“Cuacanya
akhir-akhir ini panas bukan main, ya,” katanya, membuka pembicaraan dengan berbasa-basi
kecil mengenai matahari yang teriknya semena-mena. Kulihat kerah seragamnya
basah oleh keringat. Memang benar, ia baru saja pulang kerja. Lantas menelepon
untuk mampir sejenak. Bukan rencana yang tiba-tiba, perihal kedatangannya
memang sudah bisa kutebak. Seperti setiap Jumat sore yang sudah-sudah.
“Ya,
belum sah dikatakan Jakarta namanya kalau tak panas,” jawabku santai.
Dayat
tahu benar, tak pernah ada larangan merokok di rumahku. Bahkan, menurutnya, ia
bisa membaca sebuah anjuran untuk merokok yang samar-samar tertulis di kepalaku
sebelum tumpah menjadi kalimat. Semasa sekolah dulu—dan sampai sekarang—kami
setia menjadi perokok aktif dan memegang teguh pendirian untuk tidak berhenti
sebelum membuktikan bahwa racunnya akan menggerogoti kesehatan kami. Maka,
belum ada sepuluh menit ia meletakkan pantatnya di kursi rumahku, sepuntung
rokok baru segera disulutnya.
“Aku
dijodohkan lagi.”
Dayat
kembali menjadi radio usang, yang memutarkan lagu lama berkali-kali tanpa
mengenal bosan. Dimulainya sebuah cerita baru yang serupa dengan cerita yang
lalu-lalu. Tentang seorang gadis Aceh, anak kerabat pamannya yang juga pernah
bertetangga dengan Dayat ketika lima bulan mengontrak di Sukabumi tahun lalu.
Gadis cantik yang pandai memasak meski usianya baru dua puluh, dan gemar sekali
mengirimi Dayat serantang makan malam dua hari sekali—yang menjadi satu-satunya
alasan mengapa Dayat sedikit bisa berhemat. Didengarnya kabar dari pamannya
yang mendengar kabar dari kerabatnya itu, bahwa Si Gadis Aceh minta dijodohkan
dengan Dayat karena satu alasan sederhana: ia bisa melihat segala kebaikan
Dayat hanya lewat senyumnya.
“Jangan-jangan
dia paranormal,” begitu komentar Dayat asal.
Satu
lagi, janda beranak dua yang cantiknya bukan main, teman kerja Dayat sekarang.
Suaminya macam emas, dicuri orang—Wanita Idaman Lain—katanya. Janda itu,
memiliki jenis tubuh dan wajah yang konon selalu dapat menarik perhatian para
pria di tempat kerjanya. Bahkan, baru mendengar empat-lima langkah sepatunya
saja, jantung pria-pria itu sudah ikut berdetak-detak seperti jarum jam yang
hendak lari cepat-cepat. Maka Dayat, adalah satu pria beruntung yang selalu
menjadi sasaran perhatian Si Janda Cantik. Dibawakan makan siang dari rumah,
dilempari senyum dengan maksud-maksud rahasia yang menggoda, ditawari tumpangan
bersama mobil mewahnya yang tak pernah berani disentuh debu, dan lain-lain yang
menyenangkan.
“Tapi,
anaknya dua. Ck, melihat kerepotanmu
saja aku sudah kenyang.”
Alasan-alasan
itu, sungguh sebenarnya bukan menjadi masalah bagi Dayat. Sudah kutebak,
pembicaraan ini tak akan berujung ke mana-mana kecuali sebuah keputusan yang
bermuara pada kata ‘tidak’. Sebuah penolakan, selalu begitu.
“Jelas-jelas
aku tak suka dijodoh-jodohkan. Biar aku tak menikahpun tak masalah.”
Benar
adanya. Dayat tak pernah mengeluhkan statusnya sebagai bujang lapuk kepadaku,
atau kepada orang-orang lain. Ke mana-mana selalu sendiri meski di belakangnya
tengah berbaris belasan perempuan yang mengantri untuk mendapatkan balasan
cinta dari Dayat yang kaya dan tampan, juga yang kebaikannya tak terhitung ini.
Aku pun, pernah berpikir, jika aku seorang perempuan pastinya sosok lelaki
seperti Dayat lah yang hendak aku nikahi. Sialnya, aku lelaki normal.
