Kamis, 03 April 2014

Hujan Belum Datang


Udara sedang bergerak kencang, menggoyangkan daun-daun pohon jambu sehingga bergesekan satu sama lain, menimbulkan bunyi gemuruh seolah pepohonan hendak runtuh. Tapi angin tak sampai hati masuk rumah kami, keberadaannya terhalang oleh jendela-jendela kaca yang tak pernah dibiarkan terbuka oleh Bapak. Lantas, rumah berjendela yang jendelanya tak pernah dibuka, untuk apa? Entah, tanyakan saja padanya.
Atau, jangan tanyakan. Bapak tak suka diberi serentetan pertanyaan. Ketidaksukaannya akan ditunjukkan dengan decakan kecil atau desahan nafas dan jawaban singkat. Bapak tak suka orang yang banyak bicara. Tak juga, orang yang terlalu diam dan tak punya apa-apa untuk disampaikan. Rumit. Enam belas tahun hidup bersama Bapak, intisari yang bisa kulakukan untuk menghadapi kerumitannya berkomunikasi adalah ini: berbicara seperlunya.
Bapak sedang gelisah sejak pukul sembilan tadi. Kakinya tak bisa diam, berjalan ke sana, kemari, di sekitaran ruang tamu saja. Atau ketika sedang duduk, pun kakinya bergoyang-goyang seperti hendak lepas dari sendi-sendinya dan memilih untuk berjalan mondar-mandir sendiri—kalau bisa.
Kami telah berpakaian rapi dari pagi. Bapak membangunkanku sambil mengemas baju-bajuku dari lemari. Terlihat buru-buru. Kalau tak salah dengar, Bapak baru menerima telepon dari seseorang ketika itu. Aku sendiri menurut saja ketika Bapak memintaku bersiap diri dan berpakaian rapi. Karena kita akan pergi pagi ini.
Jadi, Bapak mungkin sedang gelisah menunggu mobil travel yang hendak menjemput kami, simpulku.
Ck, decakan singkat keluar dari mulut Bapak. “Hujan belum datang,” katanya.
Aku melongok ke luar. Langit memang sedang mendung, dan angin bergerak dengan tekanan yang pasti akan membuat siapapun terhuyung-huyung ketika berjalan di luar—terutama yang berbadan kecil seperti aku. Tapi, hujan memang belum datang dan aku tak mengerti kenapa Bapak menggelisahkan hujan. Bukankah hujan lebih baik tak usah datang jika kita hendak bepergian?
“Bapak duduklah, aku buatkan kopi”
Bapak menatap ke arahku. Kesedihan menggelayut pada cekung hitam di sekitar kedua matanya. Sudah berhari-hari Bapak tak tidur, menyelesaikan tulisan pendeknya sambil meminum bercangkir-cangkir kopi hitam sambil ditemani batang-batang rokok. Tak mandi, jarang pula makan. Bapak sering begitu, lembur menyelesaikan tulisan-tulisan pendeknya. Berusaha sangat keras untuk menelurkan kisah-kisah baru yang segar, agar media cetak yang telah mempercayakan amanah kepadanya untuk menjadi penulis tetap sebulan ini tak buru-buru menghentikan rejekinya.  
Lantas, tulisan pendek macam apa yang memakan waktu pembuatan sepanjang itu dengan menghabiskan begitu banyak durasi istirahat yang harusnya menjadi hak Bapak?
Banyak yang tak kumengerti dari Bapak. Tentang langkah kakinya yang begitu pelan tak menghasilkan suara, tentang tatapan matanya yang tak pernah lebih bahagia dari kucing yang baru saja menemukan tulang ikan di tong sampah, tentang suaranya yang tetiba bisa begitu menggelegar seperti halilintar, juga tentang pelukan-pelukannya dalam jeda waktu diam yang begitu lama.
Secangkir kopi panas untuk Bapak, yang sedang menunggu—entah hujan, atau mobil travel.
***
Pukul sebelas. Mendung semakin pekat dan dua hal yang ditunggu Bapak tak kunjung datang. Gelisahnya semakin menjadi tiap kali telepon berdering. Dari seorang lelaki, samar-samar bisa kudengar suaranya. Tiap kali telepon diangkat, kali itu pula Bapak mengelap peluh-peluh tipis yang muncul di dahinya. Biasa terjadi saat Bapak sedang sangat gugup.
Dari siapa? Kenapa Bapak khawatir?
Tak ada percakapan yang bocor terdengar. Bapak berbicara dengan sangat lirih, bisikannya nyaris tak bersuara.
Ck, kenapa hujan belum datang?” katanya sekali lagi. Ah, hendak kubantu menanyakannya pada Tuhan sebelum aku ingat Tuhan tak akan langsung menyerukan jawaban.
***
Ada yang pernah berkata padaku, bahwa dunia serupa taruhan. Akan ada hal-hal yang perlu dikorbankan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Jika tidak begitu, maka sudah pasti bukan makhluk bernama manusia yang mengisi riuh dunia.
Ada yang berkata padaku—yaitu tulisan tangan dalam surat Bapak—sekelompok rentenir menyitaku sebentar. Sebab untuk memperpanjang masa pembayaran hutang Bapak, mereka hanya memberi dua pilihan: menyita rumah atau menyita anak perempuan Bapak.
Jelas kupertahankan rumah. Sebab rumah tempat ternyamanku menyelesaikan tulisan. Secepatnya kutuntaskan cerita-cerita itu, agar segera kukirim pada redaksi dan menerima gaji untuk menebusmu pelan-pelan. Bapak janji, tak akan lama.
Saat itu, hujan belum datang. Jika hujan datang lebih awal, kabarnya, mereka tak jadi membawaku hari itu.
Di sudut perasingan, aku berharap mereka tak menjadikanku seorang jalang.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com