Minggu, 25 November 2012

Buat Apa?


Sejauh yang saya tahu, tidak ada pentingnya sama sekali mengutamakan kepentingan orang lain jika sejauh itu saya merasa terpaksa. Hanya karena perasaan tidak enak, lantas saya mengiyakan segala sesuatu? Oh, saya punya hidup sendiri, saya punya pertimbangan sendiri atas apa yang perlu dan tidak perlu saya lakukan.
Egois? Memang. Saya tahu diri kalau saya egois dan kurang memedulikan perasaan orang lain. Dari dulu. Tapi bukannya itu lebih baik ya daripada menyenangkan orang lain tapi pada akhirnya dia tahu kalau saya terpaksa melakukannya untuk dia? Seperti itu, bukannya justru lebih dekat dengan perasaan dikhianati? Ya, menurut saya sih, itu lebih baik. Saya tidak terlalu menganut faham kadang harus ada yang dikorbankan, termasuk perasaan kita sendiri. Itu hanya berlaku di waktu-waktu tertentu saja, yang intensitasnya begitu minim di hidup saya. Lantas apa dengan begitu saya jadi mengorbankan perasaan orang lain dengan mudah? Tidak. Orang lain harus tahu alasan saya, pun sebaliknya, supaya sama-sama mengerti. Supaya tidak ada yang rugi dengan sikap saya yang secara kasat mata tampak begitu egois.
Jelas, kan? Kadang ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan, sejauh apapun kita berusaha untuk tenang melakukan dan menghadapinya. Seperti saya, ketika merasa melakukan sesuatu demi orang lain itu tidak penting dan jika saya lakukan pada akhirnya justru menyakiti, segera saya tinggalkan. Karena, ya, buat apa?

74 Jendela


Serbuk-serbuk hitam tergores bebas di atas hamparan kertas putih yang hanya seukuran A5. Lepas dan tandas begitu saja tanpa mau berhenti. Menebal, menipis, menebal, menipis. Mengarsir.
Ya, mengarsir.
Rena sedang mengarsir tujuh puluh dua jendela dari sebelas gedung pencakar langit yang berjajar di tanah bumi. Tujuh puluh dua jendela persegi dengan ukuran serupa, dari sebelas gedung pencakar langit dengan tinggi dan lebar yang berbeda stau sama lain. Gedung-gedung yang berhimpitan tanpa jeda.
Beranjak ke arsiran jendela ke-73, 74, 75. Tempo arsirannya semakin cepat, tekanannya semakin kuat. Ada arsiran amarah di hati Rena yang tak kunjung reda. Tertuang dalam gambar penuh makna yang dimuntahkannya selama lima belas menit belakangan.
Tangisan Rena pecah, hening tak bersuara. Deras air matanya meleleh membanjiri meja kerjanya.

***

Rena tertidur. Kamarnya gelap. Tersisa cahaya temaram yang masuk dari jendela kaca yang terbuka tirainya. Rena terlalu lelah menangis. Maskaranya luntur, meluncur jatuh ke pipinya hingga mengering.
Dari balik jendela kacanya, Rena melihat sebuah jendela.
Dari balik jendela yang dipandangi Rena dari jendela kamarnya, sepasang kekasih tertidur berpelukan di depan televisi yang masih menyala. Pemandangan yang sama yang disaksikan Rena lepas pukul sepuluh malam.
Rena akan menangis melunturkan maskaranya, seperti hari-hari sebelumnya. Rena akan menangis hingga ketiduran di meja kerja yang dipenuhi gambar bangunan-bangunan berjendela.
Itu kekasih Rena. Yang bisa dilakukan Rena tiap malamnya hanya merutuki jendela, mata keduanya, melalui puluhan sketsanya. Tak sanggup melawan lebih karena Rena hanya yang kedua.

