Selasa, 31 Januari 2012

#18 Ketika Para Waktu Berjalan Melambat

Surat ini, untuk kamu, yang pernah menjadi pemeran utama dalam buku harianku selama tiga tahun berturut-turut dari kelas 3 hingga kelas 6 SD.
Aku adalah monyet yang keburu jatuh cinta denganmu di pandangan pertama. Bodoh ya aku, tidak terlalu mempertimbangkan banyak hal pada saat itu untuk memutuskan bahwa aku cinta. Nyatanya, dia hadir begitu saja tanpa kita pernah berkenalan sekalipun.
Aku bingung harus mulai mana, bukan karena aku lupa detail awal bagaimana aku bisa jatuh cinta, hanya saja ketika mengingatnya, aku seperti menyaksikan film terbodoh yang tidak ingin aku rekomendasikan untuk siapapun sampai-sampai menceritakannya ulang pun enggan. Jadi, biar itu tetap rahasia.
Kamu SMP kelas 1 saat aku kelas 3 SD. Pukul 13.20 kamu selalu pulang sekolah melewati depan rumahku. Aku tunggu di balik jendela kamarku. Begitu kamu lewat, segala sesuatu seperti berhamburan, terbang melayang-layang lepas dari gravitasi. Melambat, melambat. Saat-saat seperti itu adalah adegan favoritku. Mataku tak lepas. Tak mau lepas. Sampai kupanjat jendela kamar, naik setinggi-tingginya tanpa melepaskan perhatianku yang tertuju pada kamu yang hanya lewat, sampai mataku tidak bisa lagi mengikutimu yang hilang karena terus berjalan. Kuulangi lagi besok, besoknya lagi, besok-besoknya lagi, seterusnya setiap hari. Lalu kutulis dalam diary.
Begitu juga ketika kita bertemu di lapangan. Aku dan dua temanku naik motor, goncengan bertiga. Dan tada! Kita bertemu. Kamu juga goncengan bertiga dengan dua temanmu. Kita sama-sama duduk di tengah. Sama-sama berbaju kuning saat itu. Dan aku merasa kesamaan kita saat itu adalah kebetulan yang ditakdirkan Tuhan. Bagaimana aku bisa lupa. Pulangnya, satu halaman buku harian kutulis dengan spidol warna kuning. Aku senang.
Ketika berangkat sekolah naik mobil jemputan. Aku duduk di bangku tengah, pojok kiri dekat jendela ketika kita bersisihan. Kamu berada tepat di sebelah kiri mobil jemputanku. Lagi-lagi waktu melambat ketika untuk pertama kalinya aku bisa melihatmu dari jarak yang begitu dekat. Kita hanya terpisah kaca jendela hitam. Senyumku tak bisa berhenti mengembang hari itu.
Juga pernah, di hari yang lain saat aku berangkat sekolah. Masih dari dalam mobil, aku melewatimu. Kamu berjalan sendirian, melakukan kegiatan sederhana yang mungkin kamu tak pernah sadar bahwa saat itu ada yang melihatmu melakukannya dan masih mengingatnya sampai sekarang. Itulah aku, melihatmu mengupil, lalu kamu mengumpulkan hasilnya di telapak tanganmu yang satunya seperti takut kehilangan tiap-tiap butir yang susah payah kamu korek dari hidung arabmu itu. Jorok. Tapi seharian itu aku terus mengulang-ulang cerita itu ke teman-teman dekatku. Aku senang.
Aku tidak pernah berada pada tingkat yang lebih dekat denganmu. Berkenalan saja tidak. Tapi itulah aku, yang selalu mendapatkan kesenangan dengan hanya mencintai diam-diam, menjadi pengagum rahasia tanpa merasa keberatan dengan tiga tahun yang lama tanpa kemajuan. Menikmati pertemuan-pertemuan kecil tanpa ada keinginan untuk tahu lebih banyak tentangmu. Seolah segala kebetulan saat itu lebih dari cukup. Sangat menyenangkan.
Kamu tahu ? Kadang saat-saat seperti itulah yang ingin aku ulang. Jatuh cinta tanpa sedikitpun rasa sakit. Jatuh cinta tanpa mempertimbangkan rasa takut apakah aku akan ditangkap atau jatuh begitu saja. Jatuh cinta dengan orang asing yang seterusnya akan tetap seperti itu. Jatuh cinta tanpa mengenal konsep take and give, karena konsep itu adalah yang paling membuat sakit ketika kita tidak bisa menyeimbangkan keduanya. Jatuh cinta tanpa perhitungan.
Jatuh cinta yang sederhana pada tiap kebetulan yang mempertemukan kita tanpa bosan-bosannya, ketika para waktu berjalan melambat.

