Sabtu, 30 Juli 2011

Selamat Tinggal


Kenapa orang mengucapkan “Selamat tinggal” ketika mereka akan pergi meninggalkan orang lain ? Kalau “Selamat datang” adalah satu bentuk ucapan penyambutan kedatangan, bukankah “Selamat tinggal”—harusnya—merupakan ucapan penyambutan karena seseorang menerima orang lain untuk tinggal berlama-lama ?
Datang dan tinggal itu dua hal yang berbeda. Ibaratkan tamu. Kamu akan menyambut siapa saja yang datang ke rumahmu, tapi hanya akan ada orang-orang tertentu yang kamu harapkan dan kamu minta untuk tinggal. Entah sampai nanti malam, atau sekalian bermalam. Itu karena tamu itu memang penting untuk kamu. Karena dialah yang kamu harapkan bisa selalu ada dalam waktu yang lama.
Jadi, selamat tinggal itu—harusnya—istimewa. Lebih dekat, lebih dimohon. Ada tuan rumah yang hati dan hidupnya ingin ditinggali, bukan ditinggalkan. Sekedar duduk berjam-jam, berbagi cerita, pengalaman, lalu berbagi keheningan. Sekedar diam saja, lalu mencerca hal-hal kecil yang kebetulan terlihat. Sekedar berbagi toples makanan ringan sampai detik-detik berlalu ikut menghabiskan. Lalu meniadakan waktuku dan waktumu, yang ada menjadi waktu milik kita.
Bukankah itu romantis ?
Entahlah, mungkin saya terlalu membenci perpisahan. Perpisahan itu buruk. Dan “Selamat tinggal” ketika diartikan menjadi “Semoga kita tidak bertemu lagi” itu juga buruk. Jadi, bantu saya untuk merubah hal buruk itu menjadi sesuatu yang manis. Bukankah kalau kita memandang sesuatu dari sudut yang baik, maka yang buruk akan makin memudar ?
Jadi, selamat datang untuk kalian, orang-orang baru yang entah kita akan bertemu dengan cara yang bagaimana. Teman baru, sepupu yang baru kenal, orang tua di jalan, semuanya. Dan selamat tinggal, untuk kalian yang mau tinggal di hidup saya. Semoga senang. Kalau berkenan, hidup saya, anggap rumah sendiri.  

Kembang Api

Menghadiri pesta kembang api itu hal yang menyenangkan. Berdiri lama-lama di bawah langit dengan polesan warna-warni yang gemerlap. Mereka terlihat begitu besar, begitu dekat di atas kepala. Hal yang paling ingin saya lakukan tiap kali menyaksikan letupan-letupan meriah kembang api di atas langit malam cuma satu : berusaha meraih kecantikan mereka dengan tangan-tangan saya.




 






karena upload-nya lama, akhirnya terpaksa harus saya kompres.  btw, happy 47th SMANSAGRES, getting older getting better :)  

Jumat, 29 Juli 2011

Ketidakwarasan Padaku


Ketidakwarasan padaku
Membuat bayangmu slalu ada
Menentramkan malamku
Mendamaikan tidurku
Ketidakwarsan padaku
Membuat hidupku lebih tenang
Aku takkan sadari
Bahwa kau tak lagi di sini
Aku mulai nyaman
Berbicara pada dinding kamar
Aku takkan tenang
Saat sehatku datang
Ketidakwarasan padaku
Slimut tebal hati rapuhku
Berkah atau kutukan
Namamu yang ku sebut
Aku mulai nyaman
Berbicara pada dinding kamar
Aku takkan tenang
Saat sehatku datang
Suara hati takkan mati
Jika jiwa terus menari dan bermimpi

