Selasa, 28 Oktober 2014

Pemikiran Kritis yang Tak Perlu


Saya hampir dua puluh tiga tahun dan tak pernah sejauh ini mengikuti perkembangan politik dengan serius. Alasan mendasarnya, adalah karena politik terlalu memusingkan untuk saya. Walaupun begitu, di sisi lain saya juga menyesal karena keapatisan saya ini membuat saya cenderung tidak tahu banyak tentang hal-hal krusial seputar perkembangan negara sendiri. Malu? Jelas. Tapi, saya mulai lumayan mengikuti koridor politik akhir-akhir ini. Beberapa hal menggugah saya untuk menulis. Postingan ini saya tulis bukan berniat sok benar, sok tahu atau apa. Semua tulisan di sini murni dari pikiran saya yang dangkal dan awam, tapi saya juga merasa perlu untuk membaginya.
Kita tahu pemilu presiden dan wakil presiden periode ini meningkatkan keseruan sekaligus ketegangan antara dua kubu. Kubu satu dan kubu dua. Tegang karena saling menjatuhkan (menurut saya), dan ini menjadi hal yang lucu ketika ternyata sampai saat ini masih ada orang-orang yang sibuk melakukan hal tersebut seperti tak ada kegiatan lain yang lebih penting untuk dilakukan.
Menurut saya, kita memilih karena menilai bahwa pilihan kita lebih baik dari yang lain. Namun, sebagai pemilih, kita juga tidak bisa mengembangkan ego kita sendiri sekreatif mungkin karena itu akan membawa ke dampak yang berbahaya: saling menjatuhkan. Logikanya, ketika kita memilih A, maka kita akan mencari tahu sedalam-dalamnya tentang prestasi-prestasi A. Sebaliknya, kita akan cenderung mencari borok dan nanah si B, hanya untuk menguatkan keyakinan kita sendiri bahwa A adalah pilihan yang tepat. Itu cara termudah untuk membandingkan sesuatu. Yang saya heran, kenapa kita seolah menutup mata tentang kecacatan yang dimiliki oleh kubu yang kita pilih? Apa karena kita sendiri sebenarnya mudah goyah dengan pilihan kita? Ada yang bilang “jangan mau dibutakan oleh media”, tapi apa iya kita sendiri tidak terlalu buta merespon berita-berita yang dikeluarkan media?
Katakanlah, media V dan W mendukung penuh kubu kedua. Otomatis, mereka akan lebih mengangkat citra kubu tersebut dan mencari-cari cacat kubu pertama. Siapa yang bisa memastikan kalau baik-buruk yang diciptakan oleh media tidak mengandung rekayasa dan bersih dari unsur kepentingan politik? Sayangnya, kita percaya pada kekuatan yang memihak pilihan yang sama dengan kita. Kenapa tidak berusaha lebih terbuka terhadap kekurangan kubu sendiri, melainkan justru sibuk menanamkan fitnah dan berfokus pada kekurangan kubu lain? Toh kita semua tahu bahwa semua orang tak luput dari kurangnya. Siapa tahu keburukan-keburukan yang diberitakan lawan terhadap kubu kita adalah sesuatu yang benar, dan sebaliknya, prestasi kubu pilihan kita yang selama ini kita bangga-banggakan justru hanya tak-tik untuk menggoda? Saya cukup kecewa ketika tahu bahwa seseorang yang berkata “jangan mau dibutakan oleh media”, ternyata cukup buta juga sudut pandangnya.
Terbukti dengan kegigihan mereka untuk terus menikam lawan. Berusaha kritis menakar siapa yang lebih dosa dan tak layak. Menganalisis dan mengembangkan kekurangan lawan. Menyebarkan berita buruk di sana-sini. Yang saya tahu, mencari keburukan orang lain memang lebih nikmat dan menyenangkan, juga mengenyangkan emosi kita. Jika berdalih melakukannya untuk pemerintahan yang lebih baik, (ini yang menggelitik pemikiran saya) bukankah menjadi pemilih yang sportif dengan menerima kekalahan dan mendukung siapapun yang menang adalah jauh lebih baik daripada sekedar menjadi korban kekecewaan diri sendiri?
Itulah kenapa saya berpikir bahwa beberapa orang telah mengembangkan pemikiran kritis yang tak perlu. Pemimpin sudah terpilih. Masa pemilu sudah lama terlewat. Yang terpilih untuk memimpin, bukan lagi kubu lawan. Beliau memimpin kita. Kita semua satu kesatuan. Sudah bukan waktunya kalau kita sibuk mengatai pemimpin kita sendiri.
Apa kamu bisa memastikan bahwa jika kamu terus melakukan hal itu, maka pemimpin yang tidak kamu sukai akan lantas diturunkan begitu saja?
Apa kamu bisa memastikan jika pilihan kamu diangkat untuk memimpin kita—nantinya—akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang jauh lebih baik dan punya pengaruh yang signifikan untuk memajukan kita semua?
Apa kamu bisa memastikan bahwa keburukan-keburukan pemimpin yang kamu bagikan secara cuma-cuma bisa lantas membuka mata orang lain untuk kemudian memihak pilihanmu?
Apa kamu bisa memastikan? Tidak. Kita semua sama, tidak bisa memastikan apapun karena kita bukan Tuhan. Jadi, daripada sibuk mencerca, alangkah lebih baiknya kalau kita berkaca. Jangan jadi suporter yang bisanya hanya meneriaki kekalahan. Rusuh di media. Kalau kamu yang menjadi pemimpin dan turun ke lapangan, apa bisa?
Tindakan nyata apa yang bisa kita sumbangkan untuk membawa taraf kehidupan kita semua menjadi lebih baik? Apakah kita sudah menjalankan demokrasi dengan baik: memberi saran dan masukan yang membangun atas kebijakan yang kita anggap kurang sesuai, bukan menghina-hina dan menjatuhkan.
Pemikiran kritis itu perlu, tapi kita juga perlu berhati-hati menempatkan diri kita. Jangan mau mati konyol karena dipermainkan pemikiran kita sendiri. Barangkali kita memang perlu banyak berlatih menerima kekalahan dan berlatih menjadi pendukung yang baik. Demokrasi bukan alat yang bisa digunakan untuk sebebas-bebasnya menjatuhkan lawan.