Senin, 30 Januari 2012

#17 Membaca Orang Lain


Halo, A.
Beberapa hari yang lalu, kamu ke rumahku. Cerita ini-itu. Cerita tentang pacar barumu. I don’t even know who he is, but sorry to say, aku khawatir sama kamu. Aku tahu, men-judge orang itu bukan perbuatan yang baik, apalagi aku belum pernah bertemu langsung atau bahkan berkenalan dengan laki-lakimu. Tapi dari ceritamu, sepertinya kamu cukup tahu kenapa aku begitu khawatir.
Wajar, kan kalau aku menilai dia tidak lebih baik dari mantanmu sekalipun kamu sudah cinta dan sayang setengah mati dengan dia ? Wajar, kan kalau aku takut kamu dirusak sama dia ? Untuk dia, kamu termasuk orang awam. Aku khawatir sekali ketika kamu sudah sangat memercayainya, dan dia menyalahgunakan kepercayaanmu. Mm, mungkin aku berlebihan menurutmu, pengaruh kebiasaanku berlama-lama menonton rentetan episode sinetron tiap hari. Tapi percayalah, seperti yang berkali-kali aku katakan ke kamu waktu kamu ke rumahku. Aku khawatir. I know, I ain’t a mind reader like him dan nggak sepantasnya aku seperti ini.
Aku bukan pemercaya bahwa sahabat itu benar ada. Aku juga tidak pernah memaksa kamu menganggapku sahabat. Aku selalu berpikir “Siapa aku yang harus mendiktemu ?”. Bagaimanapun, kamu berhak memilih, berhak memutuskan, berhak atas apa yang kamu punya dan kamu percaya. Iya, aku tidak pernah menganggap bahwa aku sahabatmu. Hanya saja, biarkan aku memberimu sedikit kalimat yang lebih mirip nasihat. Bahwa, berhati-hatilah, jangan terlalu memercayainya. Aku tidak akan menyuruhmu putus begitu saja, atau jaga jarak, atau apalah. Hanya saja, kekhawatiranku tidak biasa. Tapi apapun itu, semoga yang kamu jalani sekarang adalah yang terbaik. Tidak masalah sama sekali kalau pada akhirnya kamu mengabaikan kekhawatiranku.
Jaga diri, ya.
Pupus.

Minggu, 29 Januari 2012

#16 Halo, Langit Yang Akan Tumpah


Halo, Langit yang akan tumpah.
Segeralah, jangan berlama-lama. Bantu aku merendam segala kering di akhir minggu. Tapi datanglah dengan airmu saja, jangan berkomplotan dengan Guntur. Guntur-guntur jahat itu menakuti anak kecil, membuat mereka sampai menangis dan lari ke pelukan ibunya. Ah, aku suka anak kecil. Aku tidak suka mereka menangis karena temanmu yang nakal itu. Dia juga berkali-kali bekerja sama dengan Angin untuk menumbangkan pohon-pohon. Itu bahaya. Sudahlah, kamu berteman dengan Hujan saja. Jangan berteman dengan Guntur.
Tapi jangan kau tumpahkan deras-deras, ya si Hujan. Jangan di makam Papa. Kami belum sempat ke sana untuk membersihkan rumput-rumput liar yang suka tumbuh di sana dengan begitu mudah. Kali ini, jangan bantu mereka untuk tumbuh lebih rimbun lagi. Nanti papaku, eh maksudku kami, susah membersihkannya.
Dari aku, yang menunggumu di balik jendela, di dalam kamar gelap.

