Rumahku yang baru, terbuat
dari kayu bercat putih. Bukan anggun, hanya saja tampak begitu manis. Kau tahu?
Rumahku yang baru, tak
memiliki halaman di depannya. Maklum, saat ini rasanya tak realistis saja
membuang-buang lahan hanya untuk pekarangan sementara kami masih memerlukan
ruangan yang lebih untuk bergerak. Lagipula, kau tahu, bukan, kalau aku tak
suka menanam? Menunggu benih menjadi rindang itu hal yang membuang waktu.
Rumahku yang baru, baru
ditempati dua bulan. Tiap pagi, ada pedagang koran lewat berjalan kaki. Pak
Tukin namanya. Senyumnya ramah sekali. Baru aku tahu kalau dia mengalami
gangguan mental. Tapi tak mengapa, dua bulan berlalu dan senyumnya tak
mengkhawatirkan.
Rumahku yang baru, ada satu
ruangan khusus yang bercat biru muda. Biru muda di antara semua ruangan bercat
putih. Untuk apa, coba kau tebak. Untuk calon bayi yang akan lahir. Kata
dokter, laki-laki. Tak apa, kan laki-laki diarahkan untuk menyukai warna biru?
Aku yang mengecatnya sendiri, dengan sepenuh hati. Hasilnya tak terlalu buruk.
Rumahku yang baru, aku suka
sekali. Banyak suka cita di dalamnya. Meski masih asing dan tak luas, namun
bahagianya seperti ketika kau ada di sini. Bersama surat ini, aku kirimkan foto
rumahku yang baru. Semoga lekas kita bisa bertemu di sini.
Sore segera habis. Istriku
merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum lebar di depan rumah majikannya
yang baru. Angin mulai merambat masuk. Sepucuk surat itu kutinggalkan di atas
meja, dan bergegas menutup jendela-jendela dengan spanduk-spanduk bekas
merongsok.