Senin, 31 Desember 2012

2012 In A Paragraph


Menulis postingan akhir tahun selalu asyik walaupun rasanya begitu ecek-ecek. Tapi yah, people need to review her past times to reach the better future. Still, I believe that experience is the best teacher. So, here I go, my last 2012 in a paragraph!
Saya bergabung dengan kegiatan ngeblog #30HariMenulisSuratCinta, #30HariLagukuBercerita, dan #30Hari90Cerita yang kesemuanya terselesaikan dengan baik dan benar. Saya berada dalam proyek kecil pembuatan blog MindTunes yang gagal total. Hahaa, tetap harus disyukuri, kan yang penting mencoba. Saya ngilangin KTP dan SIM sendiri sampai harus merepotkan orang lain untuk ngurus lagi. Setelah jadi, akhirnya ketemu. Jadi sekarang saya pegang 2 KTP dan 2 SIM. Cool, huh? Saya gabung dengan tiga kepanitiaan di kampus: PsychoCup 2012 untuk kegiatan olahraga tahunan, Student Day 2012 untuk pengaderan Mahasiswa Baru, dan Psychofest 2012 acara akhir tahun yang supercool. Saya dua kali menjalani operasi gigi geraham karena gigi saya mau dipasang pager sekitar bulan Juni. Hasilnya gigi saya makin berantakan. Yah, anggaplah ini bagian sebuah proses yang berujung pada keindahan tiada tara. Saya nonton Sheila On 7. Nggak terlalu puas karena terlalu crowded dan jarak pandang yang jauh. Ketemu orang baru yang berujung pada sama saja.
Jadi, daya ingat saya agak nggak bagus ya makanya susah inget-inget apa aja yang udah dilakuin tahun 2012. Justru yang paling saya ingat adalah waktu suatu malam saya bikin Mama saya kecewa berat sampe saya yakin Mama nyesel punya anak kayak saya. Tapi, manusia selalu punya kesempatan memperbaiki, kan selama ada waktu?
Dan, 2013. Semoga UAS lancar dan liburan bisa terpakai dengan maksimal. Semoga IP saya memuaskan karena semester lalu anjloknya bukan main. Semoga usaha kue kakak saya yang baru dimulai bisa berjalan lancar. Semoga nabung saya bisa maksimal biar cita-cita punya kamera Polaroid bisa tercapai. Semoga saya punya pacar. Semoga pernikahan teman berjalan tanpa cela. Dan semoga-semoga lainnya.
Oiya, sebentar lagi liburan. Kalau ada yang ngajak saya bikin proyek nulis atau ngeblog, saya antusias! :))
So, happy new year!

Minggu, 30 Desember 2012

Sebuah Pohon


Ada benih yang pernah kau tanam. Serupa biji jeruk, namun tak perlu hitungan tahun, telah bergerak batangnya ke atas. Menjulang dan terkembang daun-daun rindang yang hijau. Pucuk-pucuk baru terus tumbuh tanpa membiarkan detik memangkasnya.
Aku sedang berteduh di bawahnya. Pohon apa ini? Kau tak pernah menjawabnya dengan sepatah katapun, kecuali jejak-jejak di tanah bekas pergimu.
Pohon apa ini?
Tak lagi kau jawab, sedang punggungmu makin menjauh dan terbenam bersama matahari sore.
Pohon apa ini?
Adalah pohon luka yang kau tanam, dan kubiarkan tumbuh menghabiskan waktuku untuk menunggumu kembali duduk di sini. Terlalu nyaman dengan yakinku bahwa jejakmu yang akan menuntunmu kembali, senyata mimpi tak lagi ada.
Lalu musim gugur pun tiba.

Kamis, 27 Desember 2012

Kemuning

Kita duduk seharian di samping pohon bunga kemuning. Daunnya kecil-kecil, berguguran tak lebih tinggi dari rambut-rambut pendek di dahi kita.
Oh, musim semi atau gugurkah, kemuning berguguran. Telanjang menampakkan wanginya yang memesona menghiasi ceritamu yang sedang dirundung asmara. Kacamatamu turun berkali-kali tiap kau berbicara dengan semangat. Tak pernah kau bahagia. Tak pernah sebahagia ini.
Apa itu cinta? Apa itu jatuh kepada cinta?
Aku membencimu dengan sangat ketika kelopak senyummu merekah membicarakan gadis lain. Aku membencimu dengan sangat ketika kau sibuk memerhatikan detail tentangnya, sementara bukan tentangku yang menggantung di langit-langit ingatanmu. Aku membencimu dengan sangat hingga tangisku pecah berguguran bersama daun-daun bunga kemuning yang tak mau setia pada rantingnya.
Senyap.
Lenyap.
Bahkan kau hanya ilusi yang kuhadirkan atas ketidakmampuanku merangkul kesendirian.

