Kamis, 12 Februari 2015

Pulangnya Rafiah

Rafiah mengelap keringat yang menempel kecil-kecil di lehernya. Angkutan umum sedang padat di pukul dua belas siang  ini. Beberapa seperti sedang melakukan perjalanan dengan tas-tas yang dipangku dan beberapa tumpuk kardus yang dibiarkan duduk sendiri memakan jatah duduk penumpang lain, beberapa hanya Ibu dan anak yang hendak atau dari suatu tempat, beberapa berseragam rapi—entah istirahat atau berniat mangkir dari jam kantor yang belum usai.
Rafia sendiri, hanya bersandal jepit dan mengenakan rok cokelat selutut bercorak bunga setaman, serta kemeja lama yang warnanya telah kusam. Berhimpit dengan penumpang lain dan bersebelahan dengan bapak-bapak berkumis semi-genit yang sedari tadi mencuri-curi sentuh pinggang atau paha Rafiah. Boleh sentuh, asalkan tak mencuri, pikir Rafiah. Mulutnya bungkam, menganggap fenomena itu wajar-wajar saja terjadi di tempat yang penuh sesak begini.
Gadis itu tengah melakukan perjalanan ke desanya, menuju tempat di mana orang tua dan adik lelaki satu-satunya tinggal. Sudah hampir empat tahun ia tinggal di Surabaya, dan rutin mengirimkan surat ke orang tuanya bahwa ia selalu dipertemukan dengan keadaan susah-pulang. Alasannya sudah semacam TKW yang sedang berjuang mati-matian di Negeri orang. Padahal, jarak tempuh keberadaannya hanya terpisah sejauh tiga puluh kilometer.
Terakhir Rafiah pulang, ia tak sempat mengabari Ibunya. Lelah bertarung panas di tengah angkutan umum, hanya dibayar dengan sambutan makanan yang sangat seadanya: sayur lodeh sisa kemarin dan nasi putih yang hampir kering. Rafiah marah-marah. Ibunya—harusnya lebih marah lagi, lantaran Rafiah yang salah tak menghubungi bahwa dirinya akan pulang. Tapi Ibu Rafiah hanya Ibu-Ibu pada umumnya yang selalu melapangkan dadanya dan mengalah untuk anak gadisnya.
Kepulangan Rafiah kali ini adalah kepulangan yang istimewa. Tak seperti kepulangan sebelumnya, ia meneguhkan niat untuk kembali tinggal di desa asalnya, menghabiskan sisa-sisa hidupnya, menghadapi pertarungan baru tentang hidup dan mati: menjadi seorang Ibu.

***

Rumah Rafiah—rumah orang tua Rafiah, lebih tepatnya—masih sama. Masih biasa saja dan tak ada sudut-sudut menarik yang layak dibanggakan. Sudah dua jam yang lalu Rafiah sampai di rumah, disambut teh hangat dan gorengan seadanya. Rafiah tak marah-marah lagi, ada hal yang lebih penting daripada memaki ketersediaan pangan yang begini-begini saja. Hal yang lebih penting itu, sedang dilamunkannya setengah jam belakangan.
Bagaimana aku harus memulainya nanti?
Abah—bapak Rafiah—sedang sibuk di Masjid, rapat pengurus terakhir sebelum acara Maulid Nabi digelar dua hari kemudian. Ibu Rafiah sedang bebenah kamar untuk Rafiah. Kesibukannya sebagai buruh cuci membuatnya tak sempat merapikan rumah sebelum anaknya pulang. Adik Rafiah? “Sedang ke rumah pacarnya”, kata Ibu tadi. Rafiah bahkan tak ingat kapan adiknya itu mimpi basah, tahu-tahu sudah tumbuh jakun dan kumis tipis, juga perawakannya lebih tinggi dari Abah, seperti yang dilihatnya di foto yang terpigura cantik di ruang tamu.
Waktu berjalan cepat sekali.
Rafiah mengingat-ingat, keberangkatannya ke kota sebelah dulu bukan keberangkatan yang membanggakan. Usai berhenti sekolah di kelas tiga SMP karena Abah tak punya uang cukup untuk membiayai sekolah Rafiah dan adiknya, ia kabur dari rumah tiga hari, karena malu dengan keputusan Abah. Lalu kabur bertahun-tahun karena malu dengan kemiskinan Abah.
Tak ada yang menuntutnya untuk menjadi kaya, tak juga teman-temannya. Rafiah hanya tak suka melihat beberapa orang bisa mengendarai sepeda motor di jalan raya, sedangkan ia hanya bisa membawa sepeda kumbang. Ia hanya tak suka melihat beberapa orang sering membeli martabak telur atau makan nasi krawu—yang legendaris dan lumayan mahal itu—sedangkan ia harus merasa cukup dengan lauk seadanya.
Rafiah hanya tak suka Abah lebih ingin meningkatkan pendidikan adiknya, sedangkan ia juga memiliki cita-cita tapi harus dipupuskan begitu saja. Tanpa kompromi.
Surabaya—katanya—menjanjikan banyak hal. Pekerjaan berduit besar, hiburan menarik, dan lain-lain, dan lain-lain. Pergilah ia ke Surabaya, menganggap segala sesuatu akan baik-baik saja, terutama keluarga kecil tanpa kehadirannya lagi. Dinikmatinya masa-masa usia labil itu dengan satu keinginan besar: aku akan kembali kalau aku sudah bisa bawa pulang banyak Rupiah.
Kini ia pulang. Tak membawa rupiah. Tapi hendak memberi hadiah orang tuanya berupa satu keluh kesah.