Sabtu, 28 Januari 2012

#15 Karmamu, Kurasa

Untuk kamu, yang tak ingin kutahu kabarmu.
Iya. Akhirnya tadi malam aku mimpikan kamu. Di dalam mimpi, aku seperti menonton televisi. Sebuah kotak dengan nyala berpendar yang berisikan kita berdua. Ah, aku lupa. Sudah lama aku tak memakai kata ‘kita’. Aku dan kamu, lebih tepatnya.
Aku dan kamu tak baik, tak bicara satu sama lain. Aku dan kamu seperti gambar-gambar yang tersusun rapi dan membentuk gerakan yang urut. Stop motion, dengan laju sangat lambat. Seperti Tuhan mengabulkan doaku yang pernah aku ucapkan dulu sekali, agar ketika bersamamu, semoga waktu melambat sejenak.
Aku berdiri di depan, dalam jarak sekian meter darimu. Aku menatap langit, dan kamu menatapku. Lama. Lama sekali. Aku bisa merasakan, banyak sekali balon kata-kata yang ingin kamu utarakan, tapi nyalimu selalu pergi entah ke mana tiap bibirmu sudah menganga, siap bicara.
Masih dalam stop motion, tanganmu terulur, seperti ingin menarik lenganku. Tapi, masih saja, dalam jarak sekian meter, aku memilih menjauhimu. Aku membiarkan kehidupanku tak terjamah olehmu barang seruas jari pun. Dan kamu, terus berusaha memanggil dan meraihku.
Kamu tahu ? Mimpi itu berlangsung lama dengan latar-latar berbeda, namun adegan yang kita perankan tetap sama. Ya, itu saja. Dan kamu tahu ? Aku terbangun dengan perasaan luar biasa puas. Puas menangkap raut sedihmu yang tiap kali gagal membuatku membalikkan badan ke arahmu. Raut kesedihan yang tak pernah sekalipun kusaksikan sebelumnya. Apa ini namanya ? Aku tak pernah mendendamimu. Hanya saja, aku bisa merasakan dengan jelas bagaimana karmamu. Bagaimana kamu mengais-ngais yang dulu pernah kamu buang begitu saja.
Lihat kan ? Bahkan dalam mimpipun aku begitu konsisten membuatmu menyesal. Robeklah aku. Sepuasmu. Tapi ingat, suatu hari nanti kamu akan mencari keping-kepingku yang kau hancurkan, lantas kamu akan setengah mati berusaha menyusunnya.
Lalu menangislah ketika kamu sadar bahwa kamu tidak akan bisa mengembalikan segala sesuatu di masa lalu. Kamu adalah kritikus terbaik yang pernah aku kenal, yang terlalu buta untuk sekedar mengkritisi kesalahanmu sendiri. Dan ya, terima kasih. Segala komentarmu tentang atribut hidupku, membuatku lebih baik. Tanpa kamu.


“And all the pictures that you try to loose
Will follow you behind like ghosts do
And all the lies you try to keep
Have fall behind to catch you even more”

-Forget Jakarta, Adhitia Sofyan-

Jumat, 27 Januari 2012

#14 Time Flies

Halo, apa kabar ? Pasti baik, aku tahu sekali dari obrolan singkat kita beberapa hari belakangan di chat facebook. Apa jari-jari kita cukup ya menghitung lamanya waktu kita tidak bertemu ? Sejauh ingatanku, sudah lama sekali.
Dulu, kita melewati delapan tahun bersama tiap hari. Dari TK hingga SD. Ah, lucu sekali kalau harus menuliskan ini. Jari-jariku mulai geli.
Aku masih ingat, TK nol kecil. Kita sekelas. Bu Guru membagi kita dalam tiga kelompok besar dengan nama-nama binatang. Kelompokku berlebihan jumlah anaknya, akhirnya aku dipindah ke kelompokmu. Bu Guru menyuruhku duduk di bangku sebelahmu yang waktu itu kosong. Aku ingat betul, dengan sigap kamu menarikkan kursi untukku, dan menepuk-nepuknya sambil berkata “Duduk sini”. Aku masih mengingatnya sampai sekarang karena itu manis.
Aku masih ingat juga, kelas 2 SD. Waktu itu aku punya telepon rumah baru. Pagi-pagi sesampainya di kelas, kamu menjadi orang pertama yang aku beri tahu dengan senyumku yang tak henti mengembang. Kamu bilang, kamu akan menelepon malamnya. Lalu kita bertukar nomor telepon. Aku ingat, aku mencatat nomor teleponmu dengan huruf besar-besar di dalam kotak pensil kainku yang hijau toska. Aku hanya tidak mau mencatatnya di kertas, lalu hilang.
Dan benar, malamnya kamu meneleponku. Mama yang mengangkatnya. Aku duduk di sebelah Mama, tapi aku malu karena baru pertama kali mendapat panggilan dari telepon dan harus mengobrol di telepon dengan teman laki-laki. Bodoh ya. Apalagi Mama bilang, “Putri malu nih. Besok aja telepon lagi ya”.
Dan kelas 3. Ada anak pindahan baru yang cantik. Lucu sekali, kita masih kelas 3 SD dan seolah semua anak laki-laki bisa membedakan mana yang cantik. Anak baru itu, di hari kesekiannya sekolah, dikerubuti para anak laki-laki waktu dia duduk di dekat tangga.
Tapi kamu tetap di kelas. Kita asyik ngobrol sendiri di kelas.
Kelas 3 juga kita berdua disuruh Bu Guru maju ke depan kelas. Itu hari ulang tahunku. Dan karena besoknya kita libur panjang, akhirnya kamu yang berulang tahun di bulan yang sama, dipaksa teman-teman maju juga. Kemudian, satu per satu dari mereka bergiliran memberi kita ucapan selamat ulang tahun. Menyenangkan sekali.
Ah iya, kamu adalah orang pertama yang paling kaget sambil membelalakkan matamu yang bulat besar itu waktu kelas 5 SD aku mulai berani bicara kotor.
Lucu. Aku masih mengingat semua dan masih menganggapnya lucu sampai sekarang. Dan aku juga masih ingat, sejak naik kelas 4, pertemanan kita tidak sebaik dan sedekat dulu.
Yah, time flies, dan kita belum bertemu lagi sampai sekarang.
Kamu, apa kabar ? Kalau ada waktu, semoga bisa bertemu. Tanpa janjian, tanpa sengaja. Lalu kita akan duduk mengenang masa kecil kita.

