Jumat, 13 Maret 2015

Hari 3: Kain



“Sapu tangan bisa menyeka keringatmu. Darahmu juga. Cepat-cepat hapus, jangan mau dikeringkan duluan oleh angin” katanya sambil menyodorkan selembar kain warna abu-abu dengan garis-garis hijau di tepiannya. Bisa saja ia berbasa-basi setelah dicideraiku oleh amarahnya. Sekantung penuh rupiah telah direnggutnya dengan mudah dari saku celanaku.
Ini pemberianku, sapu tangan yang di beberapa bagiannya telah berhiaskan bercak-bercak darah yang tak mau singgah meski berulang kali dicuci ini. Darah-darahku. Biar kuhitung nanti di Neraka, atau jika Tuhan keliru menjebloskannya ke Surga.
Biar dia lupa siapa yang telah memungutnya di jalanan setelah kelaparan mencengkeram erat tubuhnya yang kering kerontang saat itu. Biar dia lupa siapa yang lebih dulu rela menganggapnya saudara dan menyingkirkan segala kepentingan pribadi demi ia bisa hidup layak. Biar dia lupa siapa yang memohon-mohonkan pada Tuhan, mendoakannya tiap hari seusai ibadah, agar orang tuanya diberikan jalan untuk menemukannya.
Biar dia lupa, siapa yang telah lama menahan lelah menjadikannya saudara, bekerja keras membanting tulang dari pagi hingga malam untuk menopang kebutuhannya berfoya-foya.
Biar dia lupa, dia hanya siapa.

Selasa, 10 Maret 2015

Hari 2: Alien



“Aku ketemu belalang betal, Ma!” Hanggara mendorong pintu dengan keras dan melempar sepatu putihnya yang telah berubah menjadi cokelat, basah penuh tanah. Pun tasnya, dilemparkan begitu saja. Cepat-cepat ia mengisi gelasnya dengan air putih lalu meneguknya cepat hingga gelas kembali kosong. “Betal tekali! Matanya tegini” lidahnya yang belum fasih berkata-kata rupanya tak menghalangi berapi-apinya Hanggara ketika menemukan hal menarik dari perjalanannya bermain di semak-semak yang agak jauh dari rumah bersama kawan-kawan di kompleknya. Kedua tangannya membentuk bulatan di depan mata. Untuk membuat kisahnya terasa lebih nyata, tak lupa bocah kecil itu ikut membelalakkan matanya.
“Oh ya? Besar sekali memangnya?” tanya Mama yang sedang sibuk dengan pancinya, sup sedang dimasak, aromanya sudah menggoda-goda.
“He’em. Siska nangis, Ma, tapi aku belani. Betal, Ma, tapi kulus, tegini” Hanggara mengacungkan kelingkingnya. “Walnanya hijau, buninya... bip-bip, bip-bip
“Oo.. bunyinya seperti robot?”
“Iya! Tapi antenanya bagus, Ma. Ada lampunya dua di tini” giliran dua telunjuk Hanggara mencuat dari kepala, membentuk dua antena.
“Ya sudah, cuci tangan sama kaki dulu sana, nanti habis ini kita makan sup ayam kesukaan Hanggara. Cepat, ya”
“Iya, Ma!” Hanggara berlari ke kamar mandi.
Ceritanya belum berakhir. Hingga ayahnya pulang dari kerja, makan malam bersama, bahkan setelah doa akan tidur diucapkan, cerita itu masih terus diulangnya. Kedua orang tua Hanggara menanggapi basa-basi, “Oh ya?”, “Wah”, dan sejenisnya agar tampak terkesima.
Belalang yang sebesar kelingking anak kecil, yang melompat dari rumput ke rumput, daun ke daun, bukan hal yang menakjubkan lagi untuk kedua orang tuanya. Meskipun, mereka pernah merasakan hal yang sama seperti Hanggara semasa kecil dulu. Takjub dan penasaran sebab tak pernah berhasil menangkapnya.
Begitu mereka kira.
Padahal, apa yang dilihat Hanggara bersama teman-temannya, jauh berbeda dengan apa yang orang tua mereka pikirkan.
Besoknya, para warga dihebohkan oleh berita melesatnya sebuah lempengan besi bercahaya yang diduga UFO, yang sempat melintasi wilayah komplek. Di depan televisi, Hanggara kencang berseru, “Belalangnya kemalin naik itu!”

