Kamis, 30 Juni 2011

Single


Jadi, mungkin belum pernah pacaran—buatku—cuma rasa takut kalau orang itu bukan orang yang tepat. Rasa ragu. Rasa waspada akan rasa sakit. Maunya, langsung ketemu orang yang tepat yang kata orang-orang itu jodoh. Tapi pasti susah.
Selamat single, Pupus. Semoga cepat bertemu orang yang tepat di waktu yang tepat, siapapun itu, sekalipun belum jodohmu, amin.

Rabu, 29 Juni 2011

Remembering


Halo Pa,
Hari ini, semua-muanya bikin inget Papa. Pertama, filter kran kamar mandi. Inget nggak, Pa waktu dulu kita berdua jalan ke pameran di GOR Petro ? Waktu itu Papa berhenti di stand yang jual filter kran air. Papa emang selalu gitu, selalu penasaran sama cara kerja alat-alat rumah tangga. Aku tau sih kalau Papa nggak bakalan beli, tapi pertanyaan-pertanyaan Papa tentang filter itu bener-bener bikin salesnya salah tingkah. Bahkan, mereka gagal mengoperasikan filter kran yang mereka jual. Masih inget, Pa ? Filter yang mereka peragain rusah, air krannya bocor ke mana-mana. Stand mereka bisa dibilang hancur, basah semua, banjir. Konyolnya, Papa langsung ngajak aku ngacir gitu aja.
Terus, hari ini pengumuman SNMPTN Pa. Aku inget banget tahun lalu, deg-degannya pengumuman SNMPTN. Waktu ternyata liat pengumuman dan keterima, Mama langsung peluk aku. Kita nangis berdua, Pa. Eh, bertiga ding sama Mbak Dita juga. Terus inget banget waktu Mama sama Mbak Dita bilang, “Papa pasti bangga sama kamu. Ya Allah Pa, ini lho Putri, Papa liat nggak..”
Nyesek Pa. Harusnya Papa ada di situ, detik itu, bahkan jauh-jauh hari sebelum itu. Nyemangatin aku. Tapi nggak papa, itu bukti kalau aku nggak Cuma bisa nakal Pa di rumah, aku juga punya keinginan besar buat bahagiain kalian.
Lagi apa di Sana, Pa ?

Senin, 27 Juni 2011

Jus Alpukat


Kecil,
Sudah lama, ya ? Aku mencari-cari hitungan yang pas, sudah berapa tahun tepatnya kita tidak bertemu. Dua tahun ? Tiga tahun ? Aku bahkan sudah tidak peduli lagi dengan angka-angka itu. Semua hal yang menyakitkan dan mempersulit prosesku melupakanmu sudah aku lupakan. Berhasil, akhirnya.
Kamu sudah berbeda ya, sepertinya kali ini dia—perempuan yang ada di sisi hidupmu itu—memang perempuan yang baik, yang baik buat kamu. Kamu awet dengan dia, semoga sampai seterusnya. Kalian serasi. Serius. Aku suka lihat foto-foto kalian, sama-sama ceria, periang, semoga bisa saling mengisi. Amin.
Hmm entah ya, siang ini panas tapi agak mendung juga, siang yang redup aku bilang. Lalu aku ingat waktu kita duduk-duduk di depan sekolah, pulang sekolah. Kamu traktir aku jus alpukat, gelasnya besar, sampai kekenyangan. Lalu kamu mulai bercerita, tentang keluargamu, tentang teman-temanmu, tidak terlalu banyak yang kamu ceritakan karena sesaat setelah gelas kita kosong, kita pulang.
Tapi aku senang. Suasananya, panas mendung seperti ini. Lalu daun-daun sedang mulai berguguran di sekeliling kita. Tiupan anginnya pas. Semuanya sempurna di detik-detik itu.
Aku mau lagi, kalau kita ketemu, kita minum jus alpukat lagi ya sama-sama.
Kita masih teman, kan ?