-Sheila On 7-



Selasa, 26 Juli 2011

Love Happens

source : Google


Love Happens. Bercerita tentang seorang lelaki, Burke Ryan (Aaron Eckhart) yang berusaha membagi pengalaman kehilangannya ke dalam sebuah buku. Karyanya tersebut sukses besar sehingga Burke harus mendatangi berbagai macam seminar tentang membangkitkan motivasi bagi orang-orang yang merasakan kehilangan kerabat dekat atau bahkan keluarganya.
Burke yang semakin terkenal sebagai seorang motivator handal yang mampu membuat banyak orang melangkah maju ke masa depan dan tidak terpuruk lagi ke dalam masa lalunya itu, bertemu dengan seorang wanita penjual bunga. Pertemuannya dengan Eloise (Jennifer Aniston) tersebut menyadarkan Burke tentang betapa lamanya sebetulnya dia telah terjebak dalam masa lalu dan perasaan bersalah akibat kecelakaan yang menewaskan istrinya tiga tahun lalu. Selama itu Burke terus menghadapi masalah banyak orang dan membantu mereka untuk bangkit sementara jauh di dalam hatinya, hidupnya telah lama berantakan tanpa dia mampu membangunnya lagi.
Saya menangis waktu menonton film ini. Apalagi pada scene Burke menangis waktu memimpin seminarnya, menangis sambil mengakui betapa dia telah berdiri sebagai seorang munafik yang sebenarnya dia sendiri belum bisa mengatasi masa lalunya. Dia menceritakan kepada publik tentang satu hal yang tidak ditulis dalam bukunya: bahwa dialah yang mengendalikan mobil pada kecelakaan yang menewaskan istrinya tersebut. Burke dirundung perasaan bersalah yang luar biasa dan bertahun-tahun dia berusaha melakukan penyangkalan atas keterpurukannya.
Begitulah, bahkan sehebat apapun seseorang, dia pasti masih membutuhkan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya. Itulah kenapa manusia disebut makhluk sosial. Saling membantu, saling memotivasi.
Dan untuk move on dari masa lalu sendiri merupakan hal yang mudah untuk ditanamkan kepada orang lain, tapi begitu sulit dilakukan untuk diri sendiri. Bayang-bayang masa lalu yang terus mengikuti kita pada setiap kejadian yang membuat kita teringat oleh masa lalu itu, pasti akan terus melangkah bersama hari-hari kita. Itulah kenapa, masih banyak orang yang merasa nyaman dengan rasa sakitnya terjebak dalam masa lalu daripada harus mengambil langkah untuk move on pada masa depan yang masih begitu absurd. Semacam takut dengan apa yang dihadapi di depan.
Overall film ini bagus dan layak untuk ditonton, untuk kalian yang ingin move on dengan mudah. Hadapi kenyataan dan lakukan perubahan.



“Saat kau dalam perjalanan, pikirkanlah satu hal. Ketika sesuatu berakhir, sesuatu yang lain dimulai” - Love Happens.

Jumat, 22 Juli 2011

Pasar


source : Google

Pasar tradisional itu salah satu tempat favorit saya. Apalagi di bagian ikan dan sayur. Dan apalagi, kalau masih pagi. Riuh suara orang saling tawar harga, aromanya yang pasar-banget, jalan sempit yang becek, desak-desakan, dan yang paling ‘wow’ adalah barang-barang yang diperdagangkan benar-benar masih fresh.
Saya suka melihat belut-belut yang menari di dalam bak hitam dengan air dangkal seadanya, cumi-cumi besar, udang-udang dalam berbagai ukuran, brokoli hijau tua, wortel yang oranyenya menyala seperti senja, bumbu-bumbu dapur yang baru dicabut dari tanahnya. Apa ya, ajaib mungkin. Segala sesuatu di dalam pasar itu menyenangkan.
Dan lagi, orang-orangnya yang masih tradisional. Memakai kebaya jaman dulu dan sewek (jarik atau kain batik untuk bawahan). Tangan-tangan keriput para penjual yang sigap mengambil ini-itu dari tempatnya sesuai pesanan, menimbang, lalu membungkusnya—kadang rapi, kadang berantakan—untuk diserahkan pada pembeli. Asyik. Mereka cekatan.
Bukankah yang namanya waktu juga secekatan tangan ibu-ibu itu ? Waktu itu terus berpindah, maju ke depan. Tidak pernah mundur. Waktu itu cekatan mengambil momen-momen penting dalam keseharian. Kalau kamu tidak teliti, bisa jadi kamu menyesal di belakang ketika ternyata kamu tidak bisa bersahabat dengan waktu. Kamu bisa kehilangan momen penting.
Maka, berjalan di pasar yang becek dan berdesak-desakan dengan para pembeli mengingatkan saya bahwa bahkan kadang untuk berjalan itu tidak mudah, butuh strategi agar tida terinjak di sana-sini. Butuh strategi agar tidak salah langkah. Agar sampai rumah, tidak ada kejadian salah-membeli-barang.
Agar pada akhirnya, waktu tidak membuat kita menyesali yang sudah-sudah.