***

Ada banyak hal yang bercokol lama di kepala Rafiah selama dua bulan belakangan. Dari Surabaya, hingga lima hari sudah ia tiba di desanya, telah ia siapkan beragam skenario dengan segala kemungkinan-kemungkinan respon keluarganya. Telah ia siapkan sebuah kronologi kejadian dan berIbu alasan pembelaan diri untuk bisa diterima. Agaknya sia-sia, ketika bibir Rafiah hanya bergetar dengan isak tangis yang sunyi sambil menyuarakan satu kalimat pendek di hadapan orang tuanya, “Abah, Ibu, Rafiah hamil”.
Abah dan Ibu berhenti makan. Sebuah telur amarah menetas di kepala Abah, Rafiah tahu itu. Adiknya menunduk saja, melirik kanan dan kiri, Abah dan Ibu, lalu melirik lama ke Rafiah. Abah adalah seorang pengurus Masjid di daerah ini. Mengajinya lancar dan fasih, shalatnya rajin dan tekun. Tapi anak gadisnya memilih untuk membesarkan dirinya sendiri sebagai gadis yang bebal dan nakal. Yang terlampau ingin hidup bebas, sebebasnya jauh dari bimbingan orang tua yang kolot dan miskin.
Ibu membungkam tangisnya dengan kedua tangannya, lirih Rafiah mendengar, “Astaghfirullah, kebacut…”. Hati Rafiah bersimbah darah, seolah disayat-sayat oleh kedurhakaannya sendiri. Empat tahun menjajakan diri, ikut lelaki ke sana dan kemari. Terjebak tinggal di rumah akuarium kecil di gang-gang lokalisasi. Rupiah mengalir ke kantung-kantung Rafiah.
Tak hanya Rupiah, pun benih-benih yang entah-milik-siapa pun tertanam di rahimnya. Dua bulan. Dua bulan Rafiah tak memikirkan bersama siapa ia akan merawat buah hatinya kelak, tapi justru apakah ia masih bisa pulang ke pangkuan Abah dan Ibunya. Apakah ia masih memiliki hati-hati yang senantiasa terlapang untuk memaafkannya.
Di pesta isak tangis malam itu, Rafiah menghentikan pikirnya sejenak, dan mengandaikan sesuatu: andai aku tak membenci kemiskinanku.