Minggu, 26 Juni 2011

Waktu


 
source : deviantArt

Semua ada waktunya. Untuk ini, untuk itu, untuk yang menunggu. Untuk yang berharap, untuk yang berdoa. Jangan lelah. Kalau harus menunggu, maka tunggulah. Ada waktunya yang ditunggu akan datang. Jangan lelah.

Jumat, 24 Juni 2011

Tujuh Tahun Sore (Lagi)


 
source : Google

Aku selalu suka seperti ini, menikmati sore hari denganmu duduk di sisiku. Bangku kayu panjang ini selalu menjadi tempat yang romantis untuk kita. Ada satu bangku kosong lagi di depan, namun tak perlu ditempati siapapun. Bukan aku, bukan kamu. Cukup di sini saja, kita duduk bersebelahan. Agar aku bisa melihat apa yang kamu lihat.
Kau bisa memeluk lenganku, tak perlu mesra, peluk saja. Pastikan aku masih ada untuk bisa menjadi pendamping di soremu. Sore ini seperti kita. Menua. Mengeriput dengan gurat-gurat jingga senja yang akan tertelan gelap.
Lalu kutanya padamu, “Akan berapa lama lagi kita seperti ini ?”
Kaubelai lenganku dengan lembut, pelan, gerakanmu makin tertatih termakan usia. “Sampai aku seratus tahun”.
Aku tertawa, tak terlalu keras karena aku tak mau kotak suaraku yang makin menyusut malah terlempar keluar. Kubilang, “Apa tidak terlalu lama ? Aku sudah terlalu lelah saat usiamu seratus tahun. Aku takut hanya bisa menikmati sore seperti ini dari balik jendela kamar, pasrah terbaring di atas ranjang reyot, aku tidak mau setua itu. Aku tidak mau menemanimu menghabiskan sore dengan cara seperti itu”
Kau sedikit kecewa dengan tawaranku, aku tahu. Lalu kausandarkan kepalamu di bahuku. “Kalau begitu, sampai aku delapan puluh tahun saja”
 Jariku menghitung-hitung, mencari angka yang pas dengan usiamu saat ini. “Itu artinya tujuh tahun lagi ? Baiklah, tidak terlalu buruk, aku masih sanggup selama itu”
Kita tersenyum, selalu seperti ini di sore-sore kita. Kata ‘selamanya’ itu tidak ada, Sayang. Tidak pernah ada garansi untuk itu. Aku tidak mau terlalu lelah. Hidup sudah terlalu berat untuk raga kita yang meringkih.
Jika Tuhan mengabulkan, Ia akan membiarkan aku tetap di sini. Menungguimu menunggu sore hingga dihabisi malam. Kau peluk aku, tak pernah terlalu mesra, peluk saja. Hingga tujuh tahun sore lagi akan seperti ini. Semoga masih bisa.

Kamis, 23 Juni 2011

Kesempatan

Baru aja nasehatin Kamel :


“Lek kesempatan dienteni gak teko-teko, kudu kon dewe seng nggoleki kesempatan” (kalau kesempatan ditunggu nggak datang-datang, harus kamu sendiri yang nyari kesempatan)


Sayangnya, saya sadar bahwa untuk menasehati itu 100% jauh lebih mudah. Ya, teori selalu lebih mudah daripada prakteknya. Sayang sekali.

Kangen

Tumpukan kertas. Tugas. Uas. Puluhan slide materi. Bosan. Kangen.




Selasa, 21 Juni 2011

Rasa Suka


“Rasa suka itu datangnya dari Allah, nggak ada manusia yang berhak menentukan kapan dan untuk siapa perasaan itu datang” – Mama.