Kamis, 21 Juli 2011

Ketakutan


Saya takut. Takut banyak hal, terutama rasa sakit. Takut akan mengalami rasa sakit, atau bahkan takut orang-orang di sekitar saya mengalami rasa sakit yang sama. Takut mendapat karma. Takut ketika tidak bisa mengimbangi apa yang dilakukan orang lain terhadap saya. Takut kalau tidak bisa mencintai orang lain dengan porsi yang sama. Takut mengecewakan. Takut melumpuhkan harapan orang lain.
Lalu saya berpikir, kenapa harus takut. Bukankah Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan ? Bukankah kita hanya tinggal menjalani apa yang memang seharusnya dijalani ? Jadi ketika ada orang lain yang berkelakuan sedemikian baik terhadap saya, bukankah itu dari Tuhan juga ? Apa yang harus ditakutkan ? Bagaimana kalau itu takdir ? Bagaimana kalau memang apa yang terjadi memang sudah direncanakan ?
Tapi—saya berpikir lagi—bagaimana jika tidak ?
Seperti sebuah perjalanan, seberapa besarpun rasa takut saya terhadap benar atau salahnya jalan yang saya tempuh, saya berharap saja semoga semuanya lancar sampai tujuan yang ditetapkan Tuhan : harus ke mana saya, berhenti di mana. Semoga tidak ada yang terluka. Amin.

Mess

Senin, 18 Juli 2011

Are You Happy With Your Holiday ?


Pagi. Hahaa ini postingan yang agak nggak penting sih. Jadi ini udah jam 9:34 dan aku baru bangun. Bukan masalah sih sebenernya, kan sekarang ini masih libur. Iya, liburan semester yang puanjaaaaaaang. Dan itulah masalah utamanya.
Jadi, aku baru bangun dan ngerasa kacau banget. Udah berhari-hari selama liburan ini aku cuma bisa ngabisin waktu di rumah, di Gresik. Just like nowhere to go. Ke luar kota agak repot minta ijinnya ke Mama, kecuali kalo ke luar kotanya rame-rame banget. Dan di Gresik itu emang nggak ada tempat buat liburan, aduh pengen nangis kan jadinya.
Sedikit envy sih sama Esteh-Kamel yang ke Jakarta, Fefe-Cicin yang ke Jogja, Zaza yang ke Bandung. Bisa dipastikan mereka bakalan punya banyak cerita asyik yang bisa dibagi-bagi pas ketemuan besok (nggak tau kapan) di Surabaya. Oke, mungkin aku gigit jari aja ya.
Sebenernya ada sih rencana liburan. Ke Madura, ke pantai apa gitu sama nyobain kuliner bebek sinjay. Sama temen-temen SMA lagi yang agak nggak waras semua. Dari 30-an anak yang ditargetin ikut, paling sekitar 15-an aja yang fix. Yah, not bad sih, seenggaknya para anggota inti yang pada nggak waras itu banyak yang ikut. Jadinya ya bisa dipastiin bakalan rame. Dan kita semua belom ada yang pernah ke Madura, jadi—jujur nih—aku berdoa semoga kita semua nyasar besok. Amin. Serius. Nyasar itu hal yang paling asyik, seru banget pastinya. Apalagi kalo nyasarnya jauh. Sayangnya adalah, kita cuma sehari aja jalan-jalannya. Setelah itu ya bye-bye masing-masing.
Yaah, seenggaknya rental VCD-DVD masih berdiri dengan kokoh di deket rumah. Cuma itu surga liburan yang sesungguhnya. Stay di kamar dan nonton banyak film sehari.
Happy holiday, everybody ! Or maybe you wanna take me to some new places ? I’d love to join :)

