Sabtu, 07 Februari 2015

Perempuan Pertama di Lagu Lama



“Cuacanya akhir-akhir ini panas bukan main, ya,” katanya, membuka pembicaraan dengan berbasa-basi kecil mengenai matahari yang teriknya semena-mena. Kulihat kerah seragamnya basah oleh keringat. Memang benar, ia baru saja pulang kerja. Lantas menelepon untuk mampir sejenak. Bukan rencana yang tiba-tiba, perihal kedatangannya memang sudah bisa kutebak. Seperti setiap Jumat sore yang sudah-sudah.
“Ya, belum sah dikatakan Jakarta namanya kalau tak panas,” jawabku santai.
Dayat tahu benar, tak pernah ada larangan merokok di rumahku. Bahkan, menurutnya, ia bisa membaca sebuah anjuran untuk merokok yang samar-samar tertulis di kepalaku sebelum tumpah menjadi kalimat. Semasa sekolah dulu—dan sampai sekarang—kami setia menjadi perokok aktif dan memegang teguh pendirian untuk tidak berhenti sebelum membuktikan bahwa racunnya akan menggerogoti kesehatan kami. Maka, belum ada sepuluh menit ia meletakkan pantatnya di kursi rumahku, sepuntung rokok baru segera disulutnya.
“Aku dijodohkan lagi.”
Dayat kembali menjadi radio usang, yang memutarkan lagu lama berkali-kali tanpa mengenal bosan. Dimulainya sebuah cerita baru yang serupa dengan cerita yang lalu-lalu. Tentang seorang gadis Aceh, anak kerabat pamannya yang juga pernah bertetangga dengan Dayat ketika lima bulan mengontrak di Sukabumi tahun lalu. Gadis cantik yang pandai memasak meski usianya baru dua puluh, dan gemar sekali mengirimi Dayat serantang makan malam dua hari sekali—yang menjadi satu-satunya alasan mengapa Dayat sedikit bisa berhemat. Didengarnya kabar dari pamannya yang mendengar kabar dari kerabatnya itu, bahwa Si Gadis Aceh minta dijodohkan dengan Dayat karena satu alasan sederhana: ia bisa melihat segala kebaikan Dayat hanya lewat senyumnya.
“Jangan-jangan dia paranormal,” begitu komentar Dayat asal.
Satu lagi, janda beranak dua yang cantiknya bukan main, teman kerja Dayat sekarang. Suaminya macam emas, dicuri orang—Wanita Idaman Lain—katanya. Janda itu, memiliki jenis tubuh dan wajah yang konon selalu dapat menarik perhatian para pria di tempat kerjanya. Bahkan, baru mendengar empat-lima langkah sepatunya saja, jantung pria-pria itu sudah ikut berdetak-detak seperti jarum jam yang hendak lari cepat-cepat. Maka Dayat, adalah satu pria beruntung yang selalu menjadi sasaran perhatian Si Janda Cantik. Dibawakan makan siang dari rumah, dilempari senyum dengan maksud-maksud rahasia yang menggoda, ditawari tumpangan bersama mobil mewahnya yang tak pernah berani disentuh debu, dan lain-lain yang menyenangkan.
“Tapi, anaknya dua. Ck, melihat kerepotanmu saja aku sudah kenyang.”
Alasan-alasan itu, sungguh sebenarnya bukan menjadi masalah bagi Dayat. Sudah kutebak, pembicaraan ini tak akan berujung ke mana-mana kecuali sebuah keputusan yang bermuara pada kata ‘tidak’. Sebuah penolakan, selalu begitu.
“Jelas-jelas aku tak suka dijodoh-jodohkan. Biar aku tak menikahpun tak masalah.”
Benar adanya. Dayat tak pernah mengeluhkan statusnya sebagai bujang lapuk kepadaku, atau kepada orang-orang lain. Ke mana-mana selalu sendiri meski di belakangnya tengah berbaris belasan perempuan yang mengantri untuk mendapatkan balasan cinta dari Dayat yang kaya dan tampan, juga yang kebaikannya tak terhitung ini. Aku pun, pernah berpikir, jika aku seorang perempuan pastinya sosok lelaki seperti Dayat lah yang hendak aku nikahi. Sialnya, aku lelaki normal.
Asap rokok Dayat mengepul bagai awan-awan di langit. Aku tak selalu menghalalkan orang merokok di berandaku. Hanya ketika kedua anakku sedang tidak ada di rumah, karena bagaimanapun aku ingin menjadi Ayah yang tidak mengajarkan keburukan untuk anaknya. Untung kedua anakku sedang mengaji di rumah Abah Husin, tetanggaku.
“Bagaimana caranya lari dari perempuan-perempuan itu?”
“Tenang, mereka akan lelah sendiri mengejarmu, Dayat. Lalu akan digantikan perempuan lain yang menjadi tokoh dalam ceritamu Jumat depan.”
Dayat meringis, seolah menyepakati kalimatku barusan.
 “Sebenarnya, dulu sekali sebelum kita bertemu lagi di Jakarta, aku pernah terlalu siap menikah. Punya anak yang lucu-lucu, bermain denganku setelah aku pulang kerja—,” begitu saja, kalimatnya menggantung. Pandangannya kosong menatap lampu antic di langit-langit berandaku. “Tapi tak penting lagi,” lanjutnya, seolah baru ada yang menimpuk kesadarannya dengan kerikil kecil.
Istriku keluar dari dalam, membawa senampan berisi dua gelas kopi hitam yang asapnya masih samar-samar berjingkat ke atas. Seperti telah hafal tamu siapa yang datang Jumat sore begini, ia tak perlu lagi dikomando untuk membuatkan minuman.
Perlahan, dia meletakkan segelas di depanku, dan segelas lagi di depan Dayat. Entah memang ia meletakkannya selambat mungkin, atau hanya perasaanku saja. Sambil menaruhnya—pelan-pelan—mata istriku dan mata Dayat bertumbukan. Tak lama, sangat singkat, sesingkat ranting kering yang jatuh bebas dari pohon.
Hanya saja, dari sekian banyak sore yang dihabiskan Dayat untuk membicarakan tentang ikan-ikan yang berusaha menyambar-nyambar kailnya, dari kesiapan istriku yang semakin terlatih untuk membuatkan kopi hitam dan meletakkannya dengan gerakan lambat, dari tatapan mata mereka berdua yang sangat singkat—sudah kutebak—ada sebuah kisah cinta yang pernah tak sempat terselesaikan.
Bayang-bayang bulan terlihat menggantung pucat pasi di kontrasnya langit sore.
***



