“Kita
bisa saling menjaga agar tak binasa, bukan?”
Aku
harap, begitu. Sepertinya sampai detik ini kita masih sama. Masih padma raksasa
yang berjajar langka di balik pohon-pohon pinus yang tinggi menjulang. Masih
bebas dari jerat keuntungan pribadi manusia. Dua di antara sekian banyak yang
tersebar langka, kita adalah yang memiliki jarak pandang terdekat dengan satu
sama lain. Di hutan-hutan yang tak kita ketahui berapa banyaknya di luar sana,
mungkin hanya ada satu Rafflesia Arnoldii yang mekar sendiri. Berjuang tanpa
teman bicara setiap hari.
“Tak capai kau mendongak?”
Pertanyaan
apa lagi. Aku bahkan tak bisa membedakan mana muka dan mana belakang muka. Kita
memiliki bentuk yang sama, tapi interpretasi yang berbeda. Menurutku,
bertahun-tahun kita menganga lebar. Sementara menurutnya, bertahun-tahun kita
mendongak ke atas. Berusaha melihat apa yang para pucuk pinus lihat. Langit biru
dan awan-awan yang berarak sejajar itu, bertahun-tahun pula, tak pernah menjadi
lebih dekat dengan kita.
“Nah, tak capai kau menganga?” aku
bertanya balik.
Dia
tertawa. Tanaman yang bentuknya persis sama denganku itu tertawa. Sedikit aneh
sebab ia tak memiliki muka dan bibir yang bisa ditarik ulur untuk merautkan
susah atau senang, tapi aku begitu tahu kalau di sedang tertawa. Sementara aku,
tersenyum pun susah.
Keluhku
selalu ada di mana-mana.
Tentang
kenapa aku (dan dia) tak memiliki batang dan daun. Tentang kenapa kita tumbuh
di tempat yang begitu jauh dan tak bisa serumpun ramai-ramai bersama. Tentang
malam-malam yang hening bersama jangkrik dan serangga lain—yang besoknya telah
binasa sebab kusantap nikmat. Ya, memang, kenyang pun aku mengeluh. Juga
tentang ketidakmampuan kita bergoyang-goyang ketika angin berdesir ke arah
kita. Diam stagnan, betapa sombong.
“Tapi
kita cantik begini adanya”, pernah dia berkata seperti itu. Aku tak tahu harus
merespon apa, aku belum pernah berkaca. Memiliki pun tidak.
Tetapi,
benar juga. Setiap kali kulihat dia, aku menebak-nebak seperti itu pulalah
penampakan tubuhku. Minoritas. Langka. Tapi mekar cantik di antara mereka yang
terlihat sama. Diam anggun, tapi bisa lahap memakan serangga. Tegas bertahan di
antara megah dan riuhnya tanaman-tanaman berdaun dan berbatang lainnya. Dicari
dan diburu, diliput dan diagungkan sebab tak biasa. Sebab kami satu di antara
sejuta. Kita cantik begini adanya. Hidup tak semudah bagaimana kelihatannya.
Tapi bertahan seperti ini pun kita bisa.
Sesekali
memikirkan ini, aku tersenyum. Sinar matahari jatuh menimpa kami melalui
celah-celah ranting dan dedaunan para pohon pinus.
2 komentar:
Selalu terkesima sama tulisannya. Ngga pernah terbayang sebuah tanaman pun bs jadi ide cerita yg bagus gini ;)
hehe, makasih ya
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)