk menjaga diri sangat luar biasa. Kalau tidak, barangkali bukan untuk kamu tulisan ini dibuat, melainkan untuk orang-orang sebelum kamu yang dapat dengan mudah meraih predikat pacar pertama, kedua, dan seterusnya. Tapi, kujamin tidak seperti itu. Sayang—siapapun kamu nanti—pasti  kamu akan jadi pacar pertama dan suami satu-satunya saya.
Dari beberapa pria yang sebelumnya pernah saya cinta, tentu kamu adalah yang pada akhirnya saya pilih (dan karena kamu memilih saya, tentunya). Tentu kamulah yang nantinya sebagai perwujudan kosakata baru dalam kamus saya, dorongan utama terbesar saya untuk menulis lebih baik. Menulis kalimat-kalimat cinta. Nanti kamu akan ada satu atap kamar dengan saya, mendengar tangis dan tawa saya, berbagi senda dan sendu, menikmati cerita-cerita yang menggebu hingga hening-hening yang tak mengurangi rasa nyaman kita.
Kamu nantinya akan bekerja untuk keluarga kita dan saya dengan sigap segera mengundurkan diri dari pekerjaan, sebab menjadi ibu rumah tangga adalah tantangan selanjutnya yang harus ditaklukkan oleh perempuanmu ini. Saya akan bicara tentang betapa siapnya saya berkeringat menyiapkan makanan untuk kita santap sepulang kamu bekerja, sekaligus membersihkan rumah dan rajin mengganti popok bayi kita. Saya akan menjadi pesulap yang bisa melakukan semuanya sendirian. Kau hanya perlu pulang dan tahu segala sesuatu sudah terkendali. Saya sudah wangi dan bayi kita yang menggemaskan itu siap dipeluk-peluk ayahnya sesisa hari. Kau juga hanya perlu duduk dan makan yang lahap sambil memberikan komentar jika masakan ini kurang garam. Atau mungkin menebar pujian bahwa masakan saya sama enaknya dengan menu restoran mahal yang pernah kau kunjungi dengan kolega kerja. Keduanya—asal keluar dari mulut orang yang kelak saya cinta—sama-sama enak didengar.
Oiya, Sayang, kalau kau jadi suami saya dan saya adalah istri kamu nantinya, bolehkah saya usul untuk marah-marah melalui surat saja jika nanti kita bertemu masalah yang memancing pitam kita? Karena saya sangat cinta kamu dan tak ingin kemarahan saya melukai kamu, maka mungkin saya akan lebih banyak diam dan menangis, dan menulis sedikit-sedikit untuk kamu. Kamu tahu, kan, saya lebih terlatih menulis luka? Bacalah sesekali, meski kau tak bisa membalas tulisan saya. Bicarakan dengan tenang ketika tangis saya sudah reda. Marahlah sambil memeluk saya, biar sama-sama redam dan tak harus melihat muka kita satu sama lain yang sedang tak enak dipandang. Marahlah dengan kata-kata yang pantas, biar luka dan singgungannya tak terlalu dalam. Biar tak perlu lama-lama dan lekas kita akur kembali ketika sedang duduk sambil mengomentari acara TV yang kita tonton bersama. Marahlah dengan cara yang baik dan dewasa, sebab kamu adalah panutan saya dan anak-anak kita nantinya. Bersamamu, saya harap kita bisa saling membangun diri.
Saya dan kamu juga harus bisa menjadi pelawak terbaik untuk satu sama lain. Karena—ingat—kita akan hidup bersama dalam waktu yang sangat lama. Saya akan melakukan hal-hal yang membuatmu betah menghabiskan sisa usiamu dengan saya, pun kamu juga harus berpikir demikian.
Sependek ini dulu, Sayang. Bunga-bunga semu merah sudah berguguran di kepala saya. Barangkali kapan-kapan Tuhan menibakan waktunya untuk kita bertemu dalam rencana-Nya yang luar biasa dan penuh kejutan seperti letup kembang api warna-warni di angkasa, tulisan ini akan saya sambung kembali.

