Apa
yang bisa dibicarakan dalam waktu satu menit oleh dua teman lama yang telah
terlampau jauh di jarak maupun kehidupannya?
Menanyakan
kabarnya? Ah, klise. Waktu akan terbuang percuma. Berkata kagum atas nilai
kelulusan terbaik yang didapatnya? Bertanya “Kerja di mana sekarang?” Atau
hal-hal lain?
Merah
lampu lalu lintas terus menghitung mundur. Asap knalpot masih mengepul dari
kendaraan-kendaraan di depan kami. Dia masih sama. Melintasi padat lalu lintas
kota dengan motor matic-nya yang
dulu, helm kumbang, earphone
tertancap di kedua telinganya, dan pandangan lurus ke depan.
Kaki
kirinya menapak, sambil menunggu hijau menyala-nyala. Kaki kiri yang kini
sejajar dan memijak jalan yang sama dengan kaki kananku. Bersebelahan. Jika aku
pura-pura menyenggol kakinya dan meminta maaf untuk menarik ekor matanya agar
menoleh ke arahku, norak, tidak?
Dua
puluh empat detik lagi dan aku belum berbuat apa-apa. Tapi, berbicara pun
percuma. Ada sederet lagu yang sedang mengisi penuh telinganya. Ini hanya jalan
yang—mungkin—biasa dia lalui, tak ada yang istimewa. Tak ada yang perlu
diperhatikan, kecuali lirik dan nada-nada yang terus mengetuk pendengarannya.
Delapan.
Tujuh.
Enam.
Lima.
Empat.
Tiga.
Dua.
Satu.
Kendaraan
mulai bergerak maju satu per satu. Tak terkecuali dia, dan kehidupannya.
Apa
yang bisa dibicarakan dalam waktu enam puluh detik, oleh dua teman lama yang
telah terlampau jauh di jarak maupun kehidupannya, yang salah satu pernah
begitu lama mencintai satunya diam-diam?
Banyak,
jika aku berani memulainya dengan “Hai, apa kabar?”