Rabu, 29 Agustus 2012

#27 Ibuku yang Kaya


Ibuku memiliki tanah lapang yang luasnya tak terkira. Berhektar-hektar yang tak akan mampu dibeli saudagar kaya manapun meski segala rumah, apartemen, mobil-mobil mewah, dan segala dana investasinya dicurahkan untuk mendapatkannya.
Tanah lapang yang begitu hijau dan asri itu tak dijualnya. Bahkan, pada anak-anaknya pun Ibu tak mewariskannya barang secuil. Tiga anaknya ini selalu gagal dalam usahanya mendapatkan tanah lapang milik Ibu, atau yang serupa dengan milik Ibu. Entah karena kami terlahir dengan kutukan Dewa Langit, atau entah memang kami tak layak mendapatkan harta beliau yang satu itu. Yang jelas, bukan karena Ibu yang terlalu pelit pada anak sendiri.
Tanah lapang itu, selalu dibawanya ke mana-mana. Ibu tak pernah takut tanahnya dicuri, tapi memang itu adalah tanah ajaib yang selalu menyertai Ibu. Aku bisa melihat bagaimana Ibu menyertakan tanah lapang itu dalam hari-hari Ibu. Aku bisa melihat bagaimana Ibu selalu bisa mengisyaratkan bahwa tanah lapang itu begitu penting dimilikinya, juga bagaimana Ibu menaruh harap agar kelak anak-anaknya pula dapat memiliki harta semahal yang dimiliki Ibu.
Tanah lapang itu, tak akan kautemukan di sejauh mata memandang. Karena Ibuku mengemasnya di dalam dadanya. Tanah lapang tempat bermukim sejuta rela dan ikhlas pada setiap uji coba dari Tuhan. Juga tanah lapang yang begitu luas menyediakan sabar dan maaf menghadapi kenakalan anak-anaknya.
Ibuku sangat kaya, bukan?

#26 Ojek Payung


Kaki mereka hitam lusuh, berlarian meninggalkan jejak-jejak air yang meloncat tinggi pada genangan. Berkecimpung dalam jutaan jarum angkasa yang menghunus bumi bukan lagi menjadi masalah yang berat. Tak lagi dingin yang mereka rasa. Peka kulit di sekujur badan mereka telah menebal. Pula pakaian lama serbatipis yang mereka kenakan, bukan lagi menjadi pembawa gigil yang perlu diresahkan.
Ini yang mereka tawarkan kepada orang-orang di halte yang tidak kebagian kanopi, atau orang-orang di teras mal yang hendak keluar mencari taksi menuju tempat lain, atau mahasiswa-mahasiswa yang hendak kembali ke kos masing-masing, saat hujan tiba-tiba merayap begitu saja: perlindungan. Rasa aman yang begitu mahal, mereka tawarkan sukarela dengan mengandalkan satu payung berukuran besar, cukup untuk melindungi dua-tiga orang yang ingin menumpang teduh, lantas membiarkan mereka sendiri basah kuyup terguyur hujan dan hanya menerima tiga lembar seribuan.
Bocah-bocah ojek payung, bahagia hujan-hujanan tanpa perlu dimarahi orang tua seperti anak kaya raya lainnya. Takut sakit adalah dua kata yang tak ada di kamus mereka sejak mereka membiasakan diri bertemankan hujan.
Toh, lagi-lagi semua demi sesuap nasi.

#25 Bima dan Aurora


Bima, lagi-lagi aku duduk di bangku paling belakang. Sementara kau di bangku terdepan adalah pusaran energi letak semua mata terpusat memandangmu. Bukankah Tuhan cukup Adil, Bima? Untuk selalu menempatkanmu pada posisi teratas sebab kau memang terlahir istimewa. Sedang aku yang terlahir tanpa dua kaki lebih layak menempatkan diri yang lemah ini di atas kursi roda, duduk di deretan bangku paling belakang, tempat segala punggung menghadapku.
Kau terlahir serupa galaksi, Bima. Kaya, cerdas, tampan. Kau miliki semua tanpa terkecuali. Hidup yang sempurna. Hingga apalagi yang membuatmu masih duduk sendiri di depan sana? Siapalah aku, Bima, si cacat yang berani-beraninya menduduki bangku kosong yang selalu menjajarimu. Melirikku pun kau enggan.
Dari sini saja, Bima. Dari sini saja biar puas aku menghabiskan fungsi mataku ini untuk memperhatikanmu lekat-lekat.