Senin, 27 Oktober 2014

Menulis Tentang Kelahiran Blog dan Harapan-Harapan

Hari ini, 27 Oktober, bertepatan dengan Hari Blogger Nasional. Sebagai salah satu orang yang sudah menggunakan blog kurang lebih lima tahun, tentunya saya merasa beruntung bisa mengenal kecanggihan teknologi ini.
Untuk saya, membangun sebuah blog sama halnya dengan membangun rumah. Butuh kesiapan dan jangan setengah-setengah. Butuh modal yang besar, dalam hal ini niat dan keberanian, juga komitmen. Kenapa membuat blog menjadi hal besar seperti ini?
Saya suka menulis sejak SD dan berlanjut hingga SMA. Namun, selama itu, saya belum pernah benar-benar mempublikasikan tulisan-tulisan saya. Beberapa kali membuat blog dan tidak aktif, saya jadi merasa bahwa blog bukan media yang efektif untuk saya. Penyebabnya, karena beberapa tahun yang lalu koneksi internet tidak bisa didapatkan semudah saat ini. Selain cukup mahal, saya tidak punya banyak waktu juga untuk mondar-mandir ke warnet dan repot-repot mengurusi blog. Akhirnya, mengambil langkah kecil untuk mulai berani memposting tulisan-tulisan pendek melalui media Facebook. Saya pikir, akan selamanya media itu saya gunakan. Ternyata, hanya sementara.
Singkatnya, tulisan-tulisan saya dibaca teman-teman, lalu beberapa orang menyuruh saya untuk beralih ke blog. Karena, bagaimanapun blog adalah media yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang doyan menulis. Sempat menolak, karena takut nasibnya akan begitu-begitu saja. Tapi tak lama, saya yang lumayan impulsif ini akhirnya berubah pikiran juga.
Saya ingat, dulu, ketika mulai ngeblog, betapa besarnya tekad saya untuk berani mengambil keputusan. Keputusan untuk berkomitmen, untuk terus menjaga blog supaya tetap hidup. Supaya tidak ditinggalkan begitu saja. Supaya saya bisa tahu proses kreatif yang saya alami sendiri. Semacam rekam jejak. Di situlah, awal mula blog ini dibuat.
Dulu, saya bisa posting tulisan-tulisan pendek setiap hari. Iya, segitu produktifnya saya. Bagi saya pribadi, menulis itu terapi, coping strategy, katarsis. Sefiksi apapun tulisan yang berusaha saya sampaikan, ada unsur pelampiasan ketakutan, kecemasan, dan beban masalah yang ingin saya tranfer dari pikiran dan perasaan saya menjadi unsur-unsur implisit dalam beberapa kalimat. Walaupun, kualitasnya juga masih ecek-ecek (sampai sekarang pun masih). Menulis pengalaman pribadi, pikiran-pikiran random, dan lainnya. Tapi, apa yang orang katakan tentang practice makes perfect ada benarnya. Bagaimana bisa kita mencapai  kemampuan yang lebih baik kalau kita tidak terus mencoba memperbaiki kekurangan dan kegagalan yang kita alami sendiri? Walaupun kata sempurna seperti mustahil dicapai, tapi melalui blog ini saya sudah melewati proses panjang (dan tentunya ke depan akan masih lebih panjang lagi) untuk bisa terus dan terus berlatih dan memperbaiki tulisan saya. We’re the true editor for ourselves, right? Beruntungnya, saya adalah orang yang selalu jatuh cinta dengan yang namanya proses.
Semakin ke sini, saya sadar blog ini tidak ingin saya fungsikan lagi sebagai tempat menanam curhatan di sana-sini. Saya harus bisa menulis hal-hal yang apik dan menghibur untuk dibaca. Saya harus memindah visualisasi imajinasi saya ke tulisan agar orang lain bisa ‘melihat’ apa yang ada di isi otak saya. Saya harus menciptakan cerita-cerita baru yang tidak lagi sama, tidak bisa ditemui di mana-mana. Saya tidak ingin lagi terlalu mengeksiskan diri pribadi ke dalam blog, melainkan mengeksiskan karya-karya baru dan segar, tapi juga punya kualitas. Itu yang saya mau. Konsekuensinya, akan membutuhkan lebih banyak usaha untuk menelurkan ide-ide seperti itu. Tentunya, tak bisa lagi menulis seperti itu setiap hari. Untuk memunculkan ide yang cukup layak dibagi, saya percaya butuh waktu yang lama.
Di Hari Blogger Nasional ini, saya berharap bisa terus menghidupkan blog ini seperti ibu yang ingin terus mengasuh anaknya. Ada yang pernah bilang rejeki saya mungkin lahir dari blog ini. Kebenarannya sudah saya buktikan beberapa kali. Jadi, mana tega saya mogok menulis? Saya percaya, beberapa penulis besar juga hidupnya diawali melalui langkah-langkah kecil yang konsisten. Berlatih menulis, salah satunya.
Terakhir, terima kasih untuk Para Pembaca. Walaupun tak banyak, kalian-kalian sudah beri saya masukan, kritik, saran, pujian, yang terus membangun saya. Terima kasih sudah bantu share blog saya, terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca dan mengikuti tulisan saya. Selamat Hari Blogger Nasional!