Senin, 20 Juni 2011

Doa


Tuhan, saya berdoa banyak malam ini. Berdoa banyak, banyak menangis. Saya cuma mau segala sesuatu yang memburuk belakangan ini, berputar menjadi satu keajaiban yang baik dari-Mu. Saya mau ketika saya salah, mereka menyalahkan saya, saya tidak mau didukung ketika saya salah. Saya bukan perampok, tapi saya tahu saya jahat. Saya jahat sekali sampai saya begitu sering membuat kesalahan di hidup saya, di hidup orang lain.
Semoga Engkau menyimak doa saya baik-baik, mungkin itu yang saya butuhkan, Tuhan. Amin.

Aku Ada


source : DeviantArt
Melukiskanmu saat senja
Memanggil namamu ke ujung dunia
Tiada yang lebih pilu
Tiada yang menjawabku selain hatiku
Dan ombak berderu

Di pantai ini kau slalu sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat ku tiba
Suaraku memanggilmu akulah lautan
Ke mana kau s'lalu pulang

Jingga di bahuku
Malam di depanku
Dan bulan siaga sinari langkahku
Ku terus berjalan
Ku terus melangkah
Kuingin kutahu engkau ada

Memandangimu saat senja
Berjalan di batas dua dunia
Tiada yang lebih indah
Tiada yang lebih rindu
Selain hatiku
Andai engkau tahu

Di pantai itu kau tampak sendiri
Tak ada jejakku di sisimu
Namun saat kau rasa
Pasir yang kau pijak pergi akulah lautan
Memeluk pantaimu erat

Jingga di bahumu
Malam di depanmu
Dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada

(Aku Ada, Dewi Lestari feat. Arin Mocca)

Minggu, 19 Juni 2011

Masih


Saya menemukan nama kamu masih tercetak di sana. Nama yang saya simpan baik-baik karena saya pikir, kamu akan bertahan lama tanpa tanggal kadaluarsa di hari-hari saya. Begitu saya tahu saya salah, saya sakit. Lalu pelan-pelan, saya berusaha melupakan kamu.
Ada yang datang dan pergi, datang pelan-pelan, lalu pergi mengendap-endap. Akan seperti itu seterusnya, lagi dan lagi, seperti caramu. Tapi, bisakah kamu jelaskan kenapa masih kamu yang saya harapkan untuk kembali ?
Di perjalanan jauh yang sudah saya tempuh untuk meninggalkan perasaan saya yang sakit itu, saya masih—sesekali—menoleh ke belakang.

Rabu, 15 Juni 2011

51


“Selamat ulang tahun Ma, selamat memasuki usia ke 51 tahun.. Semoga makin lancar rejekinya, dapat barokah dari Allah SWT di sisa umur Mama, sehat selalu, amiin :*”

“Oo iya ya sekarang tanggal lahirku, sampe lupa aku, tapi emang dari dulu ulang tahun nggak pernah dirayain, ya pantes kalo rasanya sama kayak hari-hari yang lain. Amin, makasih doanya”

Jari mengetik lagi, “Haha, tapi yang penting traktiran, Ma :D”
Tapi urung ketika saya mulai berpikir, bukankah dari saya lahir sampai 19 tahun ini Mama sudah mentraktir saya setiap hari dengan cuma-cuma tanpa pamrih baik secara materiil maupun cinta dan kasih saying beliau hingga usianya merenta ?
Jadi, di hari yang biasa pun Mama sudah memberikan saya yang luar biasa.




PS : ada satu kalimat tertinggal yang belum jadi saya kirim ke Mama, “Aku sayang Mama, makasih Ma udah jadi Ibu yang sempurna buat aku”


Selasa, 14 Juni 2011

Buram


Kalau melihatmu itu sakit, maka aku bersyukur diciptakan Tuhan dengan mata minus. Sungguh, aku tidak perlu kacamata untuk memperbaiki penglihatanku.
Karena,
aku hanya ingin kamu terlihat buram.
Supaya tidak perlu lagi aku bersusah payah mencarimu, menunggumu, menoleh ke segala arah mengharap kedatanganmu.
Kamu, melebur saja dengan segala orang di sana.
Buram. Dan segera menjadi hal yang tidak penting lagi untuk aku perhatikan.
Itu saja.
Lalu, aku tidak peduli lagi.
Cukup merunduk dan memperhatikan kedua kakiku yang menapak jalan.
Jalanku.

