Rabu, 26 September 2012

Nostalgia


Aku ingin jatuh cinta pada titik-titik air yang terkatung-katung di ujung rerumputan. Hendak jatuh, namun masih mencengkeram erat, memantulkan cahaya keperakan pada halaman hijau. Sebuah basah yang menyambut pagi ketika matahari masih pelit membagikan cahayanya dan ayam-ayam masih bermalas-malasan di balik selimut jerami.
Juga pada gagah pohon yang tiap hari secara tak kasat mata berjinjit-jinjit kecil menambah tinggi agar kelak pucuknya berhasil menyentuh biru muda langit. Sebab menyentuh putihnya awan yang berarak di lintas angkasa adalah keingingan terbesar mereka dan Tuhan menakdirkan mereka memiliki hidup ribuan tahun untuk terus tumbuh dan mencapai inginnya.
Apalagi pada dingin angin yang meniup-niup helai rambutku ketika kereta api melintas tanpa ampun beberapa detik dengan gemuruh suaranya yang begitu dahsyat. Saat di mana aku begitu berbahagia dengan sebuah berantakan hingga aku nyaris tak peduli bahwa pernah ada penemuan alat untuk merapikan rambut bernama sisir.
Pada suatu masa yang jauh dari saat ini, aku pernah jatuh cinta pada pagi seperti itu. Saat kau datang menjemputku yang telah terduduk rapi di kursi rotan depan rumah, menanti. Seragam sekolah yang lusuh dan kebesaran adalah saksi romansa yang tercipta di antara kita, puluhan tahun silam sebelum abad 20 menyerang zaman dengan kecanggihan teknologi.
Rumah kita jauh. Dari satu dusun ke dusun lain. Namun keberadaan satu sekolah kejuruan kecil yang pada eranya memiliki fasilitas yang begitu mencukupi, menjadikan kita berdua terasa dekat sebab harus menempuh perjalanan berdua untuk satu tempat tujuan yang sama.
Rambutku keriting berombak. Pula rambutmu. Model rambut yang sedang begitu mendunia kala itu, yang siapapun yang terlahir dengan model rambut seperti itu akan merasa percaya diri luar biasa karena semua mata tertuju padanya. Rambut-rambut tipis juga muncul di atas bibirmu, rumpun calon kumis yang malu-malu berjuang untuk tumbuh. Menjadikan senyummu tampak berbeda dari hari ke hari.
Kita meniti perjalanan ke sekolah kurang lebih satu jam. Perjalanan yang tak singkat, meski telah kita pilih alternatif jalan terpendek melewati besi-besi tua rel kereta api yang terbentang dari titik kita berdiri hingga ke sebuah titik lenyap yang hinggap pada garis horizon yang memotong tanah dan langit. Pagi belum terlalu siang. Stasiun belum terlalu ramai sesak. Udara masih tak berwarna, masih sejernih harum pagi yang belum mengantungi asap-asap kereta api maupun asap pembakaran sampah yang terbawa ke mana-mana.
Aku anak Pak Lurah. Kau anak Pak Carik. Kita berdua sama-sama melirik saat pertemuan besar kala itu. Orang tua kita ternyata masih saudara jauh. Pada sebuah pagelaran wayang untuk merayakan terpilihnya bapakku sebagai Lurah, kau datang. Berjalan malu-malu di balik punggung ayah-ibumu tak membuatku lantas tertarik padamu begitu saja.
Malam begitu riuh. Mata-mata para tetangga tak berkedip sekalipun, melawan kantuk yang bersembunyi di balik kantung-kantung mata, demi menyaksikan aksi panggung dalang ternama. Keluarga mendapat tempat duduk terhormat di atas kursi-kursi plastik sementara yang lain cukup menikmati duduk beralaskan tikar. Manusia-manusia belum mengebadikan kebiasaan berburuk sangka kala itu, hingga perbedaan tempat duduk bukan dianggap suatu kesenjangan, melainkan sebuah penghormatan.