Minggu, 17 Juli 2011

From 60th Become 2nd


Halo, Pa. Selamat 60 tahun :)
Hampir aja lupa. Nggak penting juga sih, toh Papa juga nggak pernah dan anti banget dengan yang namanya ulang tahun. Nggak pernah ada kue, nggak pernah ada apapun. Ulang tahun hanya hari-hari normal. Tapi seenggaknya, momen ulang tahun bisa jadi reminder bahwa kita udah ngelewatin tahun demi tahun hidup di dunia.
Eh, oke aku inget, Papa udah nggak ada di dunia ini. Jadi mungkin di dunia baru Papa, usia Papa baru dua tahun. Wah, gimana Pa keadaan di sana ? Apa Papa kayak lahir lagi dengan kulit yang masih mulus tanpa keriput ? Apa Papa punya rumah baru, keluarga baru di sana ? Jangan ya Pa, jangan punya keluarga baru. Cukup tunggu kita dengan tenang, kita masih ngabisin jatah umur di sini.
Oke Pa, bulan Juli itu berat ya. Juli-juli yang dulu kan kita sering keluar bareng. Nggak heran sih, emang di rumah Cuma Papa yang paling oke diajak ke mana-mana. Apalagi bulan Juli itu bulan bazaar, bulan pameran di sana-sini. Dan hore, setelah Papa nggak ada, aku nyaris nggak pernah sama sekali ke pameran lagi.
Ngajak Mama ke pameran itu asik sih sebenernya. Yang nggak asik tuh—Papa tau sendiri kan—Mama jalannya selow banget-nget-nget-nget. Papa inget kan tiap kali kita ke pameran bareng sama Mama, Mama mesti ketinggalan jauh banget dan akhirnya kita harus nunggu Mama lama banget. Terlalu enjoy emang Mama.
Haha, jadi kapan dong Papa bisa dateng sekali-sekali nemenin aku ke pameran ? Liat-liat alat rumah tangga, beli barang-barang nggak mutu, beli celana pendek, beli kerak telur, beli martabak. How I miss those silly times with you, Pa.
Well, selamat ulang tahun yang kedua, Pa.
Peluk cium, Putri.

 ini foto diambil pas SMP, jadi belom berjilbab

Sabtu, 16 Juli 2011

Terbang


Saya dengan David Copperfield, sama-sama punya mimpi besar untuk bisa terbang. Bukan terbang dengan pesawat atau alat bantu lainnya, just fly. Bedanya, David Copperfield sudah bisa sukses mewujudkan mimpinya untuk terbang, sedangkan saya tidak. Mmm, belum mungkin ya.

Jumat, 15 Juli 2011

Janggal


Waktu saya akhirnya tahu perempuan yang pernah kamu sebut-sebut itu, saya memang remuk. Tapi tidak terlalu. Begini, remuknya hanya sebatas retakan, bukan hancur total seperti pengalaman yang sudah-sudah. Yang saya takutkann adalah, apa selama ini saya benar-benar menyukaimu, atau ternyata tidak ? Atau… saya yang sudah terlatih dengan rasa sakit ?
Entah ya, saya juga merasa janggal. Selamat tidur.

Kamis, 14 Juli 2011

Matahari Untuk Bumi


Dia Bumi. Berkaus cokelat tanah dengan semburan warna hijau-biru, berjalan sendirian di jalanan. Sepi, kesepian. Matanya merunduk ke bawah, mengamati jari-jari kakinya yang telanjang, menjejaki tiap bulir-bulir basah jalan abu-abu beraspal.
Bumi menyeret payungnya, sadar betul bahwa hujan sedang menimpa tubuhnya, namun enggan membentengi dirinya dengan perlindungan. Bumi ingin sakit, sakit yang wajar. Demam atau semacamnya saja. Sialnya, Bumi malah sakit di satu sisi hatinya.
Berkali-kali, Bulan yang suka warna kuning pucat itu meninggalkan Bumi. Berusaha menjauhi Bumi yang tak bisa berjalan beriringan bersamanya. Bulan selalu berada di atas, berada di nomor satu di mana dia menjadi pusat perhatian. Sedangkan Bumi, terlalu jauh di bawah dengan segala ketidakmampuannya menjangkau dan menyamai keunggulan Bulan, sekaligus dengan segala kemampuannya jatuh cinta kepada wanita seanggun Bulan.
Lalu patah, rusak begitu saja. Bumi terlempar, terasing di sudut jalan di mana dia hanya bisa menjumpai mendung dari pagi hingga malam. Terdampar.
Bumi hanya tidak tahu, ada Matahari yang menangis diam-diam. Matahari kelu menyaksikan pria seperti Bumi harus terluka. Matahari hanya ingin berada begitu dekat dengan Bumi, dengan jarak yang tidak bisa dijelaskan oleh satuan-satuan angka pada mistar, dengan jarak yang tidak bisa dijelaskan oleh para alphabet yang menyusun kata ‘kedekatan’. Ada yang ia inginkan lebih dari itu.
Maka Matahari hanya bisa menangis. Agar air matanya mampu mendinginkan perasaan Bumi yang berjalan sendirian di sana. Agar tetesannya ada menemani tiap langkah sejauh Bumi berjalan. Karena Matahari tahu bagaimana caranya mencintai dengan tulus, bukan lidah api yang ia wujudkan untuk Bumi.
Matahari hanya ingin Bumi tahu, bahwa ia tidak sendiri. Bahwa meskipun berada pada jarak ratusan juta cahaya, ada yang ditakdirkan Tuhan untuk menemaninya. Bahwa Bumi tidak hanya bisa mencintai, tapi juga dicintai, dikagumi. Walaupun diam-diam.