Minggu, 24 Juli 2016

Koma

Keriaannya memadam, seperti jingga langit yang semakin turun menidurkan dirinya ketika hendak malam. Di kursi belakang, matanya menatap jauh ke luar jendela. Membayang selapis bening di keduanya, kurasa itu adalah perwujudan tangis yang hendak pecah. Bibirnya bergetar pelan, namun tak ada sedikitpun emosi yang terluncur. Tak menggugu, tak ada isak. Pun selapis bening masih menggenang di sana. Kurasa, dia hanya sedang menahan tabah.
Penerbangannya masih nanti, dua setengah jam lagi. Tapi kami telah meluncur sedini ini, menembus jalanan yang masih lengang. Sebelum berangkat, berpesan ia padaku untuk melaju sekencangnya. Deru suara mobil sedikit meniadakan keheningan di dalam sini. Namun, aku tahu pasti, betapa hati dan pikirannya begitu riuh oleh penyesalan dan amarah.
Masih dua setengah jam, ditambah satu jam lagi ia akan mendarat ke kotanya. Ia akan sibuk membalas peluk dan bela sungkawa sesampainya di rumah. Ia akan sibuk mendengarkan lantunan doa dan semangat dari sanak saudara. Sibuk menceritakan bagaimana sore tadi sebuah telepon terhubung dari jarak yang begitu jauh, mengabarkan dirinya bahwa suaminya tewas pada sebuah kecelakaan, ketika ia sedang makan malam dengan rekan-rekan kerjanya.
Namun tetap saja, lebih sibuk ia saat ini. Sebab dalam hening ia memeluk hatinya sendiri yang begitu ringkih, mendekap penuh duka atas kepergian suaminya. Berpelukan dengan ketabahannya, menangis sejadinya. Lebih sibuk saat ini—meski ia melamun saja di dalam perjalanan menuju bandara—diyakinkannya dirinya sendiri bahwa ini adalah takdir.
Ketika matanya menatap jauh keluar jendela dan deru suara mobil meniadakan keheningan di dalamnya—lebih sibuk ia saat ini—pikirannya berpacu mengenang segala apa yang telah dilalui dan menerawang bagaimana bisa ia akan melewati hari-hari setelah ini.
Tak menggugu, tak ada isak.
Ia merasa koma.

Rabu, 20 Juli 2016

Tendensi

Bagaimana jika kita duduk bersebelahan, tanpa tendensi untuk saling mencintai? Kau membaca koran tanpa suara, hanya bibirmu bergerak-gerak serius mengeja kata per kata. Aku menggigit roti isi cokelat yang tadinya niat kubeli sebab kukira isi selai kacang, lalu menggerutu sendiri dalam hati.
Bagaimana jika kita duduk bersebelahan, tanpa tendensi untuk saling mencintai? Kau selesai dengan koranmu, lalu membuka ponsel yang kau proteksi dengan kata sandi. Mengecek email dan pesan—serta mungkin kesan—dari kerabat jauh maupun dekat. Aku selesai dengan rotiku, lalu kubongkkar kantung plastik belanjaanku hingga menemukan sebotol air mineral. Kuteguk sekali, lalu dua kali, lalu habis sebab hausku harus lekas disudahi.
Kata-kataku di atas cukup menarik, bukan?
Jadi,
Bagaimana jika kita duduk bersebelahan, tanpa tendensi untuk saling mencintai?
Kau selesai dengan ponselmu dan aku selesai dengan air mineralku. Tak sengaja kita saling menangkap pandang satu sama lain. Lalu kau mengangguk kecil, memberi isyarat permisi. Berdiri lantas pergi. Sementara aku masih duduk menunggu kendaraan umum mampir menjemput.
Sebab kita adalah dua orang asing dan tak ada tendensi untuk saling mencintai.