***

Rora, selalu kusisakan satu bangku kosong di sampingku, agar kau bisa menikmati jarak pandang yang sama dengan apa yang kunikmati. Bagaimana cara mengajakmu bicara? Kau adalah gadis penghuni kursi roda yang selalu mundur saat belum sampai sepuluh jengkal langkahku mengajakku untuk mendekatimu.
Kau adalah warna-warni di udara, Aurora. Kau masuki perkuliahan tanpa dua kakimu hingga tak satupun mengalihkan tatapannya dari sosokmu yang kuat dan mandiri di atas kekuranganmu. Tidakkah itu memesona? Kau adalah satu yang berbeda dari sekian ratus penghuni universitas yang sama dan monoton. Maka mencuri pandang demi untuk bisa menikmati warnamu adalah kebiasaan baruku, Rora.
Aku melihat bagaimana kau memilih terasing dari sekian banyak perhatian yang terarah untukmu. Karena kau begitu kuat, Rora. Kau tak ingin dikasihani. Dan pilihanmu yang jatuh pada bangku paling belakang setiap harinya adalah bukti bahwa kau tak ingin berada di depan dan menghisap belas perhatian.
Sini, Rora. Duduklah di sampingku sekali-kali. Aku akan senang.

***

Jeda kuliah, Bima dan Aurora bertemu. Pandangan mereka bertumbukan, lenting sempurna. Keduanya saling melempar senyum, lantas menunduk, pamit diri.
Begitu seterusnya.
Dalam satuan waktu yang tak terhingga, Aurora berada dalam galaksi Bima. Pun Bima, menjadi pusat bumi Aurora mengangkasa. Segalanya mereka rasakan diam-diam.

Senin, 27 Agustus 2012

#24 Pilu Malam di Penghujung Sabtu

Aku mengamini doa yang kulantunkan pada suatu petang di penghujung Sabtu. Namamu tercantum di sana, berkali-kali.
Kutemukan anakmu meringkuk di jalan, menangisimu yang tergeletak bersimbah darah tertimpa gerobak sayurmu. Tabrak lari, sangkaku. Tak seorangpun datang membantu, tak seorangpun kecuali aku yang sedang terburu-buru.
Aku seperti telah mati. Dan Tuhan, seperti apa yang dikata buku-buku Agama, sedang memutarkan kejadian semasa aku hidup. Ini adalah luka yang tertanam hingga nyaris kulupa. Terputar kembali bagaimana otakku berusaha melawan ketakutan luar biasa saat kusaksikan kedua orangtuaku tewas dalam kecelakaan mobil di mana aku menjadi satu-satunya yang selamat.
Sungguh, Nyonya. Anakmu tak berhenti menjerit berlumur tangis pilu tiap meneriakkan "Ibu..." hingga detik ini. Nyonya, entahlah siapa kau, tidakkah kau sudah terlalu lama terdiam dalam ICU? Kau terlihat begitu tenang di balik cekokan berbagai infus dan alat rekam jantung yang tak henti mendeteksi keberadaan nyawamu.
Kumpulkan sadarmu demi kami, Nyonya. Sesungguhnya kau belum layak meninggalkan bocah lelaki yang, kutahu dari air matanya, begitu mencintaimu itu.
Dadaku sesak. Pula tangisku sesenggukan. "Utuhkan nyawa Ibunya, Tuhan. Utuhkan.."
Sajadahku basah hangat, tak akan mengering hingga tiba mukjizat.

Melamarmu


Bismillaahirrohmaanirrohiim.

