Aku rasa, sudah saatnya para
penggila sains mulai merevisi teori tentang rantai makanan. Atau mungkin,
pemecahan masalah ini sedikit berkaitan pula dengan eating
disorder yang lebih baik ditangani oleh
psikolog, seperti yang aku baca di buku Kak Palupi. Atau... pikirannya
berlari lebih keras lagi... mungkin jika para
peneliti ilmu alam dan kejiwaan tak berselera membuat gebrakan baru seperti
yang aku inginkan, masih ada paranormal yang mungkin lebih berkompeten. Seperti
yang disaksikan Lingga di televisi, manusia yang memakan pecahan kaca hanya
bagian dari atraksi, tak perlu berakhir di meja polisi.
Ada
yang membingungkan pikiran Lingga sejak tiga hari yang lalu. Sesuatu yang
jawabannya ia cari-cari melalui internet dan buku-buku di perpustakaan. Sudah
tiga hari ini, sebuah rasa penasaran yang begitu hebat melanda Lingga. Berdiam
diri di perpustakaan sepulang sekolah ternyata tak terlalu membantunya.
Dibandingkan terisi oleh buku-buku pelajaran atau ensiklopedia, perpustakaan
sekolahnya lebih banyak menyediakan buku-buku cerita yang kertas-kertasnya
sudah mulai menguning dengan tepi-tepinya yang keriting seperti pernah
ketumpahan air. Beralih pada internet, Lingga mencoba mencari jawaban atas
penasarannya.
Biji dimakan ayam.
Ayam dimakan ular.
Ular dimakan elang.
Berhenti
sampai di sana.
Alternatif lainnya:
Biji dimakan ayam.
Ayam dimakan manusia.
Berhenti
lebih cepat dari yang diperkirakannya.
Tapi manusia juga bisa memakan biji
dan tanaman, tak melulu ayam dan ikan-ikanan. Lantas, kenapa papa repot-repot memakan sesuatu
yang tak pernah menjadi santapan kami sehari-hari?Pertanyaan-pertanyaan itu
masih terus menggantung di kepala Lingga sampai
bocah itu harus merelakan kantuknya tertunda hanya untuk melamunkan
berbagai kemungkinan jawaban setiap malam.
Mama
dan kakaknya tiga hari ini tak berada di rumah. Pulangnya mereka hanya pada
waktu-waktu tertentu: sore hari untuk mandi, lalu pergi lagi; dan ketika malam
sudah larut sekali, untuk tidur sebentar dan pagi buta kembali pergi. Begitu
seterusnya. Padahal, Lingga ingin sekali memberhentikan Palupi, kakaknya, dan
bertanya “Maksud Kakak kemarin apa?”
Palupi,
memeluk Lingga dengan erat di dalam kamar tiga hari yang lalu. Pelukan yang
membuat kedua lengan Palupi, seolah disengaja menutup telinga Lingga sebagai
akses pendengaran.
Di
luar gaduh. Beberapa orang berjaket kulit hitam memasuki rumah Lingga ketika ia
dan keluarganya sedang menikmati makan malam bikinan Mama. Nasi uduk, ayam
goreng, lodeh sayur, dan beberapa kenikmatan lainnya. Dua lelaki berpakaian
polisi berjaga di pintu. Mereka menodong senjata dan meneriakkan kata-kata. Gaduh
dengan sendirinya meski tak ada baku tembak. Tak ada perampokan, tak ada apapun
yang mencurigakan bagi Lingga. Tapi, gerakan mereka begitu gesit, menarik Papa
dan memegang tangannya erat-erat. Lingga masih bisa menyaksikannya dengan
jelas, ditambah teriakan histeris Mama yang air matanya sudah meluncur deras.
Lingga masih bisa menyaksikannya dengan jelas, sebelum Palupi buru-buru
menariknya masuk ke kamar. Lingga tahu, ada yang salah dengan papanya, meski ia
tak tahu pasti penyebabnya.
“Papa
kenapa?”
“Nggak
papa Ling, Papa cuma habis makan uang”
Setelah
itu, tak ada hal lain yang bisa didengar Lingga selain isak tangis kakaknya.
3 komentar:
keren idenya, kak! simpel. suka! ^^
Waaah ada namaku disitu hihi, "Palupi" :p
Btw, keren ini ceritanya. Aku selalu takjub sama semua cerita fiksi yang ada di blog ini. Ditunggu kunjungan baliknya ya :D
Terima kasih ya :)
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)