Sabtu, 07 Februari 2015

Perempuan Pertama di Lagu Lama



“Cuacanya akhir-akhir ini panas bukan main, ya,” katanya, membuka pembicaraan dengan berbasa-basi kecil mengenai matahari yang teriknya semena-mena. Kulihat kerah seragamnya basah oleh keringat. Memang benar, ia baru saja pulang kerja. Lantas menelepon untuk mampir sejenak. Bukan rencana yang tiba-tiba, perihal kedatangannya memang sudah bisa kutebak. Seperti setiap Jumat sore yang sudah-sudah.
“Ya, belum sah dikatakan Jakarta namanya kalau tak panas,” jawabku santai.
Dayat tahu benar, tak pernah ada larangan merokok di rumahku. Bahkan, menurutnya, ia bisa membaca sebuah anjuran untuk merokok yang samar-samar tertulis di kepalaku sebelum tumpah menjadi kalimat. Semasa sekolah dulu—dan sampai sekarang—kami setia menjadi perokok aktif dan memegang teguh pendirian untuk tidak berhenti sebelum membuktikan bahwa racunnya akan menggerogoti kesehatan kami. Maka, belum ada sepuluh menit ia meletakkan pantatnya di kursi rumahku, sepuntung rokok baru segera disulutnya.
“Aku dijodohkan lagi.”
Dayat kembali menjadi radio usang, yang memutarkan lagu lama berkali-kali tanpa mengenal bosan. Dimulainya sebuah cerita baru yang serupa dengan cerita yang lalu-lalu. Tentang seorang gadis Aceh, anak kerabat pamannya yang juga pernah bertetangga dengan Dayat ketika lima bulan mengontrak di Sukabumi tahun lalu. Gadis cantik yang pandai memasak meski usianya baru dua puluh, dan gemar sekali mengirimi Dayat serantang makan malam dua hari sekali—yang menjadi satu-satunya alasan mengapa Dayat sedikit bisa berhemat. Didengarnya kabar dari pamannya yang mendengar kabar dari kerabatnya itu, bahwa Si Gadis Aceh minta dijodohkan dengan Dayat karena satu alasan sederhana: ia bisa melihat segala kebaikan Dayat hanya lewat senyumnya.
“Jangan-jangan dia paranormal,” begitu komentar Dayat asal.
Satu lagi, janda beranak dua yang cantiknya bukan main, teman kerja Dayat sekarang. Suaminya macam emas, dicuri orang—Wanita Idaman Lain—katanya. Janda itu, memiliki jenis tubuh dan wajah yang konon selalu dapat menarik perhatian para pria di tempat kerjanya. Bahkan, baru mendengar empat-lima langkah sepatunya saja, jantung pria-pria itu sudah ikut berdetak-detak seperti jarum jam yang hendak lari cepat-cepat. Maka Dayat, adalah satu pria beruntung yang selalu menjadi sasaran perhatian Si Janda Cantik. Dibawakan makan siang dari rumah, dilempari senyum dengan maksud-maksud rahasia yang menggoda, ditawari tumpangan bersama mobil mewahnya yang tak pernah berani disentuh debu, dan lain-lain yang menyenangkan.
“Tapi, anaknya dua. Ck, melihat kerepotanmu saja aku sudah kenyang.”
Alasan-alasan itu, sungguh sebenarnya bukan menjadi masalah bagi Dayat. Sudah kutebak, pembicaraan ini tak akan berujung ke mana-mana kecuali sebuah keputusan yang bermuara pada kata ‘tidak’. Sebuah penolakan, selalu begitu.
“Jelas-jelas aku tak suka dijodoh-jodohkan. Biar aku tak menikahpun tak masalah.”
Benar adanya. Dayat tak pernah mengeluhkan statusnya sebagai bujang lapuk kepadaku, atau kepada orang-orang lain. Ke mana-mana selalu sendiri meski di belakangnya tengah berbaris belasan perempuan yang mengantri untuk mendapatkan balasan cinta dari Dayat yang kaya dan tampan, juga yang kebaikannya tak terhitung ini. Aku pun, pernah berpikir, jika aku seorang perempuan pastinya sosok lelaki seperti Dayat lah yang hendak aku nikahi. Sialnya, aku lelaki normal.
Asap rokok Dayat mengepul bagai awan-awan di langit. Aku tak selalu menghalalkan orang merokok di berandaku. Hanya ketika kedua anakku sedang tidak ada di rumah, karena bagaimanapun aku ingin menjadi Ayah yang tidak mengajarkan keburukan untuk anaknya. Untung kedua anakku sedang mengaji di rumah Abah Husin, tetanggaku.
“Bagaimana caranya lari dari perempuan-perempuan itu?”
“Tenang, mereka akan lelah sendiri mengejarmu, Dayat. Lalu akan digantikan perempuan lain yang menjadi tokoh dalam ceritamu Jumat depan.”
Dayat meringis, seolah menyepakati kalimatku barusan.
 “Sebenarnya, dulu sekali sebelum kita bertemu lagi di Jakarta, aku pernah terlalu siap menikah. Punya anak yang lucu-lucu, bermain denganku setelah aku pulang kerja—,” begitu saja, kalimatnya menggantung. Pandangannya kosong menatap lampu antic di langit-langit berandaku. “Tapi tak penting lagi,” lanjutnya, seolah baru ada yang menimpuk kesadarannya dengan kerikil kecil.
Istriku keluar dari dalam, membawa senampan berisi dua gelas kopi hitam yang asapnya masih samar-samar berjingkat ke atas. Seperti telah hafal tamu siapa yang datang Jumat sore begini, ia tak perlu lagi dikomando untuk membuatkan minuman.
Perlahan, dia meletakkan segelas di depanku, dan segelas lagi di depan Dayat. Entah memang ia meletakkannya selambat mungkin, atau hanya perasaanku saja. Sambil menaruhnya—pelan-pelan—mata istriku dan mata Dayat bertumbukan. Tak lama, sangat singkat, sesingkat ranting kering yang jatuh bebas dari pohon.
Hanya saja, dari sekian banyak sore yang dihabiskan Dayat untuk membicarakan tentang ikan-ikan yang berusaha menyambar-nyambar kailnya, dari kesiapan istriku yang semakin terlatih untuk membuatkan kopi hitam dan meletakkannya dengan gerakan lambat, dari tatapan mata mereka berdua yang sangat singkat—sudah kutebak—ada sebuah kisah cinta yang pernah tak sempat terselesaikan.
Bayang-bayang bulan terlihat menggantung pucat pasi di kontrasnya langit sore.
***