Asap
rokok Dayat mengepul bagai awan-awan di langit. Aku tak selalu menghalalkan
orang merokok di berandaku. Hanya ketika kedua anakku sedang tidak ada di
rumah, karena bagaimanapun aku ingin menjadi Ayah yang tidak mengajarkan
keburukan untuk anaknya. Untung kedua anakku sedang mengaji di rumah Abah
Husin, tetanggaku.
“Bagaimana
caranya lari dari perempuan-perempuan itu?”
“Tenang,
mereka akan lelah sendiri mengejarmu, Dayat. Lalu akan digantikan perempuan
lain yang menjadi tokoh dalam ceritamu Jumat depan.”
Dayat
meringis, seolah menyepakati kalimatku barusan.
“Sebenarnya, dulu sekali sebelum kita bertemu
lagi di Jakarta, aku pernah terlalu siap menikah. Punya anak yang lucu-lucu,
bermain denganku setelah aku pulang kerja—,” begitu saja, kalimatnya
menggantung. Pandangannya kosong menatap lampu antic di langit-langit
berandaku. “Tapi tak penting lagi,” lanjutnya, seolah baru ada yang menimpuk
kesadarannya dengan kerikil kecil.
Istriku
keluar dari dalam, membawa senampan berisi dua gelas kopi hitam yang asapnya
masih samar-samar berjingkat ke atas. Seperti telah hafal tamu siapa yang
datang Jumat sore begini, ia tak perlu lagi dikomando untuk membuatkan minuman.
Perlahan,
dia meletakkan segelas di depanku, dan segelas lagi di depan Dayat. Entah
memang ia meletakkannya selambat mungkin, atau hanya perasaanku saja. Sambil
menaruhnya—pelan-pelan—mata istriku dan mata Dayat bertumbukan. Tak lama,
sangat singkat, sesingkat ranting kering yang jatuh bebas dari pohon.
Hanya
saja, dari sekian banyak sore yang dihabiskan Dayat untuk membicarakan tentang
ikan-ikan yang berusaha menyambar-nyambar kailnya, dari kesiapan istriku yang
semakin terlatih untuk membuatkan kopi hitam dan meletakkannya dengan gerakan
lambat, dari tatapan mata mereka berdua yang sangat singkat—sudah kutebak—ada
sebuah kisah cinta yang pernah tak sempat terselesaikan.
Bayang-bayang
bulan terlihat menggantung pucat pasi di kontrasnya langit sore.
***
** Pertama
kali membaca puisi “Sudah Kutebak” karya Sapardi Djoko Damono,
sebuah situasi langsung tergambar di kepala saya. Tentang dua orang lelaki yang
berbincang-bincang. Satu sebagai pendengar dan satu sebagai pencerita.
Sederhana
saja, dari hasil interpretasi yang saya tangkap, berusaha saya kisahkan tentang
seorang lelaki bernama Dayat—Si Pengail dalam
puisi Sapardi—yang terus dikejar oleh perempuan-perempuan yang dalam puisi
tersebut diungkapkan sebagai sepasang
ikan yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi sedikit. Mendapatkan
keberuntungan seperti itu, Dayat justru berupaya melepaskan semuanya, sebab ia
mengharapkan kedatangan sesuatu yang lebih ditunggu sehingga ia setia pada
kesendiriannya.
Kata
“sudah kutebak” sendiri sengaja saya gunakan pada beberapa bagian untuk
mempertegas bahwa lelaki tersebut
melakukan ritme yang sama dalam hal berkunjung ke rumah kawannya dan
mengungkapkan isi pembicaraan yang serupa pada hari-hari sebelumnya sehingga Si
Tuan Rumah tanpa berusaha keras telah mengetahui segala arah pembicaraan dan
keputusan apa yang akan diambil Dayat pada akhir pengisahaannya.
Untuk
akhir cerita, saya membubuhkan secara implisit tentang alasan utama mengapa
Dayat betah dalam kesendiriannya. Dayat, pada setiap Jumat sore, akan datang
dengan alasan yang tak lain adalah untuk melihat lebih dekat kehidupan
perempuan pertama yang masih dinantinya.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)