Kita duduk bersebelahan. Belum ada sepatah katapun selain senyum yang terlempar. Kita sama-sama hanyut dalam cerita asmara Rama dan Sinta, tertawa oleh keahlian dalang dalam mencipta dialog dan menciptakan gerak-gerak gemulai lelakon kulitnya.
Lalu, di sanalah, ketika malam semakin larut dan kisah semakin membuat siapapun enggan meninggalkan hingga diciptakanlah suasana redup temaram nyala obor bambu, kau memberanikan diri untuk memperkenalkan diri.
Lucu sekali, kita terhitung saudara jauh, tapi belum pernah sekalipun bertemu. Terlalu jauh, mungkin. Dari percakapan sederhana malam itu, aku tahu kita berada dalam satu atap sekolah yang sama. Terang saja aku tak mengenalimu. Kelas adalah tempat bermukimku, sebab aku jarang keluar kelas apalagi mengunjungi kantin karena uang saku hanya bisa kugunakan untuk membeli es teh dan sepotong gorengan bekal di jalan pulang.
Setelah malam itu, kau rajin mengirimiku surat, dua minggu sekali. Surat-surat yang tak pernah kubalas karena aku begitu malu melakukan hal manis seperti itu. Dua bulan berselang, mungkin kau geram. Geram yang tak lantas menghentikan langkahmu untuk berusaha mendekat. Bermodal sekantung ubi ungu hasil panen, kau berkunjung ke rumahku, berbasa-basi dengan bapak-ibuku sementara aku mengintip dari tirai kamar. Entahlah, ketika nada bicaramu merujuk pada sebuah candaan untuk berpamit pada orang tuaku mengajakku berangkat sekolah bersama mulai besok dan seterusnya, aku tersenyum malu sendirian. Aku bahkan tidak bisa membedakan apakah itu masih bagian dari basa-basimu, atau sungguh ajakan yang keluar dari hati seorang lelaki.
Kaki kita masih terus melangkah. Sekolah masih jauh. Tapi tangan kita masih erat bergandeng. Rerumputan yang masih basah, pepohonan yang rantingnya menganggung-angguk anggun menyapa pagi. Juga siulanmu yang syahdu memainkan nada-nada lagu lama tentang cinta-cinta yang bersemi. Sejak itu kau terus mengampiriku tiap pagi, lalu pulang bersama sorenya, saat matahari hendak pulang pada cakrawala. Sejak berjalan kaki hingga akhirnya kau mampu membeli sebuah sepeda bekas yang masih bagus untuk ditumpangi. Berboncengan seperti itu di jalanan yang mmbelah persawahan, membuat orang-orang berdecak iri, pastinya.
Aku ingin jatuh cinta sekali lagi. Sebab kita berdua telah semakin jauh meninggalkan resah ketika menunggu Pak Pos mengantarkan surat. Meninggalkan bahagia yang memuncak ketika membaca paragraf demi paragraf yang tersimpan rapi dalam laci kayu jati. Meninggalkan pagi yang ditempuh di atas rel kereta api.
Lihatlah kita berdua. Telah jauh dari anak-anak yang telah berkeluarga. Hidup di antara lahan yang terhimpit gedung-gedung mewah. Sebuah kesederhanaan yang menyisakan seorang perempuan beruban yang tengah bersandar pada bahu pria kurus yang penuh keriput di tiap lekukan kulitnya. Menonton TV hingga ketiduran. Bisa jadi, hingga tiba-tiba kita mati bersama.
Kau semakin sedikit menguasai kata sebab gigimu tak lagi utuh dan suaramu menghasilkan getar yang tak kunjung usai. Sedangkan telingaku terlalu pekak hingga tak mampu lagi mendengar dengan jelas apa yang ingin kau ucap. Kita adalah sepasang tua dengan rabun mata dan sedikit harap untuk kesembuhan, sebab kita sama-sama tahu bahwa memang telah saatnya kita berdiri pada proses ini.
Biarlah, kau bilang. Jika suatu hari nanti kita berdua harus berakhir pada sebuah hening seperti ini, asalkan berhasil melewati masa berdua, kita telah sama-sama tahu seberapa bermaknanya hidup yang kita miliki sebelumnya.