Jumat, 23 November 2012

XXI


Hari ini, saya resmi menyandang usia yang sama dengan merk bioskop, 21.
Oh, ini bukan postingan panjang-panjang, saya sudah ngantuk sekali. Tapi sebelum pukul 24.00, sebelum pergantian hari, dan sebelum birthday girl berubah menjadi gadis biasa yang tidak punya hari istimewa, saya harus segera menuntaskan segala keinginan dan review setahun ke belakang.
Saya merasa belajar banyak, sih. Tentang pertemanan, tentang keterikatan, tentang merasa bahagia, dan tentang-tentang yang lainnya. Tahun ini memang agak istimewa, saya lebih bisa mengontrol emosi (menurut saya, sih), saya juga lebih bisa mengontrol perasaan saya sendiri untuk tidak terlalu larut dalam masalah. Saya sudah tahu caranya bahagia. Intinya, usia 20 saya menyenangkan!
Lalu 21, yang tahun depan akan beranjak ke 22, lalu 23. Waktu tidak pernah mau diajak kompromi. Teman-teman mulai meributkan kesendirian saya, mulai mendoakan macam-macam, mulai ikut terlihat panik dan memotivasi habis-habisan. Maklum, menurut tugas perkembangan dewasa awal, usia ini sudah masuk pada tahap memikirkan hubungan yang serius, yang entah kapan datang waktu itu untuk saya. Seperti yang mereka doakan, semoga segera bertemu seseorang yang tepat di waktu yang tepat, atau yang biasa disingkat dengan jodoh, doa saya bertahun-tahun yang entah kapan dikabulkan.
Selain itu, saya lagi berusaha mengejar ketertinggalan saya di akademik. Harus. Harus habis-habisan. Saya nggak rela IP saya turun pelan-pelan dari semester ke semester.
Juga, as my mom wishes for me, saya mau lebih mandiri. Lebih lebih lebih lagi bisa bertanggung jawab untuk banyak hal yang menyangkut hidup saya. Lebih bisa menempatkan diri pada hal-hal yang penting dan tidak penting untuk dilakukan. And that’s what I exactly want from now on. Sebab, kecuekan saya sudah kebacut bikin Mama kecewa.
Dan terima kasih untuk ucapan, ciuman, dan nyanyian, dan pelukan-pelukan hari ini. Terima kasih untuk Caca, ponakan 4 tahun sekaligus mood booster saya yang menyapa pagi-pagi dari jauh “Halo Teput, kamu ulang tahun ya? Selamat ulang tahun, aku juga ulang tahun kemaren. Pulang ya, Put, besok beli kado bareng-bareng, patungan”. Terima kasih Paramita dan Amelia untuk kadonya. Terima kasih untuk Zaza, Fefe, Kamel, Cicin, Esteh, Tante, Cisma yang selalu ada. Terima kasih untuk Mbak Nod, Mbak Debo, Mas Alto, Mas Rico yang menemani gila malam-malam, closing yang menyenangkan.
Terima kasih Ya Allah, saya nggak bisa bayangkan kalau harus hidup tanpa Kamu.
Selamat malam, selamat datang tahun baru!

Rabu, 21 November 2012

Berangkat dari Feminis


Bebas itu semu, imajiner, tidak ideal. Terkekang dalam dua belas bar, dalam kenikmatan, dalam sebab akibat. Apa itu bebas, adalah hanya Sang Omega.
Kebebasan artinya risau, meski berjuta lebih kecil dari elektron, meski lebih jauh dari milyaran kecepatan cahaya. Karena risau ditakdirkan abadi selama sebab terawal dan akibat terakhir.
Karena ideal adalah tunggal, maka kebebasan itu terbatas, dan kerisauan adalah abadi, teruntuk kita yang berinsting dan bernurani.
Satu lagi, bahwa dasar sedasar-dasarnya, kita ditakdirkan untuk terikat, terbatas, bebas yang terhitung. Keyakinan, selain hidup dan mati. Yakinkan memang seimbang.Sempit untuk mengatakan kuantitas, bukan ukuran yang terkonstruksi dalam otak, karena makna adalah yang terukur. Yakinkan memang tersebab dan terakibat. Sial untuk mengerdilkan berbatas stigma, beruntung, nasib. Karena makna adalah terawal dan terakhir.
Karena risau ditakdirkan abadi selama sebab terawal dan akibat terakhir.
Karena risau diciptakan untuk bermakna.



Oleh Rizqi Hilmi, dititipkan untuk ditulis kembali di blog saya :)

Senin, 19 November 2012

Percakapan


Saya kurang suka dengan orang yang menjadikan masalah finansial sebagai bahan obrolan, baik dia mempertanyakan, maupun menceritakan. Karena bukan haknya untuk tahu, bukan hak orang lain pula untuk tahu. Itu rahasia. Itu tanggung jawab kita pada Sang Pemiliknya.
Saya suka heran, apa esensi dari mempertanyakan masalah finansial kepada orang lain. Beberapa orang mempertanyakan dengan cara yang baik, pada batas-batas yang masih bisa ditoleransi. Beberapa lagi tidak. Bermaksud pamer? Entahlah.
Saya tahu, tulisan ini akan menyinggung beberapa orang. Tapi maaf, saya memang selalu underestimate dengan orang yang terkesan ‘ikut campur’ dengan urusan orang lain, apalagi masalah finansial. Kadang, bencinya setengah mati, bahkan sedekat apapun hubungan saya dengannya. Meskipun saya sadar sekali kita tidak bisa menilai orang setengah-setengah.
But yes, I judge person by their conversations and the way they’re talking. There must be some implicit things that should be caught from those two things to know who they really are. I mean it. Saya pun tahu, saya berpendapat seperti ini bukan karena saya telah melakukan yang terbaik. Dalam berbicara pun saya masih banyak kesalahan yang mungkin tidak bisa diterima orang lain. Tapi setidaknya, saya menghindari perkataan-perkataan yang saya benci, membayangkan bagaimana jika saya ada di posisi orang lain. Sebab, kepekaan tiap orang pasti berbeda. 
Dan masalah finansial hanya satu dari beberapa hal kecil lainnya yang menjadi perhatian besar saya.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com