Obsesi


Bumi itu berputar, berotasi pada sumbunya. Begitu berkali-kali kita diajarkan teori tentang bumi dan matahari di sekolah, bahkan sejak SD. Aku paham. Tapi itu dulu. Sekarang, begitu aku dihadapkan pada suatu masalah yang menyangkut kedewasaan pribadi yang bagiku sangat sulit untuk menanganinya, dan mereka berkata “Ingat, bumi itu berputar”, aku menjadi seperti anak TK yang asing dengan kalimat itu.
Aku yang sekarang, tak jauh beda dengan kecoa hitam yang diam di pojokan kamar. Menunggu pangeran tampan menciumnya, juga menunggu akhir cerita apakah aku si kecoa hina akan berubah menjadi Putri cantik dengan gaun mewah setelah dicium si Pangeran, atau justru mati sia-sia karena ternyata ciuman Sang Pangeran mengandung racun serangga. Atau kemungkinan yang lebih buruk, kecoa akan mati dalam usianya yang semakin lanjut dan tak berguna, dan menelan kenyataan bahwa tak ada seorang Pangeran pun sudi untuk datang dan mengecupnya. Tragis.
Jadi, ini sudah kulakukan sejak lima hari terakhir: terbaring di atas kasur yang keadaannya jauh dari kata rapi, tidak melakukan apa-apa, keluar hanya untuk mandi dan mengambil makan, dan kembali ke habitat awal. Bahkan aku benar-benar berdiam diri di pojokan, menjauhi cermin yang berdiri menantang. Pernah kemarin aku mencoba berkaca. Kudapati ada sosok perempuan yang hancur berantakan. Mata sembab dengan kantung hitam menggantung, muka lusuh, rambut acak-acakan, dan sangat tidak layak untuk dipandang siapapun. Aku mulai takut. Tidak akan lagi aku dekati cermin itu.
Oke, faktanya, bumi itu sedang berhenti berputar. Kalau tidak, bagaimana bisa aku masih berhenti di titik kehancuran seperti ini ? Tidak bisa move on, tidak bisa bergeser barang satu senti pun ke kehidupan yang lebih baik. Berantakan semuanya. Jadi, bumi memang sedang berhenti dan kehilangan gravitasi. Semua masalah yang sudah dipendam rapi-rapi dan nyaris aku lupakan kembali mencuat ke permukaan, terbang melayang-layang seperti nyamuk dengan gerakan slow motion.
Aku. Capek. Aku. Capek. Begitu aku katakan berkali-kali, pada lantai-lantai yang di atasnya membekas gambar-gambar berspidol hitam, gambar-gambar perempuan psikopat raksasa yang membawa pisau ke mana-mana. Itu aku. Mengarahkannya pada seorang lelaki tampan yang menggandeng seorang perempuan lain dalam gaun pengantin. Itu kamu, dan perempuan itu. Perempuan tai, aku bilang.
Aku meringkuk lagi, merangkul kedua lututku, lalu menangis lagi.
Akan seperti ini terus.