Senin, 09 Maret 2015

Hari 1: Tas



Aku membawa otakku di dalam tas berbentuk dadu kecil ini, ke mana-mana. Kata orang, kepalaku tak berisi otak, kosong melompong tak punya akal. Mereka bilang, jikapun aku memiliki otak, kumasukkan ke saku celana saja aku akan kerepotan untuk mengambilnya lagi, tersangkut benang-benang dan kotoran di sudut saku, terhimpit saking kecilnya.
Iya, aku membawa otakku di dalam tas berbentuk dadu kecil ini, ke mana-mana. Mereka tak tahu betapa ringannya tak menaruh otak di kepala. Mereka terlalu banyak bicara ini dan itu, membanggakan hal yang bukan-bukan hingga otak mereka menjadi besar, namun tak ada isinya. Bobot kepala mereka bertambah oleh kesombongan dan nalar-nalar tak jelas yang hanya menjadi tameng pembenaran ketika mereka jelas salah. Buntu.
Padahal, jika mereka meniru caraku—membawa otakku di dalam tas—mereka tak akan sekenanya bicara. Mereka akan lebih pandai memilah, sebab hatilah yang mendominasi raga. Perasaan. Bukan nalar kosong yang terutara hingga mencabik-cabik derajat orang. Sepertiku, mereka tak akan lagi banyak berpikir, melainkan merasa.
Ketika pulang, menjelang tidur, baru kukenakan kembali otakku sedangkan di luar sana orang-orang itu sibuk melucuti pakaian mereka dan menjalankan hal yang tidak-tidak. Mereka tak tahu betapa ringannya tak menaruh otak di kepala, jika meletakkannya di dalam tengkorak pun menjadikanku seperti mereka.

Selasa, 03 Maret 2015

Enas



Satu lagi kerabat kami tewas.
Dewan Tinggi mengadakan rapat besar-besaran setelah itu. Aku disembunyikan Ibu, meringkuk sendirian di ruang gelap yang langit-langitnya bisa kusentuh hanya dengan sedikit berdiri. Gelap dan berlendir. Dihukum begini saja aku sudah tak tahan.
Dalam satu minggu, tiga kerabatku tewas. Tak terencana, kebetulan saja mereka tewas ketika bersamaku. Bukan karena aku menyimpan sebilah pisau dan menghunus mereka karena dendam pribadi. Pribadi saja barangkali aku tak punya.
Bukan pula karena aku sengaja mendorong mereka hingga terseret mobil sejauh puluhan meter dan mati sia-sia. Tapi, siapa peduli? Sekeras aku mencoba menjelaskan, lebih keras lagi tangan-tangan yang pendek itu menuding tepat ke arahku: aku pelakunya.
Padahal, semua juga tahu, jika ada tingkat kelayakan mengenai siapa yang patut bersedih, tentulah aku satu-satunya. Aku yang berada di sisi mereka ketika kematian menjemput dalam hitungan sepersekian detik. Begitu cepat hingga suaraku tak mampu menggapai pendengaran siapapun untuk meminta tolong. Begitu cepat hingga aku tak siap dan tak tahu bagaimana harusnya aku berduka sambil mengemas jenazah kawan sendiri yang berhamburan, terburai ususnya.
Kalau boleh sekenanya menuding siapa yang salah, tentu kusalahkan para Dewan Tinggi dan orang tua yang bisanya hanya membuat peraturan. Mereka bilang, aku tak boleh main jauh-jauh. Aku hanya boleh menyusuri lorong-lorong gelap tanpa cahaya. Cahaya membuat kami mati. Cahaya membuat orang-orang itu­ melihat kami dan menjerit, memanggil orang lain yang memiliki daya lebih untuk membunuh kita dalam sekali hentak. Tak ada yang lebih menakutkan dari melakukan hal-hal yang bisa membuatmu mati percuma.
Tapi di luar sana, cahaya remang begitu memukau. Tak pernah mereka jelaskan mengapa kami harus mencukupkan diri dengan kegelapan yang tak ada indahnya sama sekali. Tak pernah mereka jelaskan hingga aku lupa untuk menahan diri. Terbirit-birit mencuri kesempatan untuk mencari tahu, aku menggandeng seorang teman untuk diajak berlari. Keluar dari pengap yang menjijikkan. Menyeberangi garis-garis putih berjajar dengan terburu-buru. Tak sadar bahwa ada yang lebih terburu dari kami: kendaraan-kendaraan manusia.
Terulang tiga kali, tampaknya mulai saat ini aku memang harus mencukupkan diri untuk tak melangkah ke wilayah yang bukan milik kami.
Biar di selokan saja, biar kami aman seterusnya.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com