** Pertama kali membaca puisi “Sudah Kutebak” karya Sapardi Djoko Damono, sebuah situasi langsung tergambar di kepala saya. Tentang dua orang lelaki yang berbincang-bincang. Satu sebagai pendengar dan satu sebagai pencerita.
Sederhana saja, dari hasil interpretasi yang saya tangkap, berusaha saya kisahkan tentang seorang lelaki bernama Dayat—Si Pengail dalam puisi Sapardi—yang terus dikejar oleh perempuan-perempuan yang dalam puisi tersebut diungkapkan sebagai sepasang ikan yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi sedikit. Mendapatkan keberuntungan seperti itu, Dayat justru berupaya melepaskan semuanya, sebab ia mengharapkan kedatangan sesuatu yang lebih ditunggu sehingga ia setia pada kesendiriannya.
Kata “sudah kutebak” sendiri sengaja saya gunakan pada beberapa bagian untuk mempertegas  bahwa lelaki tersebut melakukan ritme yang sama dalam hal berkunjung ke rumah kawannya dan mengungkapkan isi pembicaraan yang serupa pada hari-hari sebelumnya sehingga Si Tuan Rumah tanpa berusaha keras telah mengetahui segala arah pembicaraan dan keputusan apa yang akan diambil Dayat pada akhir pengisahaannya.
Untuk akhir cerita, saya membubuhkan secara implisit tentang alasan utama mengapa Dayat betah dalam kesendiriannya. Dayat, pada setiap Jumat sore, akan datang dengan alasan yang tak lain adalah untuk melihat lebih dekat kehidupan perempuan pertama yang masih dinantinya.
 