Jika @PosCinta adalah planet Jupiter yang telah dilingkari oleh sebuah cincin, maka saya adalah penduduk pribumi yang begitu kecil dan mengandalkan nekat luar biasa besar untuk melamarnya. Ya, melamarnya. Bagaimana tidak? Bukankah warga Surabaya memang harus memiliki semangat untuk bondho nekat?
Maka perkenalkan, saya, Putri Puspita Sari, atau lebih singkat dipanggil dengan nama Pupus, mahasiswi asal Surabaya yang berdomisili di Gresik, bersungguh-sungguh ingin melamar menjadi Tukang Pos di @PosCinta untuk bekerja bersama generasi sebelumnya memajukan kegiatan menulis di Indonesia. Berbekal hobi blogwalking, maka akan menyenangkan sekali untuk saya yang oportunis ini memanfaatkan kesempatan yang diberikan untuk bisa membaca puluhan karya baru. Lagipula saya memiliki waktu dua puluh empat jam selayaknya banyak udara di bumi: bingung bagaimana harus menghabiskannya, atau lebih singkatnya saya menganggur sekali.
Meskipun lamaran ini tidak disertai cincin dan perangko balasan, saya menyertakan paket alasan combo yang perlu dipertimbangkan dari saya untuk menjadi Tukang Pos di @PosCinta, yaitu keikutsertaan saya pada kegiatan #30HariMenulisSuratCinta pada tahun sebelumnya, dan pada minggu pertama surat cinta saya menjadi satu dari beberapa pemenang. Alhamdulillah. Harap maklum kiranya sekali dalam setahun ini saya sedikit sombong, demi kelancaran proses lamaran saya.
Jika Ramadhan adalah bulan penuh berkah, maka bulan Syawal ini sudah semestinya menjadi bulan di mana dosa-dosa terampuni. Semoga dosa-dosa yang pernah saya lakukan tidak lantas dijadikan Tuhan sebagai pemberat bagi @PosCinta untuk seikhlasnya menerima saya menjadi Tukang Pos. Karena dengan campur tangan Tuhan, saya yakin kesempatan ini bisa saya miliki. Begitupun dengan @PosCinta yang harus yakin dengan saya. Percayalah saya bisa mengemban tugas ini. Percayalah.
Demikianlah surat lamaran ini dibuat dengan cinta dan dalam tempo yang selambat-lambatnya karena harus memikirkan kata-kata yang pas untuk melamar Agen Pesan-Antar Asmara Indonesia.

Alhamdulillah.
Salam yakin, @pupusupup.

Kamis, 23 Agustus 2012

#23 Meja Makan

"Meja makan ini nggak akan lagi sama dan begitu sepi. Kelak, akan ada dua bocah. Laki-laki.."
"Satu perempuan, satu laki-laki. Biar pas"
"Laki dan perempuan bukan pasangan berebut mainan yang seru"
"Kembar. Dua anak seumuran berebut mainan. Sepadan, pasti seru!"
"Idd bagus! Yang paling tua yang laki-laki, kemudian perempuan. Mereka berebut makanan sampai berantakan, belepotan"
"Juga berebut aku. Mereka berdua maunya aku suapi"
"Terus, aku ngapain?"
"Mmm, kamu gendong si perempuan. Kamu ambil alih sambil melayangkan suapan-suapan nasi, terus bersuara kayak kapal terbang"
"Hahaa bisa, bisa. Pokoknya, kelak meja makan kita nggak akan bisa serapi ini. Taplak meja kotor, nasi jatuh di mana-mana, tumpahan air minum, belepotan minyak"
"Dan suara mereka yang saling berebut, juga suara kita yang nggak mau kalah bikin mereka diam dan nurut"
"Iya. Satu laki-laki, satu perempuan"
"Mmm, dua-duanya laki-laki juga nggak masalah"
Di atas meja makan, selama enam tahun ini, tak bosan kami merajut mimpi dan doa agar Tuhan mengabulkan. Dua bocah di rumah mungil akan melengkapi. Dua bocah di usia pernikahan yang tak lagi muda akan menggenapi.
Kami setia menunggu terkabulnya.

Nantes


Tidakkah kau pikir ini melelahkan? Membaca gelak tawamu dalam belasan potret itu. Menafsirkan deretan gigi yang nampak begitu rapi, merekahkan jantung yang terkubur di dalam dada. Sedang aku begitu sulit mencoba tertawa seperti yang sudah-sudah kaulakukan.
Ya, aku yang lelah. Bukan kau. 365 seperempat hari diammu tak tertaklukkan. Aku tidak akan pernah mengetahui satu perkara, apakah kau tahu seberapa lelahnya aku, sekaligus seberapa ingin aku menyimpan potret itu dalam wujudmu. Nyata. Di sini, sekarang.
Sebab masalah ini terlalu hingar untuk kau bisukan dalam nadimu sendiri.
Maka ada aku. Bicara. Bicara. Bicaralah.



"Well it's been a long time, long time now
Since I've seen you smile
And I'll gamble away my fright
And I'll gamble away my time
And in a year, a year or so
This will slip into the sea
Well it's been a long time, long time now
Since I've seen you smile"
- Beirut, Nantes

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com