Binasa

Yang kelak binasa
Adalah siapa-siapa yang tumpul
Sebab yang tajam
Mencari cara untuk bertahan lebih lama
Sedikit lebih lama
Ini bukan tentang hidup, Tuan
Ini tentang siapa-siapa
Yang lekas dilupakan

Senin, 18 Juli 2016

Kenang-Kenangan

Kita tak banyak bicara lagi setelah malam itu. Bagaimana bisa? Kuulang dengan rasa payah, bagaimana bisa? Sudah berjuta-juta hari, tak terhitung banyaknya kita menanam tanya sambil memeluk mereka dengan bungkam. Kita lilit lagi lukanya, kita lilit lagi seperti jenazah. Kita bekerja sama untuk tak lagi bertanya “bagaimana” dan “mengapa”. Kita bekerjasama untuk mengendapkan kenangan dalam sebuah kuburan massal. Rata tanah.
Kerjasama yang baik, sekaligus tak kita inginkan.
Bagaimana bisa?
Pertanyaan itu menggaung kembali.
Bagaimana bisa, sementara kau adalah
Lirik
Gambar
Kalimat
Matahari
Jendela
Warna
Dan kesenangan-kesenangan lainnya.
Bagaimana bisa?
Kau tanya kembali.
Kujawab entah.
Lalu senyap kembali merayap.
Kita kembali pulang pada perantauan masing-masing. Sambil terus disibukkan oleh naif atas harapan yang diam-diam terselip: agar kita masih ada kesempatan untuk kembali pulang pada satu sama lain. 

Rabu, 15 Juni 2016

Keberartian

Suatu hari, saya ada mimpi waktu tidur malam. Mimpi Ibu saya meninggal. Luka yang sama, rasa kaget yang sama. Rasanya seperti berdiri di ambang lelap dan terjaga, saya menangis sesenggukan. Rasanya seperti ada sesuatu yang tiba-tiba direnggut ketika semuanya sedang baik-baik saja. Mimpi yang sakitnya terasa nyata.
Kejadiannya, saya lupa kapan. Tapi mimpi itu cukup mengubah perspektif saya sampai hari ini, tentang kematian dan apa yang penting dalam hidup.
Betapa kita semua dekat—atau setidaknya, semakin dekat—dengan kematian. Tak perlu menunggu tua untuk sampai pada kematian, pun tak perlu menunggu sakit parah. Bagaimanapun, jika mau dibilang takdir, ya namanya juga takdir, setidak peduli apapun kita akan sampai pada saatnya. Tapi, apa mau sampai begitu saja tanpa meninggalkan kesan yang berbeda?
Beberapa kali saya melihat kematian-kematian yang dipenuhi tangisan dan kenangan yang baik-baik. Saya bukan orang yang ahli ibadah, dan beruntungnya pernah mendengar seseorang yang pandai ibadah berkata, “Kalau ibadahmu pas-pasan, bikin pondasi yang kuat dari hubunganmu dengan manusia lain”. Terlepas dari benar tidaknya, saya lumayan setuju, walaupun pendapat ini masih bersifat duniawi.
Lalu timbul pertanyaan sederhana, tetapi cukup ngeri juga karena sebelumnya tak terlalu peduli dengan pertanyaan semacam ini: Kalau saya sampai pada saatnya, apa yang bisa dikenang dari saya? Apa saya layak dikenang sebagai seseorang yang baik?
Saya bukan orang yang pandai dan terlalu bermanfaat juga untuk orang lain. Saya tidak melakukan perkembangan apapun, improvisasi apapun untuk menguntungkan lingkungan saya. Saya bukan orang yang mudah basa-basi dan bergaul dengan orang lain. Saya bukan orang yang hangat. Kesemua itu, membuat saya tak terlalu percaya diri bahwa nantinya saya bisa menjadi orang yang layak dikenang.
Saya terus fokus pada pertanyaan itu. Apa yang bisa dikenang dari saya?
So, this is what happened to me in these past few weeks: doing the best of myself to make everyone’s happy when I was around. Setiap orang pasti memiliki potensi untuk membahagiakan orang lain dengan caranya masing-masing. Saya tidak berharap yang ketinggian, dengan cara sesederhana membuat orang-orang di sekitar saya bahagialah saya ingin dikenang sebagai seseorang yang baik dan pernah memampirkan bahagia selama ada di sekeliling mereka. Sambil selalu berpikir, bahwa ini yang terakhir. Saya jadi ingat ketika saya masih ada di alunan masa-masa Sekolah Dasar, seorang guru pernah berkata dengan begitu fasihnya,  melafalkan dengan hati, bahwa kita harus melakukan segala sesuatu dengan baik seolah itu adalah kesempatan terakhir kita melakukannya.
Karena itu pula belakangan ini saya lebih sensitif, dalam arti yang baik. Saya begitu berhati-hati dan tidak ingin melukai orang lain. Karena, siapa tahu, kapanpun bisa menjadi saat terakhir kita untuk berinteraksi dengan orang tersebut. Entah dia atau kita yang mendahului. Menanam luka jangan terlalu lama. Karena kita tidak tahu apa besok masih diberi kesempatan untuk memaafkan atau dimaafkan.
Saya tak berharap ketinggian juga. Tapi setidaknya, dengan perspektif seperti ini saya merasa menjadi orang yang lebih baik untuk diri saya sendiri (dan mungkin untuk orang-orang di sekitar saya). Betapa saya harus memberikan esensi yang baik pada waktu-waktu yang saya lalui. Pada berbagai hal yang terjadi dalam hidup saya, di menitnya, di detiknya.
Bukankah kita berhak atas keberartian? Berhak atas menjadikan diri sendiri lebih berarti untuk orang lain? Berhak melayakkan diri untuk dikenang? Bersulang, untuk hidup yang tak dirayakan dua kali ini.

