Udara
sedang bergerak kencang, menggoyangkan daun-daun pohon jambu sehingga
bergesekan satu sama lain, menimbulkan bunyi gemuruh seolah pepohonan hendak
runtuh. Tapi angin tak sampai hati masuk rumah kami, keberadaannya terhalang
oleh jendela-jendela kaca yang tak pernah dibiarkan terbuka oleh Bapak. Lantas,
rumah berjendela yang jendelanya tak pernah dibuka, untuk apa? Entah, tanyakan
saja padanya.
Atau,
jangan tanyakan. Bapak tak suka diberi serentetan pertanyaan. Ketidaksukaannya
akan ditunjukkan dengan decakan kecil atau desahan nafas dan jawaban singkat.
Bapak tak suka orang yang banyak bicara. Tak juga, orang yang terlalu diam dan
tak punya apa-apa untuk disampaikan. Rumit. Enam belas tahun hidup bersama
Bapak, intisari yang bisa kulakukan untuk menghadapi kerumitannya berkomunikasi
adalah ini: berbicara seperlunya.
Bapak
sedang gelisah sejak pukul sembilan tadi. Kakinya tak bisa diam, berjalan ke
sana, kemari, di sekitaran ruang tamu saja. Atau ketika sedang duduk, pun
kakinya bergoyang-goyang seperti hendak lepas dari sendi-sendinya dan memilih
untuk berjalan mondar-mandir sendiri—kalau bisa.
Kami
telah berpakaian rapi dari pagi. Bapak membangunkanku sambil mengemas
baju-bajuku dari lemari. Terlihat buru-buru. Kalau tak salah dengar, Bapak baru
menerima telepon dari seseorang ketika itu. Aku sendiri menurut saja ketika
Bapak memintaku bersiap diri dan berpakaian rapi. Karena kita akan pergi pagi
ini.
Jadi,
Bapak mungkin sedang gelisah menunggu mobil travel yang hendak menjemput kami,
simpulku.
Ck,
decakan singkat keluar dari mulut Bapak. “Hujan belum datang,” katanya.
Aku
melongok ke luar. Langit memang sedang mendung, dan angin bergerak dengan
tekanan yang pasti akan membuat siapapun terhuyung-huyung ketika berjalan di
luar—terutama yang berbadan kecil seperti aku. Tapi, hujan memang belum datang
dan aku tak mengerti kenapa Bapak menggelisahkan hujan. Bukankah hujan lebih
baik tak usah datang jika kita hendak bepergian?
“Bapak
duduklah, aku buatkan kopi”
Bapak
menatap ke arahku. Kesedihan menggelayut pada cekung hitam di sekitar kedua
matanya. Sudah berhari-hari Bapak tak tidur, menyelesaikan tulisan pendeknya
sambil meminum bercangkir-cangkir kopi hitam sambil ditemani batang-batang
rokok. Tak mandi, jarang pula makan. Bapak sering begitu, lembur menyelesaikan
tulisan-tulisan pendeknya. Berusaha sangat keras untuk menelurkan kisah-kisah
baru yang segar, agar media cetak yang telah mempercayakan amanah kepadanya
untuk menjadi penulis tetap sebulan ini tak buru-buru menghentikan rejekinya.
Lantas,
tulisan pendek macam apa yang memakan waktu pembuatan sepanjang itu dengan
menghabiskan begitu banyak durasi istirahat yang harusnya menjadi hak Bapak?
Banyak
yang tak kumengerti dari Bapak. Tentang langkah kakinya yang begitu pelan tak
menghasilkan suara, tentang tatapan matanya yang tak pernah lebih bahagia dari
kucing yang baru saja menemukan tulang ikan di tong sampah, tentang suaranya
yang tetiba bisa begitu menggelegar seperti halilintar, juga tentang
pelukan-pelukannya dalam jeda waktu diam yang begitu lama.
Secangkir
kopi panas untuk Bapak, yang sedang menunggu—entah hujan, atau mobil travel.
***
Pukul
sebelas. Mendung semakin pekat dan dua hal yang ditunggu Bapak tak kunjung
datang. Gelisahnya semakin menjadi tiap kali telepon berdering. Dari seorang
lelaki, samar-samar bisa kudengar suaranya. Tiap kali telepon diangkat, kali
itu pula Bapak mengelap peluh-peluh tipis yang muncul di dahinya. Biasa terjadi
saat Bapak sedang sangat gugup.
Dari siapa? Kenapa
Bapak khawatir?
Tak
ada percakapan yang bocor terdengar. Bapak berbicara dengan sangat lirih,
bisikannya nyaris tak bersuara.
“Ck, kenapa hujan belum datang?” katanya
sekali lagi. Ah, hendak kubantu menanyakannya pada Tuhan sebelum aku ingat
Tuhan tak akan langsung menyerukan jawaban.
***
Ada
yang pernah berkata padaku, bahwa dunia serupa taruhan. Akan ada hal-hal yang
perlu dikorbankan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Jika tidak begitu,
maka sudah pasti bukan makhluk bernama manusia yang mengisi riuh dunia.
Ada
yang berkata padaku—yaitu tulisan tangan dalam surat Bapak—sekelompok rentenir
menyitaku sebentar. Sebab untuk memperpanjang masa pembayaran hutang Bapak,
mereka hanya memberi dua pilihan: menyita rumah atau menyita anak perempuan
Bapak.
Jelas kupertahankan
rumah. Sebab rumah tempat ternyamanku menyelesaikan tulisan. Secepatnya
kutuntaskan cerita-cerita itu, agar segera kukirim pada redaksi dan menerima
gaji untuk menebusmu pelan-pelan. Bapak janji, tak akan lama.
Saat
itu, hujan belum datang. Jika hujan datang lebih awal, kabarnya, mereka tak
jadi membawaku hari itu.
Di
sudut perasingan, aku berharap mereka tak menjadikanku seorang jalang.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)