** Pertama kali membaca puisi “Sudah Kutebak” karya Sapardi Djoko Damono, sebuah situasi langsung tergambar di kepala saya. Tentang dua orang lelaki yang berbincang-bincang. Satu sebagai pendengar dan satu sebagai pencerita.
Sederhana saja, dari hasil interpretasi yang saya tangkap, berusaha saya kisahkan tentang seorang lelaki bernama Dayat—Si Pengail dalam puisi Sapardi—yang terus dikejar oleh perempuan-perempuan yang dalam puisi tersebut diungkapkan sebagai sepasang ikan yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi sedikit. Mendapatkan keberuntungan seperti itu, Dayat justru berupaya melepaskan semuanya, sebab ia mengharapkan kedatangan sesuatu yang lebih ditunggu sehingga ia setia pada kesendiriannya.
Kata “sudah kutebak” sendiri sengaja saya gunakan pada beberapa bagian untuk mempertegas  bahwa lelaki tersebut melakukan ritme yang sama dalam hal berkunjung ke rumah kawannya dan mengungkapkan isi pembicaraan yang serupa pada hari-hari sebelumnya sehingga Si Tuan Rumah tanpa berusaha keras telah mengetahui segala arah pembicaraan dan keputusan apa yang akan diambil Dayat pada akhir pengisahaannya.
Untuk akhir cerita, saya membubuhkan secara implisit tentang alasan utama mengapa Dayat betah dalam kesendiriannya. Dayat, pada setiap Jumat sore, akan datang dengan alasan yang tak lain adalah untuk melihat lebih dekat kehidupan perempuan pertama yang masih dinantinya.
 

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com