Jika
dunia akan berakhir dalam dua puluh menit lagi, maka ada dua kebahagiaan
terakhir yang tersisa saat ini. Pertama, kau yang tertidur pulas sambil
menyandarkan kepalamu dengan ikhlas di bahu kananku dan belum juga
merenggangkan genggaman tanganmu kepada tanganku. Kedua, anak lelaki kita yang
tertidur pulas di pelukanku yang masih belum bisa sebaik pelukan ayah-ayah
hebat lainnya.
Dua
hal yang begitu sederhana ini, Lastri, adalah kebahagiaan terakhirku sebelum
dunia berakhir dalam sembilan belas menit lagi.
Bus
kota siang ini lumayan lengang, tak terlalu dipenuhi bau apak keringat
orang-orang. Itulah mengapa kau bisa tidur setenang ini. Kau tak suka suara
bising, bukan? Juga anak lelaki kita yang begitu khusyuk menamatkan tidur
siangnya. Kelopak matanya menutup sempurna, kadang bibirnya berdetak-detak
kecil seperti jantung. Lucu sekali.
Lastri,
kapan terakhir kali kita naik bus kota begini? Empat lebaran lalu, bukan? Bus
yang membawa kita ke tujuan yang sama dengan yang sedang membawa kita hari ini:
ke rumah orang tuamu. Waktu itu, Bayu, anak lelaki kita ini, belum juga
terbentuk di janinmu setelah enam tahun pernikahan kita. Tapi, lihat sekarang.
Juni nanti, ia genap tiga tahun. Langkah kakinya makin hari makin cepat. Belum lagi
tingkahnya yang membawa kebahagiaan secara cuma-cuma untuk kita berdua.
Kerah
bajuku mulai basah, bercucuran pula keringat di dadaku. Tapi itu tak menjadi
soal, Lastri. Yang terpenting saat ini, pelukanku yang sederhana tengah
menenangkan kalian berdua sebelum dunia berakhir.
Masih
enam belas menit lagi, Lastri. Aku akan mengingat dengan syahdu bagaimana
awalku mencintaimu dulu. Kau bukan gadis desa yang cantik, atau penjaga depot
yang lihai memasak. Tapi, aku jatuh cinta pada cantiknya kau saat mengenakan
terusan biru muda. Ya, begitu saja. Juga cara tertawamu yang seperti penuh
kebebasan, seperti udara. Dan lagi, rambutmu yang selalu rapi kau gelung ke
atas. Ah, aku kira, aku mencintai semuanya, tanpa terkecuali.
Tanpa
terkecuali.
Kecuali,
kau ingat, Lastri? Kau ingat, apa yang membawa kita membeli tiga tiket bus di
hari biasa seperti orang kesetanan? Kau ingat, apa yang membuat kita bertiga
akhirnya melakukan perjalanan empat jam ini demi mencapai rumah kedua orang
tuamu? Kau ingat?
Aku
mengingatnya, Lastri, dengan sangat baik melebihi kemampuanku mengingat hari
pernikahan kita.
Lastri,
aku tak pernah banyak berkicau tentang ragu akan setiamu, sebab kata ragu
sendiri nyaris tak pernah melintas di syaraf-syaraf otakku. Tetapi, bukankah tanpa
perlu berusaha, kau telah membuatku tak tidur dua malam untuk mempertanyakan
hal ini: apakah kau layak menjadi
istriku?
Empat
belas menit lagi, Lastri.
Anak
kita mulai banyak bergerak, kurasa ia mulai tak nyaman dengan detak jantungku
yang makin cepat. Kakinya menandang-nendangmu tanpa sengaja. Kau ikut terbangun
dengan wajah kusut. Bangunnya kalian berdua, menandakan kebahagiaanku akan
segera habis.
Kulihat
kau mulai merapikan dirimu, menata letak dudukmu, dan melepas genggaman tangan
kita. “Sini, Mas, Bayu biar aku yang gendong” ujarmu lirih sambil menarik Bayu
dari dekapanku.
“Lastri,
maaf seminggu ini hubungan kita menjadi
tak enak” kataku, memulai kecanggungan dengan obrolan pertama sejak
semalam.
“Salahku
juga, Mas. Salahku lebih besar daripada permintaan maafku” jawabnya sambil
menunduk dan mencium kening Bayu yang kembali tertidur.
“Aku
juga minta maaf belum bisa berbuat banyak untuk bikin kalian bahagia”
Bus
perlahan-lahan merapat ke tepi, ke sebuah halte yang hanya berjarak lima belas
meter dari rumah kedua orang tuamu.
***
“Maafkan
Lastri, Rif. Ndak bisa jadi istri
yang baik untuk kamu”, bisik ibumu ketika memelukku sebelum aku beranjak
pulang.
“Nggak
papa, Bu. Mungkin saya juga belum bisa jadi suami yang baik untuk Lastri,
sampai Lastri harus jatuh cinta dengan pria lain selain saya”
Ibumu
kembali terisak, air matanya seperti pisau yang menyayat. Penyesalan atas
ketidakmampuannya berbuat apa-apa. Sesal yang sama seperti yang aku rasakan,
tidak bisa berbuat apa-apa selain merelakan kepulanganmu ke rumah kedua orang
tuamu dan mengakhiri hubungan kita sebagai suami istri.
Kulihat
kau mengintip dari balik jendela sambil menggendong Bayu.
Duniaku
berakhir, Lastri. Sedangkan duniamu baru saja akan dimulai.
Tubuhku
berjalan menuju halte. Menuju rumah yang tak akan lagi terasa sama.
2 komentar:
keren. semangat berkarya:)
makasih ya Elfira :)
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)