Mereka
begitu riuh, berderet membentuk baris-baris rapi di halamanku. Ada yang
sendiri, ada yang berdua, ehm, berpacaran kubilang. Yang sendiri berdiri di
baris terdepan, yang berpacaran bergandeng mesra di barisan berikutnya.
Mereka
mengantre tiap hari di sana. Jangan tanyakan mengantre untuk apa. Terlalu
kompleks jika diceritakan. Hanya saja, mereka menunggu gilirannya tiba.
Masing-masing mendapat jatah dua puluh empat jam untuk menemani harimu, untuk
menentukan segala pertanyaan “kapan”.
“Kapan
terakhir kali kamu check-up?”
“Kapan
peristiwa bom Hiroshima-Nagasaki terjadi?”
“Kapan
kamu putus dengan pacarmu?”
“Kapan
UTS-mu berakhir?”
Dan
segala “kapan” lainnya. Mereka penentu, tapi tak perlu kau gantungkan hidup
pada mereka. Mereka hanya atribut di
harimu. Tapi, aku lebih suka menyebut mereka pelengkap. Kulihat setianya mereka
berdiri menahun di halamanku. Mereka mendahului keusanganku. Dua puluh empat
jam yang kurasa begitu lama, tak ubahnya dengan cepat mengasingkan mereka ke masa lalu.
Bicara
apa aku ini. Toh, aku juga masih tergantung
di tembok-tembokmu bersama sejuta memori dalam pigura yang terpajang rapi di
sekitarku. Tergantung setahun. Mana yang lebih capek? Aku, atau hubunganmu yang
masih tak jelas dengan calonmu? Aku, Si Kalender.
Tapi
aku tak pernah komplain. Kunikmati proses menua bersamamu.
Belum
sadar, ya? Bersyukurlah. Ketika tanggal 1 berakhir, masih kusisakan dua puluh
sembilan lainnya untuk kau lewati. Belum lagi bulan-bulan di halaman-halamanku
berikutnya. Gratis.
Ah,
tidak juga. Tergantung negosiasiku dengan Tuhan. Tergantung jatah usiamu. Tapi
setidaknya, ada aku. Pengingatmu untuk tak terus terlena dengan hari yang
sia-sia. Banyak yang harus dikejar.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)