So, would it be nice to sit back in silence?
Despite all the wisdom and the fantasies
Having you close to my heart as I say a little grace
I'm thankful for this moment cause
I know that you
Grow a day older and see how this sentimental fool can be

When she tries to write a birthday song
When she thinks so hard to make your day
When she's getting lost in all her thoughts

When she waits a whole day to say...
"I'm thankful for this moment ‘cause I know that I
Grow a day older and see how this sentimental fool can be
When he ache his arms to hold me tight
When he picks up lines to make me laugh
When he's getting lost in all his calls

When we can't wait to say : ‘I love you'."

If everything has been written down, so why worry, we say
It's you and me with a little left of sanity


- Grow A Day Older, Dewi Lestari -






Kamis, 20 September 2012

Lorong


Iko, kalau kau baik-baik saja, mengapa lorong ini terasa begitu panjang hingga langkah-langkahku yang gontai tak juga menemui sebuah ujung di mana mereka bilang kau telah rebah dan hilang kesadaran sebab sebuah motor melaju kencang dan menabrakmu tanpa ampun? Aku melihat beberapa bercak darah tersapu kasar di lantai UDG, kuharap itu bukan milikmu.
Bukankah hari lalu kita masih duduk dalam satu meja yang sama, menikmati segelas kopi untukmu dan segelas teh untukku di sebuah kafe favorit kita? Kau ceritakan betapa menguras waktunya pekerjaan yang dulu kau perjuangkan mati-matian itu sebagai seorang desainer grafis di sebuah perusahaan ternama. Ada gurat-gurat resah dan nada ingin menyerah dalam pembicaraanmu. Tapi kita berdua selalu tahu, Iko, bahwa lelah hanya sementara. Dia seperti badai kecil yang berkecamuk dalam beberapa waktu, lalu pergi lagi. Yang terpenting adalah seberapa kuat kau berpegang pada doa bahwa kau akan selamat. Itu saja. Karena kau bukanlah pengibar bendera putih yang menyukai kalah begitu saja.
Iko, jantungku berdebam keras, seperti gong yang dipukul berkali-kali. Meninggalkan gema yang begitu menakutkan, ketika seorang pria meneleponku menggunakan handphone-mu, mengabarkan kecelakaan yang baru saja menimpamu. Jika aku menjadi pria itu, pasti aku akan melakukan hal yang sama, yaitu menghubungi seorang Laras, yang namanya memenuhi inbox dan daftar panggilanmu. Pria itu melakukan langkah yang tepat, Iko. Tapi aku, aku adalah seekor kutu yang terjebak dalam situasi yang salah. Aku linglung menggapai mana yang harus kuselesaikan. Di tengah presentasi dengan bos-bos besar yang sedang kulakukan untuk menyambung nasibku sebagai seorang karyawan yang sedang dipromosikan, aku memilih pergi, Iko. Aku memilihmu. Setidaknya, aku hanya akan dipecat dan akan limbung untuk sementara mencari pekerjaan baru. Tapi jika aku kau pecat sebagai sahabat, ke mana lagi aku harus mencari orang sepertimu? Yang sama persis denganmu. Karena aku tidak mau yang lain.
Mendadak intro lagu Wish You Well milik Katie Herzig mendarat di kepalaku, terputar otomatis. Kau begitu menyukai lagu sendu ini, Iko. Pernah kau kirim sebuah link dalam pesan singkat setahun lalu, pagi setelah kita bertengkar hebat. Kubuka saat itu juga. Adalah kamu, yang sedang duduk dengan sebuah gitar, menyanyikan lagu ini. Pula ketika kita sedang berada di kafe itu, lagu ini terputar sebagai pengiring pembicaraan kita. Lagu sendu yang selalu mengingatkan kita berdua untuk saling mendoakan, untuk tak memisahkan diri, untuk selalu ada.
Iko, aku mulai curiga. Aku ingin kembali. Bukankah UGD ini sudah terlalu jauh? Tak kutemui lagi pasien-pasien lain dan tirai-tirai ruang perawatan yang semestinya ada. Mungkinkah petugas tadi salah memberika petunjuk jalan? UGD ini hampir habis.
Di luar ruangan paling ujung yang petugas itu bilang, kakak dan ibumu berdiri, berpelukan dengan isak tangis yang seakan merenggut kebahagiaan. Langkahku melambat, Iko. Bersamaan dengan itu, kakakmu yang lain melihat dan menghampiriku, lantas memelukku. Erat sekali, Iko. Dan tak lama kemudian, aku mendongak ke atas dan menyadari bahwa kami sedang sama-sama berdiri di ruang paling ujung UGD ini: kamar jenazah.
Iko, pandanganku kabur. Masih kurasakan pelukan kakakmu, tapi pada waktu yang sama, kudengar dia memanggil namaku dengan sangat keras. “Laraaaassss!!”
Tubuhku terjatuh ke lantai. Bangunkan aku, Iko.




