Selasa, 09 Desember 2014

Padma Raksasa

“Kita bisa saling menjaga agar tak binasa, bukan?”
Aku harap, begitu. Sepertinya sampai detik ini kita masih sama. Masih padma raksasa yang berjajar langka di balik pohon-pohon pinus yang tinggi menjulang. Masih bebas dari jerat keuntungan pribadi manusia. Dua di antara sekian banyak yang tersebar langka, kita adalah yang memiliki jarak pandang terdekat dengan satu sama lain. Di hutan-hutan yang tak kita ketahui berapa banyaknya di luar sana, mungkin hanya ada satu Rafflesia Arnoldii yang mekar sendiri. Berjuang tanpa teman bicara setiap hari.
 “Tak capai kau mendongak?”
Pertanyaan apa lagi. Aku bahkan tak bisa membedakan mana muka dan mana belakang muka. Kita memiliki bentuk yang sama, tapi interpretasi yang berbeda. Menurutku, bertahun-tahun kita menganga lebar. Sementara menurutnya, bertahun-tahun kita mendongak ke atas. Berusaha melihat apa yang para pucuk pinus lihat. Langit biru dan awan-awan yang berarak sejajar itu, bertahun-tahun pula, tak pernah menjadi lebih dekat dengan kita.
Nah, tak capai kau menganga?” aku bertanya balik.
Dia tertawa. Tanaman yang bentuknya persis sama denganku itu tertawa. Sedikit aneh sebab ia tak memiliki muka dan bibir yang bisa ditarik ulur untuk merautkan susah atau senang, tapi aku begitu tahu kalau di sedang tertawa. Sementara aku, tersenyum pun susah.
Keluhku selalu ada di mana-mana.
Tentang kenapa aku (dan dia) tak memiliki batang dan daun. Tentang kenapa kita tumbuh di tempat yang begitu jauh dan tak bisa serumpun ramai-ramai bersama. Tentang malam-malam yang hening bersama jangkrik dan serangga lain—yang besoknya telah binasa sebab kusantap nikmat. Ya, memang, kenyang pun aku mengeluh. Juga tentang ketidakmampuan kita bergoyang-goyang ketika angin berdesir ke arah kita. Diam stagnan, betapa sombong.
“Tapi kita cantik begini adanya”, pernah dia berkata seperti itu. Aku tak tahu harus merespon apa, aku belum pernah berkaca. Memiliki pun tidak.
Tetapi, benar juga. Setiap kali kulihat dia, aku menebak-nebak seperti itu pulalah penampakan tubuhku. Minoritas. Langka. Tapi mekar cantik di antara mereka yang terlihat sama. Diam anggun, tapi bisa lahap memakan serangga. Tegas bertahan di antara megah dan riuhnya tanaman-tanaman berdaun dan berbatang lainnya. Dicari dan diburu, diliput dan diagungkan sebab tak biasa. Sebab kami satu di antara sejuta. Kita cantik begini adanya. Hidup tak semudah bagaimana kelihatannya. Tapi bertahan seperti ini pun kita bisa.
Sesekali memikirkan ini, aku tersenyum. Sinar matahari jatuh menimpa kami melalui celah-celah ranting dan dedaunan para pohon pinus.

2 komentar:

soulful^^~ mengatakan...

Selalu terkesima sama tulisannya. Ngga pernah terbayang sebuah tanaman pun bs jadi ide cerita yg bagus gini ;)

Putripus mengatakan...

hehe, makasih ya

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com