Di
kereta. Gadis kecil melongokkan kepalanya menatap jendela lebih dekat, mencoba
mengukur jarak antara siang dengan malam melalui seberapa jauh perjalanan telah
membawanya. Derit-derit besi rel yang bergesek dengan roda-roda kereta sehingga
menciptakan panas, adalah bunyi yang disukainya melebihi alunan Nina Bobo orang
tua.
Ibu
tidur nyenyak. Bapak membaca koran sambil terkantuk-kantuk. Adzan Magrib
sepertinya masih tersisa dari beberapa Masjid yang bersahutan, lirih dan jauh,
dikumandangkan tak bersamaan. Ia tak tahu betul ke mana kereta akan pergi dan
membawa ketiganya berhenti. Bapak dan Ibu telah berkemas sejak malam lalu,
membawa dua tas besar yang dijinjing oleh keduanya. Menuju stasiun, ia
berlarian kecil menyamakan langkah orang tuanya yang enggan menggendong karena
tangan kanan sama-sama memikul beban barang bawaan. Ikatan rambutnya
terayun-ayun, kedua ujung jaket tipis yang resletingnya masih terbuka ikut
berlompatan seiring dengan lariannya.
Jalan-jalan,
hanya itu yang dipikirkannya. Apa masih
bisa disebut jalan-jalan kalau kita naik kereta api, bukan jalan kaki?
Pikiran itu kadang hinggap, kadang pergi dari benaknya. Tapi, yang penting
jalan-jalan, meski hanya duduk di kereta. Dari siang hingga hampir malam. Tak
kunjung sampai, tetapi tak kunjung lelah pula ia menatap garis-garis pohon yang
berlalu begitu saja. Tak bisa ia menentukan, siapa yang sedang berlari kencang:
kereta api, atau dunia di luar sana. Keduanya
seolah bergerak dan menciptakan bayang-bayang yang berlalunya sangat cepat.
Pluk!
Koran terjatuh dari tangan Bapak. Rupanya mata Bapak telah terpejam. Ibu tidur
nyenyak, disusul oleh Bapak. Sedangkan kantuk tak juga mau hinggap di kedua
kelopaknya. Ada sensasi getar dengan bunyi gemericik di dalam perutnya.
Sebungkus lemper yang dibeli Ibu dari penjaja keliling sebelum kereta bergerak
maju, belum cukup mengenyangkannya. Lapar yang tak terduga, sementara ia tak
melihat Ibu membawa sesuatu lain yang bisa dimakan sedari tadi.
Berdiam
di samping jendela sambil merasakan sensasi getaran kereta api merambati
kepalanya yang sedang bersandar, barangkali, gadis kecil mulai menyukai
sekaligus membenci perjalanan kali ini. Menahan lapar, menunggu kantuk datang.
Sebelum tiba.
Jauh,
sebelum tiba.