“I, I want to wish you well
I didn’t watch you go
Cause I suppose I don’t know how
I, I will remember you
Not the way you left but how you lived
And what you knew

I, I want to feel your hands
I want to feel your fire burning
Right from where I stand”

Katie Herzig, Wish You Well

Minggu, 16 September 2012

Kau Berhasil Menjadi Senja di Pantai


Aku melihat senja di pantai dalam kaus berlatar putih yang kau kenakan.
Gemilang oranye senja terpantul pada permukaan air laut, meliuk hingga membentuk sudut yang mengerucut. Lantas di depan sana matahari tenggelam perlahan dengan gagahnya. Meninggalkan semburat pesona warna terang yang romantis di awan-awan sebelum petang meleburnya.
Kau pernah bilang, pada suatu hari, bahwa kau ingin menjadi matahari tenggelam di pantai. Kau ingin menjadi yang dicari banyak orang. Atau setidaknya, kala waktumu kembali pada Tuhan telah datang, kau ingin meninggalkan keindahan untuk banyak orang. Kau berkata demikian tepat saat kita sedang rebahan di atas pasir pantai ketika langit menyajikan senjanya, membiarkan ombak kecil menyapu kita berdua.
Aku hanya diam sambil membenci diam-diam keinginanmu yang satu itu. Kau bukan matahari tenggelam di pantai. Kau bukan pula bintang yang bersinar anggun di kelamnya langit. Bahkan kau bukan bunga cantik di taman. Kau tahu? Mereka hanya mengada dalam waktu yang tak lama. Matahari akan hilang saat malam. Bintang akan hilang saat pagi datang. Bunga akan mati berserah diri pada musim. Sedangkan kau, kau adalah waktu 24 jam yang selalu ada. Ketika dini hari merayap lagi, kau tak pernah mati dalam ingatanku. Kau tak pernah gagal memelukku dalam dekapan yang begitu mampu meluluhlantakan ketidaksempurnaan hariku. Kau lebih dari pendamping. Kau membuatku mempercayai segala kata mutiara tentang belahan jiwa dan cinta sejati.
Kau belum pernah meninggalkanku seperti matahari yang meninggalkan senja di pantai.
Setidaknya, hingga minggu lalu, kita resmi bercerai.
Untuk pertama dan terakhir kalinya, kita menangis tersedu berdua di atas sofa merah marun yang kita beli sebelas tahun yang lalu sebagai pelengkap rumah di kehidupan kita yang baru. Kau menangis atas keberanianku menjalin hubungan gelap dengan pelacur kelas atas, sedang aku menangis sebab aku merasa mati tiba-tiba atas kebodohanku menyiakan wanita sesempurnamu. Adalah nafsu yang kala itu menjalari nadi hingga mengalir tak memedulikan kata hati. Bersamanya, aku seperti mencandui ekstasi yang tak bisa kuhentikan.
Lantas, kita bercerai. Kau yang menceraikan aku. Mematikan saklar hubungan sebelas tahun yang begitu hebat dan menyenangkan, tetapi kuprak-porandakan dengan sedemikian bejatnya.
Kau tahu, Sayang? Pada senja di pantai yang terlukis dalam kaus berlatar putih yang kau kenakan saat sidang perceraian kita minggu lalu, aku melihatmu pergi dan meninggalkan segala kebaikan yang hingga kini kunanti kembali setiap hari.
Kau berhasil menjadi apa yang kau inginkan.