Minggu, 29 Mei 2016

Surat Sepenggal


.....

Kenapa Papa harus sebegitu komplitnya menjadi Ayah buat saya? Pa, saya suka cara Papa menolak permintaan saya. Saya suka Papa mengajarkan saya menunggu datangnya hal-hal baik yang worth waiting for. Saya suka cara Papa mengajarkan saya untuk sabar dan mandiri. Untuk jangan pernah berhenti mencoba meskipun gagal berkali-kali. Untuk terus meyakinkan bahwa saya bisa dan saya harus yakin bahwa saya bisa. Untuk selalu memberi saya kepercayaan bahwa saya punya kontrol untuk menjaga diri sendiri. Saya suka euforia yang Papa ciptakan setiap kali saya bisa melakukan, menyelesaikan, dan mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya suka segala sesuatu yang Papa terapkan terhadap saya. Saya tumbuh menjadi perempuan yang dibentuk dengan nilai-nilai yang begitu baik.

Pa, apa yang terjadi kalau waktu itu pengobatan berjalan dengan baik dan Papa kembali sehat sampai hari ini dan seterusnya? Mungkin saya akan sangat bahagia, namun sekaligus menjadi produk gagal. Gagal ditempa masalah. Gagal menghadapi masalah. Semua ini, Pa, semoga cepat diberi titik terang. Ini hanya bagian kecil, Pa. Kapan-kapan lagi kalau ada waktu bertatap muka. Di mimpi, mungkin kita bisa lebih banyak bicara.

Pa, Selamat Hari Ayah. Datanglah sekali-sekali ke mimpi mereka, katakan kalau saya bisa.




-------------------------------------
Surat untuk Papa yang mengendap di laptop saya, ditulis 12 November 2014.