Senin, 11 Juli 2011

Absurd


Setelah saya pikir-pikir lagi, mungkin bahagia tidak benar-benar ada. Bahagia itu mungkin cuma fiksi, cuma pemanis di buku-buku dongeng. Bahagia juga mungkin cuma seperti kembang gula yang habis dalam sekali lumat.
Atau mungkin bahagia itu seperti lari-lari di pantai ? Meninggalkan jejak-jejak di pasir basah, menikmati pusingnya melihat debur ombak. Duduk sendirian sampai matahari menggosongkan kulit, lalu bersahabat dengan semesta. Seolah semua masalah menguap sattu per satu, atau tenggelam.
Entahlah, bingung. Bahagia itu terlalu absurd. Apa Tuhan juga mengalami kesulitan untuk mengabulkan permintaan bahagia saya ?

Minggu, 10 Juli 2011

2 Tahun


00:15, Jumat 10 Juli 2009, kamar 402 Rumah Sakit Semen Gresik. 
Bagaimana aku bisa lupa hari itu ? Sudah dua tahun, waktu bergerak cepat. Tenanglah di sana, Pa.

Sabtu, 09 Juli 2011

Jatuh Cinta


Turun, menjejak tanah-tanah bumi. Bergegas mendekap hati yang sunyi. Sepi. Sendiri. Sayapnya memeluk, merengkuh dengan angkuh. Menghunjamkan panah-panah tajam untuk para hati. Lalu dinyanyikan lagu-lagu cinta. Di radio, di swalayan, di tempat umum, di udara. Lagu-lagu yang didetakkan dengan ketukan-ketukan jari, degupan-degupan hati. Dan ketika mata-mata tertuntun bergerak ke arah di mana perasaan berhasil menunjukkan alur benang merah bernama takdir, saat itulah para malaikat pergi. Membiarkan dua insan jatuh cinta.

Selasa, 05 Juli 2011

Terlambat


Terlalu menyenangkan ketika saya berkoar-koar tentang kesalahan orang lain. Menyalahkan mereka sama seperti menjilat makanan gurih, kesukaan saya. Tapi pada akhirnya saya berada di posisi yang salah itu, saya lakukan persis seperti apa yang pernah mereka lakukan—tindakan yang pernah saya salahkan. Lalu saya baru sadar, bahwa tiap orang punya alasan untuk melakukan hal yang jahat sekalipun. Baru sadar tepatnya. Terlambat.