Kamis, 26 Januari 2012

#13 Surat Klise

Dear, kamu, yang aku tak mau menyebutkan namamu. Hanya saja, kita tumbuh bersama.
Tak akan banyak. Sungguh, tak akan banyak yang aku tulis karena aku malu harus menulis untukmu, yang mungkin membacanya.
Kami mengenalmu, sepaket dengan semua beban hidup yang memberatkanmu. Tahukah ? Dari semua air mata yang kamu tuangkan untuk melumpuhkan beban yang kamu rasakan, dari semua keluh kesah yang kamu bagikan untuk kami, dari semua rasa lelah akan masalah yang tak kunjung henti menimpa kehidupan barumu, kamu adalah luar biasa. Setidaknya, itu menurutku.
Aku sering, membicarakanmu. Betapa tidak enak hidup sepertimu. Tapi aku juga sering, menautkan harap pada keyakinan dalam doa-doa yang aku lafalkan dalam diam untuk Tuhan kita. Agar orang sekuat kamu, diberikan sesuatu yang tak hanya manis pada akhirnya. Bahkan sesuatu yang hebat.
Karena aku percaya, Tuhan hanya sedang mengujimu sebelum memberikanmu sesuatu yang layak kamu dapatkan di balik semua ini. Seperti aku dan manusia lain, Tuhan hanya sedang menginginkan kita belajar mengasah kesabaran dan ketulusan menjalani hidup yang digenggamkan-Nya untuk kita.
Dan aku lebih percaya lagi, kamu adalah perempuan tangguh yang akan berhasil melewatinya.
Yang terpenting lagi, ada kami, yang akan selalu memelukmu dengan doa-doa kami dari jauh.

Rabu, 25 Januari 2012

Ada Aku

source : deviantArt


Aku ingin berpegang teguh
Pada lapuk ragamu yang melusuh
Yang lambat namun pasti
Sekarat menua oleh serangga-serangga pemakan kayu

Aku ingin berpegang teguh
Pada waktu-waktu kelam yang tak lagi kau genggam
Pada gegap gempita malam kusam yang ingin kau buang jauh
Aku, masih ingin memeluknya

Aku ingin berpegang teguh
Pada lengan kirimu yang tak berpeluk
Pada sisa waktumu yang kau habiskan dengan sepi
Di sudut ruang dengan kursi goyang,
Menghabiskan waktu tertidur lalu ditonton televisi

Jangan takut, ada aku
Menjaga sisa usiamu

#12 Dandelion


Kepada kamu, yang aku temukan dalam kamus Bahasa Inggris.
Dandelion : semacam rumput yang bunganya kuning.
Aku cukup senang denganmu. Lebih tepatnya, dengan namamu. Aku begitu penasaran denganmu hingga akhirnya aku memanfaatkan google untuk menuntaskan rasa ingin tahuku akan wujudmu.
Dandelion. Semacam rumput yang bunganya kuning. Dari namamu saja aku bisa menebak dengan pasti kalau kamu bunga yang lebih kuat dari bunga lain. Ya, tentu saja kamu cantik. Hanya saja, kalau digambarkan seorang perempuan, kamu bukan jenis perempuan cantik yang menye-menye dan doyan menghabiskan waktu-waktumu untuk menangis atau bahkan begitu emo menarik diri dari kerumunan dan memilih untuk menyendiri.
Kamu tertata, berprinsip, mekar menentang warna-warna kusam yang kurang bersahabat. Seperti bunga matahari, namun kamu lebih kecil. Tapi di situlah kelebihanmu. Bukan untuk diatur dan dirawat sedemikian rupa untuk akhirnya dipotong tangkainya dan disusun dalam buket-buket bunga. Kamu rumput liar. Bebas membaui udara selama kamu mau.
Kamu, bunga liar yang cantik dan kuat menentang ketidakbebasan. Ah, iya, kamu seperti R. A. Kartini, menurutku. Harusnya beliau tahu bahwa dirinya secantik dan semenawan itu.
Dandelion, mungkin aku perlu sering-sering melihatmu. Agar aku bisa kuat menghadapi apapun ya. Hanya saja, di tempat yang penuh dengan bangunan yang saling padat menghimpit dan berlomba-lomba untuk mencapai kemegahan, di sebelah mana kamu bisa kutemu ?

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com