Halo
Pa, belakangan ini saya ingat satu kejadian yang membuat saya cukup sedih
karena tak bisa mengulangnya lagi denganmu.
23
November beberapa tahun lalu, kalau tidak salah waktu saya masih duduk di
bangku SMP. Saya ulang tahun ke sekian belas tahun, dan hari itu berlalu biasa
saja. Tapi, pukul delapan malam kita berdua duduk bersebelahan menonton TV.
Papa setia menikmati lagu-lagu tembang kenangan di TVRI, dan saya ikut tenang
menikmati.
Tiba-tiba,
Papa ambil telepon dan meletakkannya tepat di depan Papa. Menekan beberapa
nomor, beberapa kali gagal. Sampai akhirnya saya tahu bahwa Papa sedang
berusaha menghubungi acara televisi tersebut yang sistemnya semacam radio:
membuka kesempatan bagi penelepon di rumah untuk bertelepon interaktif, berkirim
salam, atau boleh juga memesan lagu untuk dibawakan oleh band.
Beberapa
kali gagal, akhirnya tersambung juga. Saya ikut deg-degan. Senang bercampur
sedikit malu, Papa saya masuk televisi meski hanya suaranya saja. Tersambung!
Iya, itu dia suara Papa saya masuk dan disapa oleh pembawa acaranya. Tercantum
nama Papa juga di bagian bawah layar televisi. Senang bukan main.
Papa
yang notabene cukup antusias dan percaya diri, segera saja mengirim salam-salam
untuk kerabat yang jauh di sana. Menyapa dari rumah, semoga target penerima
salam sedang ikut menonton.
Lalu,
di situlah “Mau kirim salam juga buat Putri, anak saya, lagi ulang tahun ini
dia. Selamat ulang tahun, semoga makin pintar, makin.......” kejutan! “Sama mau
request lagu ulang tahun untuk anak saya, ini dia juga lagi nonton di sebelah
saya”
Dan
seketika, setelah telepon ditutup, semua tamu yang hadir live di acara tersebut
menyanyikan “Happy Birthday” diiringi alunan musik dari band dan tepukan tangan
para manusia yang hadir. Beberapa menit itu, adalah kenangan yang mengganggu
saya akhir-akhir ini, Pa. Mengganggu karena menimbulkan dorongan yang hebat
untuk bisa mengulangi beberapa menit tersebut, tapi tak punya daya sebab saya
tak lagi punya kamu, Pa.
Senang
bukan main. Papa tak perlu memberi kejutan yang mengeluarkan biaya. Papa tak
perlu memberi ucapan dan cium pipi secara langsung (meskipun hal itu selalu
dilakukan). Papa tak perlu susah payah mengadakan pesta dan menyuruh saya
mengundang beberapa orang teman.
Dengan
hanya duduk di sebelah saya, Pa—Papa ingat?—Papa bisa membuat sekian banyak
orang dari jarak yang sekian jauhnya dari saya, turut melakukan perayaan
singkat atas hari istimewa saya. Dengan hanya duduk di sebelah saya, sebenarnya
kita tak sedang melakukan perayaan apa-apa kecuali kebersamaan kita yang selalu
jadi hal favorit saya sepanjang hidup, sejauh ini.
Karena
ketika bersamamu, Pa, saya bisa menanam rasa senang yang besarnya luar biasa. Tapi
sungguh, tak ada kenangan yang tak menyesakkan jika sekali lagi saya sadar: kenangan-kenangan
baik itu saya panen ketika sudah tidak bisa lagi bersama Papa. Itulah kenapa,
sebahagianya hidup saya sekarang, rasanya adalah bahagia yang cacat sebab tak
bisa saya bagi denganmu, Pa.