Senin, 04 Juli 2011

Nasib


“Jangan ngerokok lagi”, Ibu menarik puntung rokok yang masih sepanjang dua ruas jari dari bibirku, menghunusnya ke dalam sebuah asbak biru yang penuh abu.
“Gini lho, Bu. Ibu ngelarang aku ngerokok, tapi Ibu sendiri minum bercangkir-cangkir kopi. Apa bedanya ?” tanyaku heran. Ini pertanyaan yang sudah lama tersumbat tiap kali ibu berusaha menghentikan kecanduanku itu.
Ibu beranjak ke dapur, meninggalkanku yang masih duduk mengamatinya dari meja kecil yang ibu sebut sebagai meja makan. Kalau mau mendengar kejujuranku, aku tidak pernah menganggap ini meja makan. Meja kayu ini terlampau kecil dan reyot. Ibu tak pernah menaruh makanan apapun di atasnya, kecuali sebuah tudung makan hijau yang kadang ditemani gelas kosong sisa kopi atau air putih. Ya, ibu tak pernah memasak di rumah.
“Beda”, jawab ibu singkat kemudian. “Kopi itu cuma pengganti karena Ibu nggak suka minum teh. Lha kamu, ya rokok, ya bir, semuanya masuk mulut. Kapan sehatnya kalau kamu begitu terus ?” lanjutnya. “Lagipula Ibu nggak segila itu minum kopi sampai habis bergelas-gelas sehari. Lihat kantongmu, baru sejam gajian bisa langsung amblas buat bayar hutang rokok sama bir di warungnya Mas Asep. Belum lagi kalau kamu kalah judi”.
Aku cuma menggeleng pelan, ibu tak pernah mau disalahkan. “Ah, kayak Ibu nggak pernah tau gimana laki-laki dewasa aja. Bapak-bapakku kan tiga-tiganya juga kayak gini, jangan pura-pura belum terbiasa, Bu” godaku sambil sedikit mengungkit masa lalu ibu.
Kudengar ibu berdecak, jengkel mungkin. Aku memang suka menggoda ibu, membahas tiga mantan suaminya yang seperti angin, pergi begitu saja tanpa kabar, nggak jelas juntrungannya, kata ibu. Mungkin kebiasaanku minum-minum, judi, dan menenteng rokok ke mana-mana ini juga tidak jauh-jauh terinspirasi dari mereka. Sering sekali—waktu bapak-bapakku masih ada—aku diajak ke warung, diajari main judi biar bisa jadi laki-laki tulen, preman lebih tepatnya.
Ayahku sendiri adalah suami pertama Ibu. Untung aku anak semata wayang ibu. Kalau tidak, entah bagaimana repotnya wanita itu mengurus anak-anak lainnya dengan kehidupan yang sangat pas-pasan seperti ini, apalagi tanpa suami yang bisa diandalkan untuk membiayai keperluan sehari-hari. Karena itulah ibu jarang di rumah, membantu Bu Imah jualan di depotnya atau sekali-kali jadi buruh cuci di kampung. Lumayan, untuk makan dan kebutuhan pokok lainnya.
Sementara aku, cuma tukang bangunan yang hanya bekerja kalau ada proyek. Itupun proyek kecil-kecilan, ecek-ecek. Belum tentu aku bisa mendapat gaji tiap bulan, tergantung kontraktornya.
“Makanya, jangan jadi kayak bapak-bapakmu”, ujar ibu sambil menaruh segelas kopi panas di hadapanku. Ibu sendiri kemudian sudah duduk manis di dekatku dengan secangkir kopinya. “Dua pernikahanmu sudah gagal gara-gara watak bejatmu itu. Jangan cari istri lagi kalau belum bisa berubah”.
Aku tersenyum kecil, lantas menyeruput kopiku. “Aku nggak kayak bapak-bapakku kok, Bu. Justru aku kayak Ibu, kan ? Sama-sama punya nasib nggak bisa langgeng rumah tangganya”.
Ibu tergelak, tawanya yang khas menggelegar memenuhi ruangan yang sempit ini. Seolah kalah telak dengan ucapanku barusan. “Siapa suruh kamu jadi anakku ? Kalau bisa milih jadi anaknya artis, mungkin kamu nggak sesial ini”.
“Sial tapi enak kok, Bu. Kalau aku masih punya istri juga siapa tahu aku jadi jarang ketemu Ibu”, jawabku jujur.
“Nah, laki-laki yang sayang sama ibunya itu baru laki-laki dewasa”. Ibu meneguk lagi kopinya, peluh-peluh di dahi ikut menetes ke dalam cangkirnya.
Malam begini, di rumah cuma ada dua bola lampu yang remang. Tapi tak pernah senyaman ini di tempat lain. Pada akhirnya, kita hanya bisa duduk menertawakan nasib. Kitalah aktris dan aktornya, dalam hidup buatan Tuhan. Nikmati saja, dengan rokokmu, dengan kopimu, dengan birmu, dengan segala kekuranganmu.
Seperti itulah kami.

Minggu Malam

Pergi.
Minggu malam. Gresik. Jalanan. Lampu. Manusia-manusia. Bakso. Remang. Kendaraan. Traffic light. Berhenti. Batagor. Sendirian.
Pulang.




Selalu. Ada yang kurang..

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com