Kamis, 09 Oktober 2014

Lebih Lama Lagi


Saya tidak tahu, apakah saya akan duduk-duduk di sini saja atau berjalan mondar-mandir sambil berkali-kali menengok arloji. Atau, bisa juga saya langsung pulang, lalu menonton DVD di rumah. Tapi, dia akan marah-marah jika saya tak meneleponnya.
Kenapa memiliki kekasih jadi rumit sekali? Kenapa kita harus repot-repot memberi kabar, mengalahkan intensitas komunikasi kita pada orang tua yang jauh di sana. Padahal, ia yang terlambat. Ia yang salah dan memang sudah seharusnya saya meninggalkannya sejak sembilan belas menit yang lalu. Tapi, saya memiliki keyakinan kuat bahwa nantinya dia yang akan berkomentar panjang lebar perihal keterlambatannya dan betapa teganya saya kalau pulang tanpa memberi kabar.
Yang seperti ini, sudah kali ke sebelas. Dan sebanyak itu pula saya tidak tahu harus bagaimana.
Kenapa memiliki kekasih menjadi begitu rumit?
“Halo, kamu masih di sana, kan? Lima menit lagi, lima menit lagi, jangan pulang dulu ya. Daah”
Begitu mudahnya untuk dia memutuskan, dan begitu sulitnya untuk saya sedikit melawan. Seperti yang sudah-sudah, ternyata saya masih betah menjadi satu yang menunggu lebih lama.

Senin, 06 Oktober 2014

Seseorang sedang Kelaparan Malam-Malam

Lalu ia memaksakan diri untuk berjalan di tengah kantuknya, menuju kotak besi besar yang biasa kita sebut-sebut sebagai kulkas. Dibukanya, lalu ditutupnya. Dibukanya, lalu ditutupnya lagi. Banyak makanan di dalam kulkas, makanan yang tak bisa dimakannya meskipun rasa lapar tengah mencabik-cabik perut dan haus menggerogoti kerongkongannya hingga hampir habis.
Ia kembali berjalan ke kamar. Matanya berkedip-kedip.
Bagaimana bisa ia makan sesuatu yang hanya eksis pada otaknya yang masih ia peras untuk menghasilkan imajinasi malam-malam?
Rumahpun ia tak punya.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com