Sabtu, 22 Desember 2012

Batu, Kertas


Malam itu, sungguh kamu telah berubah.
Aku tahu itu, dari helaan nafasmu. Bukankah kau tak akan pernah mengalah dalam perdebatan sengit kita tentang batu atau kertas, siapa yang akan menang? Malam itu, kau rebah tanpa melawan prinsipku bahwa batulah yang akan menang, sambil berkata “Terserah kamu saja”.
Maka di sanalah aku tahu, sedang ada yang salah denganmu.
Biasanya, kau akan bersikeras bahwa kertas yang akan menang. Membungkus batu hingga habis tak terlihat, dan keluarlah kertas sebagai si dominan atas batu. Jika kukatakan,  mari kita adu batu dan kertas di bawah air hujan, kau akan balas berkata, sejuta umat di dunia pun sepakat bahwa kertas tetap pemenangnya tanpa perlu melibatkan air hujan atau apapun.
Biasanya, aku yang akan menyerah. Sebab kau serupa kertas, yang begitu polos dan tak mau kalah. Sedang aku hanyalah si bebal yang tak punya andil dalam apapun sehingga mengalah adalah nasib terakhirku.
Biasanya, seperti itu.
Lantas, saat kau tak lagi memenangkan dirimu, sesuatu pasti telah terjadi, aku tahu.

***

“Batu, kertas, gunting!” kita meneriakkannya bersama sambil mengayunkan tangan kita masing-masing, pada satu sama lain.
Kau mencipta batu.
Aku mencipta kertas.
“Kamu lagi yang menang? Giliran aku, batu yang menang!” katamu lantang dengan gayamu yang khas.
Aku menatap matamu lekat-lekat, lalu merebahkan tubuhku ke atas sofa merah marun yang baru kau beli empat bulan lalu. “Terserah kamu saja”.
Ya, terserah kamu saja. Perjudian ini tak akan selesai jika bukan aku yang mengalah. Sebab memang aku yang terlanjur salah.
Padamu, Si Lelaki Batu, kurelakan gadis itu untuk kau dekati. Lebih dekat dari yang Perempuan Kertas ini pernah lakukan pada setiap kesempatannya. Karena gadis itu menyukai sejenismu.
Bukan aku.
Menanglah.
Menanglah.

***

“Gunting, batu, kertas!”
Tangan kananku mengepal membentuk batu.
Tangan kiriku terbentang membentuk kertas.
Bukan menang atau kalah, sebab bukan lagi si Gadis itu tujuanku. Tapi kau.
Tapi kau, Perempuan Kertas.
Dan segala perdebatan kecil kita membuatku rindu, meski aku tahu, bukanlah aku jenis labuhan yang kau tuju.

Cenayang


“Aku, cenayang”
Satrio menghentikan hisapan rokoknya. Ruangan menjadi lengang, begitu lengang hingga mampu kudengar jelas suara nyamuk yang sedang beterbangan mengisi jeda kosong di antara kami.
“Serius. Aku cenayang”
Dia lantas mengelus jenggotnya yang semakin terjalin menjadi satu ikatan dengan kumis. Lalu, seperti bicaraku adalah angin lalu, dia kembali berkutat dengan rokonya. Mengepulkan asap-asap penuhi gas beracun yang selalu membuatnya terbatuk di penghujung malam. Tak pernah digubris permohonanku agar dia berhenti mengonsumsinya.
“Sudah sebulan ini. Ada yang masuk ke dalam kamarku dan berbicara malam-malam. Mereka ada banyak, gaduh sekali. Aku bisa mendengar mereka berbisik-bisik, membicarakan aku” suaraku mendadak gemetar, ada rasa takut yang merambati sekujur tubuh. Gigil tiba-tiba ikut menjalar dari ujung kaki hingga kepala. Rasa yang sama, yang selalu muncul tiap kali aku menceritakan hal ini pada orang lain.
“Suruh mereka keluar” tuturnya santai.
Ah, dia tidak tahu bagaimana rasanya jadi aku yang tiba-tiba diikuti mereka tiap kali gelap datang. Seperti… sekarang!
“Nggak bisa. Mereka di sini. Sekarang juga” aku menengok seisi ruang bercat putih ini. Saru suara keluar, dua, tiga, lalu terdengar begitu ribut di sekelilingku. “Sat.. bawa aku keluar. Bawa aku!” teriakku. Mereka seolah bergantian menerorku dengan berbagai macam hinaan. Aku dicaci habis. Juga, satu suara mengatakan bahwa aku harus mati.
Aku. Harus. Mati.
Mereka menikam telingaku dengan suara-suara tak berwujud. Keringat dingin mulai kurasakan munculnya. Kugigit keras bibir bawahku sambil terus kupeluk erat gulingku. Erat sekali. Kulihat Satrio mulai berkemas. Sigap dia keluar dari kamarku, terburu-buru lebih tepatnya. Ingin kutahan, tapi pita suaraku seperti tercekat. Habis, tak keluar sepatah katapun untuk memintanya tetap di sini.
Tak lama, beberapa orang berpakaian serbaputih menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuhku.

***

Aku menghela nafas yang semakin berat tiap kusaksikan istriku meronta hebat dengan tubuhnya yang pucat pasi, meneriakkan ketakutanny. Sementara yang bisa kulakukan hanya memanggil lebih banyak perawat lagi untuk mengontrol tindakannya yang tak kunjung mendekati harapan kami, yaitu kesembuhannya.
Butuh waktu yang cukup lama menyadari bahwa ini semua nyata.
Kutekan pedal gas mobil, bersiap meluncur kembali pada rumah istriku yang kedua. Meninggalkan kenyataan bahwa seorang wanita yang masih membutuhkanku tengah mengadu nasibnya pada panti Skizofrenia.
Apapun yang terjadi, tak akan kusahkan dia sebagai masa laluku.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com