Rabu, 04 Februari 2015

Teman Bicara-mu Sehari-Hari


Hi, there!
Beberapa hari ini saya lagi riweh dan nggak menulis banyak. Bahkan niatan untuk ikut seleksi Ubud Writer-Reader Festival juga urung karena buntu habis-habisan dan merasa nggak pantas kalau hanya mengirim cerpen-cerpen lama, sementara di luar sana saya yakin ada banyak pesaing yang mengerahkan segala tenaga mereka untuk menciptakan karya yang baru. Saya, tiba-tiba merasa belum pantas ikut event sebesar itu.
Yang membuat saya riweh adalah, saya sedang mulai berjualan. Jualan notebook sambil mengisi waktu luang menunggu panggilan kerja setelah melamar di beberapa tempat. Karena saya memang hobi bikin-bikin sesuatu dan lagi getol bikin notebook, maka saya beranikan diri untuk mengomersilkannya menjadi lahan usaha. Tentu, setelah setahun menjalani trial and error dan akhirnya cukup puas dengan hasilnya yang rapi dan tentunya beda dari notebook yang kebanyakan dijual.
Menurut penelitian Pennebaker tentang expressive writing, menulis memiliki efek teraputik yang dapat meningkatkan kesehatan psikis maupun fisik. Sebab, menulis merupakan strategi coping stress yang baik ketika seseorang mengalami masalah namun enggan menceritakannya kepada orang lain. Untuk itulah aya mengusung nama Teman Bicara. Saya berpikir mengapa orang-orang kini terlalu banyak mengabadikan momennya melalui gadget? Mengapa tak kembali melestarikan tulisan tangan sendiri dan mengakrabkannya kembali dengan pena dan kertas? Itulah jawaban mengapa saya memilih notebook sebagai produk yang saya jual. Lantas, apa yang beda?



Saya punya keyakinan yang kuat bahwa don’t judge a book by its cover adalah pepatah yang sia-sia. Kita tidak akan membeli buku dengan sampul yang tak menarik. Kita tak akan membeli novel jika sinopsis dan desain sampulnya tidak terlalu mendorong hasrat kita untuk membeli. Maka, membuat notebook dengan tampilan sampul yang menarik adalah hal yang saya unggulkan di Teman Bicara. Handmade fabric hardcover notebook, begitu saya menyebutnya. Semua dari kain dengan desain yang menarik, tak pasaran, dan cukup elegan untuk dibawa kemana-mana meskipun itu hanya sebuah buku. Beberapa yang sudah melihat hasilnya dan tertarik untuk membeli berpendapat bahwa mereka cukup puas dengan yang saya kerjakan, karena tidak ditemukan di online shop atau toko-toko buku lain. Selain itu, tak main-main, saya mengerjakannya dengan sangat rapi sehingga buku yang saya jual cukup awet dan tahan lama ketika digunakan. Ditambah lagi, pengaplikasian hardcover membuat notebook Teman Bicara tak perlu mengalami lecek dan kusut ketika bertabrakan dengan benda lain di dalam tas.
Ukuran buku ini A6, cukup kecil karena saya yakin di tahun semodern ini orang-orang menyukai sesuatu yang praktis. Dengan 150 lembar kertas polos di dalamnya, notebook ini tak akan cepat habis ketika digunakan. Beberapa bertanya, mengapa kertas polos? Karena menurut saya, dengan kertas yang polos kita bisa menggambar atau menulis dengan ukuran berapapun tanpa perlu terhantam oleh batas-batas garis. Boleh saja kalau kalian anggap saya mengusung tema kebebasan di dalam buku saya.  





Terakhir, buku-buku yang saya jual saat ini kisaran harganya cukup di IDR 37.5k hingga IDR 55k. Menurut saya, itu adalah harga yang terjangkau dan sangat worth it untuk dilalui dengan membeli buku Teman Bicara, mengingat segala proses pembuatan buku melibatkan waktu, tenaga, ide, serta dilakukan secara handmade tanpa bantuan software atau hardware apapun.
Kurang detail apa ulasan saya tentang barang dagangan saya sendiri? Boleh ditanyakan lagi melalui ID Line Pupusss atau kontak saya via Whatsapp di 083831873636. Semua contoh, detail, dan harga buku yang ditawarkan oleh Teman Bicara bisa ditengok di akun instagram @temanbicara.nb atau www.instagram.com/temanbicara.nb. Selamat menelusur, saya siap menjadi Teman Bicara-mu sehari-hari!

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com