Selasa, 03 Mei 2016

Menerka Jaya

Jaya menatap ilustrasi dirinya yang samar terbentuk di balik kaca. Tak seperti orang-orang yang terlihat sibuk di sekitarnya, ia tak mengenakan pakaian rapi pukul enam pagi. Apa yang dilakukan Jaya? Siapa Jaya?
Itu tak penting. Sungguh, baginya, siapa Jaya bukanlah hal yang penting dan menarik untuk diceritakan. Jaya adalah apapun yang bersarang pada persepsi orang ketika memandangnya.
Dengan pakaian yang compang-camping, orang menganggapnya pengemis muda yang baru terjaga setelah mimpi panjangnya sebagai milioner semalam. Tapi Jaya tampak mengenakan jam tangan berbahan tali dari kulit asli dan kuning keemasan mengikat manis bingkainya. Tampak baru. Maka orang akan mengira bahwa Jaya adalah anak orang kaya yang baru kembali dari malam gemerlapnya di sebuah bar, tanpa tergagas ide akan menjadi pria seperti apa ketika bangun dalam keadaan mabuk paginya.
Uraian tentang Jaya, bukanlah hal yang penting. Dan apa yang dipikirkan orang tentangnya jauh lebih tak penting. Ia jalan tertatih seperti begitu lelah. Tapi, benar juga. Ia tak tahu seperti apa hidupnya akan berlanjut kemudian, sepuluh jam ke depan, atau sepuluh menit kemudian.
Bukankah hidup adalah sebuah taruhan besar di atas meja judi? Begitu sebaris kalimat yang pernah dibacanya, dituliskan oleh keresahan dan keputusasaan si penulis tentang hidupnya sendiri. Dan perempuan-perempuan nakal yang menggenapkan bahagianya hanyalah redup nyala lilin yang akan kembali menggelapkan Jaya ketika hasrat mereka telah habis masanya. Jaya mengendus hidupnya, entah.
Bahkan bayangannya saja hanya muncul samar, malu dan tak mau terlibat banyak di balik kaca. Enggan menjelaskan siapa Jaya. Barangkali Jaya memang apapun yang bersarang pada persepsi orang ketika memandangnya.
Pukul setengah dua dini hari, saya menulis ini sebab Jaya tiba-tiba tercipta di kepala saya sedari tadi. Sebab saya terus berusaha menemukan cerita untuk Jaya yang terlihat gundah memandang dirinya di balik kaca dan tak mengenakan pakaian rapi pukul enam pagi.

Sabtu, 02 Januari 2016

Runyam

Sembari dininabobokan oleh waktu, kepalanya dirajam oleh pikiran-pikirannya sendiri. Tentang bagaimana semestinya jika bla-bla dan bla. Matanya tak pernah benar-benar terlelap ketika malam. Bahkan suara udara yang mengapung bebas di ruangan pun terasa bisa didengarnya.
Runyam, batinnya. Entah mengatakan untuk apa atau untuk siapa.
Bisa jadi, untuk pekerjaannya yang tak terselesaikan akhir-akhir ini sehingga memantik amarah-amarah baru dan menciptakan karakter-karakter monster baru di lingkungannya. Sehingga—sekali lagi—ia membatin satu kata runyam.
Atau untuk kisah cintanya yang tak pernah berakhir dengan sebuah perayaan atau penyelenggaraan kecil seperti hari jadi atau yang lainnya. Sehingga—lagi-lagi sehingga—ia membatin satu kata runyam.
Atau untuk—apa saja bisa. Sebab kau tahu bahwa—seperti yang telah kutulis di awal—kepalanya sedang dirajam oleh pikiran-pikirannya sendiri.

Sementara di luar jendela kamarnya, kembang api bertaburan. Melesat jauh ke angkasa tanpa suara. Sebab sejelas-jelasnya suara yang memenuhi isi dirinya saat ini hanyalah suara udara yang mengapung di ruangannya. Juga suara pikiran-pikiran yang turut merunyamkan kepalanya sendiri.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com