Senin, 27 Mei 2013

Bahagia Terakhir



Jika dunia akan berakhir dalam dua puluh menit lagi, maka ada dua kebahagiaan terakhir yang tersisa saat ini. Pertama, kau yang tertidur pulas sambil menyandarkan kepalamu dengan ikhlas di bahu kananku dan belum juga merenggangkan genggaman tanganmu kepada tanganku. Kedua, anak lelaki kita yang tertidur pulas di pelukanku yang masih belum bisa sebaik pelukan ayah-ayah hebat lainnya.
Dua hal yang begitu sederhana ini, Lastri, adalah kebahagiaan terakhirku sebelum dunia berakhir dalam sembilan belas menit lagi.
Bus kota siang ini lumayan lengang, tak terlalu dipenuhi bau apak keringat orang-orang. Itulah mengapa kau bisa tidur setenang ini. Kau tak suka suara bising, bukan? Juga anak lelaki kita yang begitu khusyuk menamatkan tidur siangnya. Kelopak matanya menutup sempurna, kadang bibirnya berdetak-detak kecil seperti jantung. Lucu sekali.
Lastri, kapan terakhir kali kita naik bus kota begini? Empat lebaran lalu, bukan? Bus yang membawa kita ke tujuan yang sama dengan yang sedang membawa kita hari ini: ke rumah orang tuamu. Waktu itu, Bayu, anak lelaki kita ini, belum juga terbentuk di janinmu setelah enam tahun pernikahan kita. Tapi, lihat sekarang. Juni nanti, ia genap tiga tahun. Langkah kakinya makin hari makin cepat. Belum lagi tingkahnya yang membawa kebahagiaan secara cuma-cuma untuk kita berdua.
Kerah bajuku mulai basah, bercucuran pula keringat di dadaku. Tapi itu tak menjadi soal, Lastri. Yang terpenting saat ini, pelukanku yang sederhana tengah menenangkan kalian berdua sebelum dunia berakhir.
Masih enam belas menit lagi, Lastri. Aku akan mengingat dengan syahdu bagaimana awalku mencintaimu dulu. Kau bukan gadis desa yang cantik, atau penjaga depot yang lihai memasak. Tapi, aku jatuh cinta pada cantiknya kau saat mengenakan terusan biru muda. Ya, begitu saja. Juga cara tertawamu yang seperti penuh kebebasan, seperti udara. Dan lagi, rambutmu yang selalu rapi kau gelung ke atas. Ah, aku kira, aku mencintai semuanya, tanpa terkecuali.
Tanpa terkecuali.
Kecuali, kau ingat, Lastri? Kau ingat, apa yang membawa kita membeli tiga tiket bus di hari biasa seperti orang kesetanan? Kau ingat, apa yang membuat kita bertiga akhirnya melakukan perjalanan empat jam ini demi mencapai rumah kedua orang tuamu? Kau ingat?
Aku mengingatnya, Lastri, dengan sangat baik melebihi kemampuanku mengingat hari pernikahan kita.
Lastri, aku tak pernah banyak berkicau tentang ragu akan setiamu, sebab kata ragu sendiri nyaris tak pernah melintas di syaraf-syaraf otakku. Tetapi, bukankah tanpa perlu berusaha, kau telah membuatku tak tidur dua malam untuk mempertanyakan hal ini: apakah kau layak menjadi istriku?
Empat belas menit lagi, Lastri.
Anak kita mulai banyak bergerak, kurasa ia mulai tak nyaman dengan detak jantungku yang makin cepat. Kakinya menandang-nendangmu tanpa sengaja. Kau ikut terbangun dengan wajah kusut. Bangunnya kalian berdua, menandakan kebahagiaanku akan segera habis.
Kulihat kau mulai merapikan dirimu, menata letak dudukmu, dan melepas genggaman tangan kita. “Sini, Mas, Bayu biar aku yang gendong” ujarmu lirih sambil menarik Bayu dari dekapanku.
“Lastri, maaf seminggu ini hubungan kita menjadi  tak enak” kataku, memulai kecanggungan dengan obrolan pertama sejak semalam.
“Salahku juga, Mas. Salahku lebih besar daripada permintaan maafku” jawabnya sambil menunduk dan mencium kening Bayu yang kembali tertidur.
“Aku juga minta maaf belum bisa berbuat banyak untuk bikin kalian bahagia”
Bus perlahan-lahan merapat ke tepi, ke sebuah halte yang hanya berjarak lima belas meter dari rumah kedua orang tuamu.

***

“Maafkan Lastri, Rif. Ndak bisa jadi istri yang baik untuk kamu”, bisik ibumu ketika memelukku sebelum aku beranjak pulang.
“Nggak papa, Bu. Mungkin saya juga belum bisa jadi suami yang baik untuk Lastri, sampai Lastri harus jatuh cinta dengan pria lain selain saya”
Ibumu kembali terisak, air matanya seperti pisau yang menyayat. Penyesalan atas ketidakmampuannya berbuat apa-apa. Sesal yang sama seperti yang aku rasakan, tidak bisa berbuat apa-apa selain merelakan kepulanganmu ke rumah kedua orang tuamu dan mengakhiri hubungan kita sebagai suami istri.
Kulihat kau mengintip dari balik jendela sambil menggendong Bayu.
Duniaku berakhir, Lastri. Sedangkan duniamu baru saja akan dimulai.
Tubuhku berjalan menuju halte. Menuju rumah yang tak akan lagi terasa sama.

Rabu, 22 Mei 2013

Jangan Menulis Hari Ini


Jangan menulis hari ini. Jangan. Jangan, sampai kau baca perasaanku yang lamat-lamat memanggilmu dalam gelap yang tak kau sangka-sangka. Sebab bait-bait penyusun tulisanmu adalah neraka yang menghanguskan kesadaranku untuk berhenti jatuh cinta.
Maka jangan menulis hari ini. Aku tak ingin binasa tiap kali membacanya.

Jumat, 17 Mei 2013

Jangan Lakukan


Serius, menjadi egois itu perlu. Karena kamu tidak bisa selamanya percaya pada orang lain. Satu-satunya orang yang bisa kamu percaya adalah dirimu sendiri. Menaruh kepercayaan pada orang lain—pada banyak hal—agaknya sia-sia.

Senin, 13 Mei 2013

Tik, Tik, Tik


Tik, tik, tik
Bunyi hujan di atas genting
Airnya turun menderas mata
Cobalah tengok, aku di sini
Menunggu kau yang tak kunjung datang

Betha membenarkan kerah mantel hitamnya sebelum pergi. Yang berkoar janji hendak menjemputnya, belum juga tiba. Kesabarannya terlanjur basah kuyup. Tak lagi-lagi ia percaya pada pria yang banyak bicara.
Stiletto merahnya menerjang genangan air. Saatnya pulang, sambil memaki dalam hati.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com