***

Aku cemas, dag-dig-dug tidak karuan setiap waktu. Sudah lima hari dia seperti itu. Ah, aku bingung. Tahapan mana yang aku lewatkan ketika mendidiknya, sehingga dia memiliki kelakuan dan pemikiran yang begitu membahayakan seperti itu. Terlebih lagi, gambar-gambar di lantai yang dia torehkan. Makin membengkak rasa takutku.
Berawal dari menjadi seorang penggemar biasa, dari tahun ke tahun anakku makin terobsesi dengan si artis lelaki itu. Posternya di mana-mana. Dinding kamarnya dipenuhi artikel-artikel yang memuat tiap berita dari tabloid hingga internet. Obsesinya membeludak. Mengejar-ngejar si artis, mencari info ke sana kemari untuk menghubunginya.
Mati-matian dia coba.
Mati-matian dia gagal.
Hingga minggu lalu, kabar pernikahan si artis mulai beredar di sana-sini. Anakku kalap, tidak terima. Masih begitu ingin dia mendapatkan lelaki itu.
Semoga—ya, semoga—dia tidak berpikiran sedangkal itu untuk berlanjut meneror si artis, atau bahkan mungkin meneror hidupnya sendiri dengan pisau ketidakmasukalan obsesi yang makin tumbuh dalam pikirannya.
Mati-matian, aku berdoa.

Senin, 13 Juni 2011

Tita, Tita, Tita

 
source : DeviantArt

Permen-permen gulali bertebaran di langit Tita. Bajunya lusuh, angin lembut mengangkat roknya selutut. Tapi dia tak peduli. Terus menggelindingkan dirinya, ke sana kemari. Menabrak mimpi-mimpi dan tertawa terbahak-bahak. Wajahnya berkeringat, bau matahari. Tapi bau matahari itu lucu, hangat seperti tatapan matanya yang berbinar.
Tita, Tita, Tita, bermain di dunianya sendiri. Dunia tanpa luka. Dunia di mana dia bisa terjatuh tanpa merasa sakit. Dunia di mana dia bisa memberantakkan diri tanpa perlu mendengar protes Ibu di sana-sini.
Tita, Tita, Tita, sembilan belas tahunnya tak kunjung dewasa. Dia terus menari di bawah langit gulalinya. Terus membangun istana mimpinya. Terus bermain di dalam imajinya tanpa henti, tanpa henti.
Tita, Tita.
Dia hanya tidak tahu bagaimana caranya jatuh cinta dan menjadi dewasa, dan menjadi terluka.

Minggu, 12 Juni 2011

Hidup Memang Berat


“Hidup ini berat”, kata Ibu berkali-kali.
Benar saja, kulihat Ibu memanggul tubuhku yang tak lagi semungil balita di satu punggungnya menggunakan jarik. Berjalan tertatih mencari bulir-bulir beras yang jatuh di jalanan sepanjang pasar. Dengan tangan kanannya yang terbungkus kantung plastik hitam, Ibu memasukkan beras-beras yang mulai menghitam—entah kotor, entah membusuk—itu ke dalam tampah di tangan kirinya.
Aku mendekap Ibu dari belakang, kubaui aroma keringatnya yang membasahi tengkuknya. Kulihat kakiku menggantung, tanpa alas. Terkulai seperti tinggal tulang. Bagaimana tidak ? Setiap hari makanan kami seperti ini. Gizi buruklahlah yang kudapat. Aku harus selalu berjalan dengan kaki Ibu, membonceng di punggungnya setiap hari seperti ini. Sementara perutku makin membuncit, hampir meledak.
Hidup memang berat, Bu, ujarku dalam hati. Berharap batin Ibu mendengarnya, juga Tuhan.

Abu-Abu


Kamu tahu tidak kalau kamu pernah pengucapkan satu kalimat yang membuat saya stuck di sini dan mengubur semua niatan untuk maju ? Kalau kamu hijau, sebenarnya saya juga hijau. Tapi ucapan dan kelakuanmu itu abu-abu, membingungkan.
Kamu tahu tidak kalau sekarang saya sedang berusaha mati-matian untuk melakukan denial, walaupun sebenarnya saya sangat kangen sekali, kangen sampai menangis. Tapi ucapanmu itu benar-benar menghentikan semuanya. Harapan juga terhenti. Total.
Dan rasanya sesakit ini juga, ya.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com