Selasa, 24 Desember 2013

Pecundang

Bukankah segala jenis pecundang—pada akhirnya—akan kalah di medan perang?
Map biru tua masih ada di tangan kanan, masih lengkap isinya, tapi makin kusut tiap jamnya. Makin cocok dikatakan sebagai tisu untuk telapak tanganku yang mudah berkeringat. Dan makin tak berfungsi untuk menyimpan berkas-berkas melamar pekerjaan.
Aku melonggarkan ikat pinggangku yang mencekat perut buncit sedari pagi. Tak ada alasan untuk berhenti, sebetulnya, kalau aku mau mengesampingkan alasan lapar, lelah, dan putus asa. Hari semakin siang dan teriknya makin mengganas. Jalan yang harus ditempuh masih panjang. Baru empat dari sembilan perusahaan yang harus kusambangi untuk menitip nasib. Belum setengahnya, aku sudah di ambang menyerah.
Kipas-kipas sejenak, member kesempatan bulir-bulir keringat untuk terjun bebas.
“Jangan berhenti di tengah jalan,” pesan istriku tadi pagi, ketika aku hendak pergi dengan pakaian rapi. Tentu bukan perkara mudah mengiyakan ucapnya. Mencari pekerjaan, bisa jadi merupakan pekerjaan tersulit sebelum tercebur langsung ke dunia kerja nyata. Aku bisa berkata demikian, sebab ini bukan kali pertama aku bergabung di masa pencarian.
Tak kugunakan masa-masa santai di rumah demi menghamburkan uang dari satu metromini ke metromini selanjutnya, naik bajaj atau angkutan umum, dari satu tempat ke tempat lainnya. Rupiah-rupiah yang bisa kugunakan untuk membelikan makanan enak untuk istriku, terbuang sia-sia untuk merantau mencari pekerjaan. Ah, tak sia-sia sebenarnya, hanya saja belum ada rezeki lain yang menggantikan sehingga pepatah besar pasak daripada tiang adalah pepatah nomor satu yang sedang melingkupi perekonomian keluarga kecilku.
Masih sepuluh menit aku duduk, entah ini bisa dikatakan buang-buang waktu atau justru menjaga waktu dengan baik. Lelah belum kunjung reda. Bukan perjalannnya, tapi beberapa kegagalan pada pencarian-pencarian sebelumnya. Juga caci dan maki mertua yang dinyanyikan melalui sindiran-sindiran halus, dengan memberi kami pakaian-pakaian bekas yang masih layak pakai, misalnya. Seolah kami tak sanggup membeli yang baru meski murah, seolah aku tak sanggup membelikan yang baru meski murah. Kalau sudah begitu, aku dan istriku tak bisa menolak, berkah sekaligus aib ketidakmampuan kami.
Ada hal-hal yang tak bisa kita hindari memang, dalam perjuangan untuk bertahan melawan hidup. Terdengar berat, tapi—ya—kau harus punya sesuatu untuk memberi makan keluargamu. Tak akan bisa kau membeli beras, pakaian, menyewa kontrakan, mempersiapkan kelahiran anakmu, hanya dengan cinta. Cinta omong kosong. Ini tahun 2013. Berapa juta penduduk sedang bergerak menjadi pesaingmu di kehidupan nyata untuk berebut uang-uang yang hanya beberapa rupiah? Berapa juta?
Dan aku masih duduk di sini. Bisa jadi, kesempatanku di perusahaan yang selanjutnya hendak kudatangi, tengah diserobot orang dan rezekiku melayang. Aku mendengus. Mungkin sebaiknya memang harus kutamatkan kuliahku dua tahun yang lalu, demi ijazah untuk modal utama menghidupi keluarga baru yang keuangannya masih gersang ini. Tak keburu malas dan menuruti nafsu untuk cepat-cepat menikah. Bisa-bisa, usia pernikahanku pun akan dipercepat oleh mertuaku yang khawatir anaknya tak akan hidup sejahtera bersamaku.
Jangan berhenti di tengah jalan.
Tentu tidak. Aku hanya sedang menepi.
Karena jalan masih sangat panjang. Dan aku bukan pecundang.


Minggu, 08 Desember 2013

Nol

Kembang kempis dadanya melakoni peran sebagai pintu keluar-masuk udara. Keringatnya tumpah bercucuran, seukuran biji-biji jagung yang menetas dan meluncur bebas di bajunya. Larinya terhenti. Lelahnya mamanas hingga ke ubun.
Telah basah sekujur tubuhnya, dihantam rasa ingin tahu berkepanjangan yang membuatnya berlari mengejar jawaban. Larinya tak pernah melambat, belum pernah hingga hari ini. Ada yang dirasakannya perlu diredam. Tentang marahnya yang ia simpan bertahun-tahun. Tentang lantang suaranya yang ia jaga hanya untuk batinnya sendiri. Tentang semua amuk yang selalu ia pertahankan terkubur jauh di dalam egonya.
Larinya terhenti. Ribuan kilometer jauhnya, ia meninggalkan banyak hal besar yang kini menjadi titik-titik buram di belakang sana. Nafasnya masih saling memburu, seolah ia sedang berlayar ke bulan tanpa persediaan oksigen yang cukup. Badannya terbungkuk, menumpukan kedua tangannya pada lutut yang sakitnya bukan main. Pelarian yang sejauh ini, belum pernah ia berencana melakukannya. Tapi apa yang terjadi ia biarkan sudah. Tinggal bagaimana ia harus mempertanggungjawabkan puluhan kilometer yang ia tempuh ini.
Dirogohnya saku celana kanan dan kirinya. Nyaris lupa, ia sudah tak punya apa-apa. Pun botol air mineral telah lama ia tinggalkan karena dirasa membebani dan hanya akan memperlambat laju larinya. Ia kini seperti atlit salah jalur, berlari tanpa tahu ke mana arah yang akan ditempuhnya.
Ini seperti mimpi. Baru ia sadar ini seperti mimpi.
Ia tak sedang memijak apa-apa selain sepatu larinya. Ia sedang tak berada di mana-mana selain ruang putih yang begitu kosong. Tak nampak ada batas di manapun. Tak ada siapa-siapa di sekitarnya, ia seperti terlahir baru di sebuah keterasingan.
Setelah udara berhasil ia kumpulkan untuk mengisi kembali paru-parunya, ia kembali berjalan. Di ruang sesunyi ini, bahkan apa yang sedang carut marut di dalam kepalanya pun sanggup ia dengar bergema. Suara lain yang lebih nyata adalah langkah kakinya yang seolah menginjak ranting-ranting gugur di hutan, padahal ia hanya menginjak udara kosong.
“Di mana ini?” tanyanya berkali-kali. Tak satupun suara lain menjawab selain kesunyian lagi. Dilukiskan pandangannya lebih tajam ke segala arah. Putih. Semua putih. Seperti ia buta, hanya saja buta yang lain dari biasanya.
Tapi, tunggu. Ada yang berbeda. Segala putih di sekitarnya meredup, redup, red—seketika gelap total.
Kabarnya, seorang pelari ditemukan meninggal di sebuah jalan raya yang sepi. Meninggal karena kelelahan. Lelah menjalani tujuh tahun hidupnya untuk lari dari kenyataan.


Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com