Aku Sedang


Aku sedang jatuh cinta.
Pada sepasang mata yang memiliki daya pikat yang begitu agung. Juga pada ekor mata yang meruncing tiap kali dia tertawa.
Aku sedang jatuh cinta.
Pada kemeja kebesaran yang dikenakannya. Tak ada yang lebih menyenangkan dari melihatnya berjalan dengan setelan serbabesar seperti artis ‘80-an.
Aku sedang jatuh cinta.
Pada rambutnya yang terkuncir rapi. Tapi aku juga jatuh cinta saat rambutnya terurai sepundak. Bergelombang halus, rapi. Lelaki gondrong yang tak berantakan.
Aku selalu jatuh cinta saat melihatnya berjalan di depanku. Mata ini menghabisinya tanpa ampun. Otak berpikir keras menciptakan kalimat sapaan yang biasa-biasa saja, tapi degup jantung yang memburu membuatnya tampak tak biasa. Bibir begitu kelu. Seperti ingin mengirim pesan. Ketik, hapus, ketik, hapus, hingga menyerah.
Kutarik ujung kemejaku, berusaha terlihat rapi. Padahal jelas tak dimilikinya sepasang mata di belakang kepala. Tapi, aku sedang jatuh cinta. Penampilan rapi itu nomor satu. Melewati koridor dengan jendela-jendela kaca, mencuri bayangan untuk berkaca. Siapa tahu penampilanku terlalu buruk rupa.
Ah, norak sekali aku ini. Tapi biarlah, aku sedang jatuh cinta. Iseng kusamakan langkah kakiku dengannya. Mungkin dari percobaan kecilku ini, bisa kurefleksikan apakah aku cukup pantas berjalan di sisinya kelak, menyamakan langkah ke manapun tujuan terarah. Mendampinginya.
Tidak, itu terlalu jauh. Tapi, aku sedang jatuh cinta. Pada cara dia mengikat tali sepatunya. Pola yang berbeda dari kebanyakan orang. Tapi, entahlah, sebenarnya aku tak pernah repot-repot memperhatikan pola-menali-sepatu orang lain. Hanya saja, apapun yang berkaitan dengannya adalah hal yang terlihat berbeda. Dan aku cukup menyukainya.
Cukup? Tidak hanya cukup. Aku sangat menyukainya. Sebab aku menjadi terlalu sibuk menyiapkan berbagai cara tersenyum yang menarik ketika di dekatnya. Keringat dingin bermunculan dari pori-pori telapak tanganku, seiring dengan betapa berdebarnya dada untuk mempersiapkan diri kalau-kalau dia menoleh dan menyapaku lebih dulu, mengajakku bicara. Aih, itu tak ubahnya bunga tidur yang pelan-pelan kurajut menjadi cita-cita. Meski mustahil, bukankah cita-cita perlu diterbangkan setinggi langit? Kalau kurang beruntung, toh masih ada gravitasi bumi yang menangkapku, walaupun sakitnya bukan main.
Aku masih di belakangmu. Bahu dan punggungmu seolah tercipta begitu pas. Tak ada celah ketidakproporsionalan di dalamnya. Pula dalam dirimu. Hingga aku kesulitan sendiri menentukan kekuranganmu yang mana yang harus kuperhatikan agar perasaan ini meredup.
Ah, biarlah. Aku hanya sedang sangat jatuh cinta. Kunikmatii saja, sebab ini adalah salah satu jenis jatuh yang tak membuatku tertarik untuk bangun.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com