Aku
telah duduk dengan pakaian terbaikku: terusan biru selutut dengan aksen
renda-renda menggantung di sekitar leher dan dadaku. Rambutku yang memutih dan
semakin tipis kubiarkan tersisir ke belakang. Kukuku terpotong rapi
ujung-ujungnya, baru kubenarkan sendiri sore tadi. Meja makan dengan lilin dan
dua gelas anggur putih dan sebuket mawar merah. Tak pernah seromantis ini
sebelumnya. Hari istimewa seperti ini, perlulah kuperlakukan dengan istimewa.
“Kenapa
terlambat?” tanyanya singkat. Senyum tetap berada pada letaknya, di wajah itu.
Yang tampannya tak pernah tersangkalkan. Pertanyaan menghakimi dengan senyum
seperti itu, seperti api yang dihanguskan oleh air.
Hh,
aku menghela nafas singkat. “Banyak yang harus dikerjakan. Lebih banyak
daripada dulu. Lebih melelahkan,” jawabku jujur. Kepadanya, aku tak ada daya
untuk berbohong.
“Sudah
lebih cepat kehabisan tenaga? Hahahaha,” gelak tawanya menggema. Tampan sekali.
Masih selalu tampan yang aku kagumi. “Aku tahu. Keriputmu sudah bicara lebih
banyak.”
“Jangan
begitu. Kau yang terlewat awet muda. Berapa usiamu sekarang?”
“Aku?
Masih tiga dua”
“Seharusnya
kau sudah tujuh delapan, delapan tahun lebih tua daripada aku.”
Dia
memajukan tubuhnya dan menggenggam tanganku yang sedari tadi bertumpu di atas
meja. “Aku tidak terlalu suka kamu bicara tentang seharusnya.”
Kau tak terlalu suka aku bicara
tetang seharusnya kita masih bisa bersama-sama.
“Maaf.
Aku tahu. Bagaimana kalau kita bicara tentang kabar kita?”
“Ah,
klise. Kamu tahu aku selalu baik-baik saja. Bagaimana kalau kita bicara tentang
rencanamu untuk menikah lagi?”
“Itu
kau, yang merencanakan supaya aku menikah lagi. Sudah kubilang, aku tak mau”
“Jangan
begitu. Kau cantik, mustahil tetangga-tetanggamu tak mencuri perhatian darimu”
“Tetangga
yang mana? Tetanggaku masih beristri semua, tak mungkin curi pandang denganku”
“Hahahaha,
memang. Kau lupa? Di dunia ini tak ada laki-laki lain yang lebih gila daripada
aku, untuk bisa menyukaimu”
“Tetaplah
gila”
“Aku
masih gila, Sayang. Tenanglah. Kau juga jangan benar-benar punya pikiran untuk
menikah lagi. Aku tak akan datang lagi seperti ini”
“Aku
yang mengundangmu”
“Ah
iya. Kita masih punya berapa pertemuan lagi?”
Aku
menunduk lesu. “Aku sudah memesan enam, tapi entah. Belakangan ini aku mulai
sakit-sakitan. Pekerjaanku tak sebaik dulu”
“Tak
apa, Sayang. Lima tahun lagi pun aku tunggu. Aku masih akan sama seperti ini.
Tiga puluh dua tahun, yang mau menemanimu sampai seratus tahun”
“Jangan
bilang begitu. Ingatlah, kau seharusnya sudah setua aku”
Mulutnya
terbuka lagi, tawanya menggaung lagi. Jari-jarinya yang pucat tapi kokoh masih
menggenggam tanganku. Tak terlalu erat, tak pula terlalu longgar. Dia selalu
melakukan segala sesuatu dengan pas.
Malam
yang remang, malam yang tak meninggalkan rasa lapar di perut-perut kami. Sebab
sebenar-benarnya rasa lapar adalah yang bercongkol di hati kami. Rindu. Kami
menghabiskan sisa malam dengan tidur bersama dan tak banyak bercerita.
***
“Kita
belum pernah kehabisan stok seperti ini. Semakin banyak orang meninggal, Ras.
Semakin banyak kekasih-kekasih yang membeli tiket merah saga kepada kami untuk
bisa menemui gadis atau lelakinya lewat mimpi,” Arkula berbicara padaku seolah
dia adalah dewa kenyataan yang membangunkanku dari mimpi semalam. “Mereka masih
muda, dan pekerja keras. Pundi-pundi yang mereka dapatkan bisa lebih banyak
darimu. Kesempatan mereka untuk bisa mendapatkan tiket merah saga akan lebih besar,
kapanpun mereka mau.”
“Sisakan
dua untukku. Sembunyikan di tempat paling tersembunyi,” jawabku, menurunkan
nominal, setelah dua hari yang lalu kuminta Arkula untuk menyisakan enam tiket
merah saga untukku. Demi enam kali kesempatan bertemu suamiku di mimpi.
“Yaras,
berhentilah. Dari sekian banyak pelangganku, kaulah yang paling sering membeli
tiket ini untuk menemui Radiaga. Beri kesempatan untuk yang lain. Punyalah
waktu untuk bersenang-senang,” katanya lagi.
Seolah
ia tak tahu bahwa kesenangan utamaku adalah Diaga.
Semua
orang di kota ini harus bekerja dan mengumpulkan dua ribu koin untuk bisa
mendapatkan tiket merah saga dari Arkula, sahabatku. Dua ribu bukan jumlah yang
kecil. Dalam sehari, sekeras apapun seseorang bekerja, ia tak akan bisa
mendapatkan lebih dari lima koin. Dan tiket merah saga adalah tiket termahal di
kota ini, sebab ia mempertemukan manusia dengan roh-roh keluarga yang telah
mati.
Sedangkan
orang mati terus bertambah.
Semakin
banyak pula pesaing-pesaingku dalam mendapatkan tiket itu, secarik kertas
istimewa yang akan mengantarku menemui Diaga. Satu tiket untuk satu malam. Kau
lihat? Betapa saat ini mimpi pun tak ada yang gratis.
“Kau
pernah mencoba membeli tiket kuning madu? Hanya enam ratus koin. Lebih murah,
dan kau bisa bermimpi mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah kau kunjungi
selama ini,” kata Arkula lagi, benar-benar berusaha membujukku untuk berhenti.
“Atau tiket cokelat karang, dua ratus koin. Hanya dalam semalam bisa membuatmu
bermimpi libur bekerja sebulan. Kau akan bangun dan merasa jauh lebih muda.”
Riuh
kanan kiri robot-robot pekerja berlalu-lalang di jam istirahat makan siang. Aku
ingin ke belakang, aku ingin murung sebentar tanpa harus memutuskan untuk
berhenti menemui Diaga atau tidak. Lebih baik kuanggap Arkula tak pernah bicara
apa-apa.
“Aku tidak terlalu suka kamu bicara
tentang seharusnya”
“Kau tak terlalu suka aku bicara
tetang seharusnya kita masih bisa bersama-sama”