Mia berkemeja putih dan celana kain hitam. Pilihan setelan yang begitu wajar namun tak lagi enak dipandang di tahun dua ribu enam belas yang modern ini. Mia tahu, sepatu haknya yang baru dibeli semalam dengan harga empat puluh ribuan tak akan membantunya lolos wawancara hari ini. Ia juga tahu, alis yang digambar sekenanya dan tak simetris kanan-kiri tak juga akan membantu meyakinkan interviewer bahwa dia adalah satu dibanding sekian yang layak lolos ke tahap berikutnya. Tapi, ada doa Ibu, pikirnya begitu.
Bukankah doa ibu adalah yang paling didengar Tuhan (meskipun Tuhan Maha Mendengar)?
Ibu siapa dulu?
Ibu yang paling susah di antara ibu peserta tes yang lain.
Kau yakin ibumu adalah yang tersusah?
Lihatlah, penampilanku. Ibuku tak punya apa-apa yang bisa dibekalkannya ke anak gadisnya ini selain satu-satunya doa agar aku berhasil hari ini.
Kau membandingkan dirimu dengan siapa? Kau bahkan belum masuk dan bertemu para pesaingmu.
Benar juga!
Pikirannya beradu, telah disiapkan skenario sebaik mungkin tentang hal-hal apa yang kemungkinan akan ditanyakan dan jawaban apa yang paling masuk akal dan ingin didengar. Lima puluh lima menit yang lalu, Mia pikir dirinya akan begitu siap menghadapi hari ini: panggilan tes pertamanya setelah berhasil menjadi satu-satunya anak Ibu yang bergelar Sarjana. Satu dari enam, satu-satunya yang paling beruntung dari lima kakak-kakaknya yang memilih untuk menambatkan hati mereka untuk bekerja-meskipun-pendapatan-pas-pasan dan yang-penting-kerja-halal selepas Sekolah Menengah Atas.
Lima puluh lima menit yang lalu, Mia pikir ini adalah harinya. Begitu bangganya ia mendapat kesempatan untuk mengikuti wawancara di salah satu perusahaan yang acak dipilihnya untuk dilempari satu dari lima puluh lamaran yang dibuatnya.
Mia kira, dia begitu siap.
Hingga ia turun dari angkutan umum dan mendapati sekalimat lewat di hatinya “Selama ini kau tinggal di mana?”
Dilihatnya angkuh bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Begitu kecil ia sampai kepalanya harus mendongak, seakan serangga yang siap ditelan oleh kejam ibukota. Rasanya tak pernah ia berkelana dari rumah sejauh ini. Hidupnya di pinggiran. Rumah-rumah padat penduduk dengan jumlah kamar tak sebanding dengan jumlah anggota keluarga. Dihimpit segala kekurangan ekonomi di sana-sini. Hidup dengan mendengar keluhan serbakekurangan setiap hari.
Lantas, timbul lagi sekalimat saat ia melangkahkan kaki jenjangnya di atas sepatu berhak tinggi yang dibeli murah semalam itu, “Aku ini siapa”.
Bak kehilangan jati diri, ciut nyali Mia. Berbekal doa ibu, nyatanya ia tetap melangkah ragu.
Bukankah doa ibu adalah yang paling didengar Tuhan (meskipun Tuhan Maha Mendengar)?
Ibu siapa dulu?
Ibuku, yang paling susah. Yang empat tahun lalu meninggalkan keluarga kami demi menikah kembali dengan seorang kaya raya agar salah satu anaknya bisa sekolah tinggi dan memperbaiki nasib keluarga.
Ini harinya. Berbekal doa Ibu yang masih membuatnya ragu, Mia toh—pada akhirnya tetap melangkah maju. Kepada Sang Perancang Nasib, ia berpasrah. Ia siap dilumat oleh ketidakberuntungan.
Atau, keberuntungan.
Atas doa Ibu yang belum pernah didengarnya lagi empat tahun belakangan ini.