1
Aku
rasa, namanya bukan api.
Aku
terus-menerus menghabiskan waktuku untuk mencari padanan kata yang pas. Yang
tepat. Untuk sebuah makhluk oranye menyala yang melahap habis rumahku tujuh minggu
silam. Dia terlihat begitu marah dan membabi buta menelan segala yang ada. Perabotan-perabotan
hasil rombengan Bapak yang tak laku dijual lagi karena memang tak layak pakai pun
ditelannya habis-habis. Hanya menyisakan abu hitam dan rangka-rangka yang tak
jelas lagi bagaimana wujudnya.
Jadi,
ya, nama ‘api’ terlalu mungil untuknya. Tak gahar. Sedangkan—kau tahu?—apa yang
mampu dilakukannya dalam sekejap tidurku? Tak hanya menghabiskan rumahku.
Bapakku pun amblas ditelan lidah-lidah panasnya yang tak pilih-pilih mangsa. Beruntung,
Abah Husin, tetanggaku, berhasil menyelamatkanku dan adikku yang menurut
orang-orang kala itu tengah tak sadarkan diri karena terlalu banyak menghirup
asap kebarakan ketika tidur.
2
Nyala
lampu templok redup menghangatkan kami yang sedang berdesak di atas kasur lipat
tipis, melantunkan doa-doa menjelang tidur dalam hati. Listrik belum memasuki
daerah tempat tinggalku yang memang lebih pelosok dari rumah orang tuanya dulu.
Kalaupun listrik sudah menjalar hingga ke sini, aku tak yakin mampu membayar
tagihannya, belum lagi harus menghidupi dua bocah ini.
“Kek,
Ibu ke mana?” tanyanya suatu malam, ketika hendak tidur. Rasa kantuk telah
menggantung di pelupuk matanya, tapi, aku tahu, ada yang lebih meresahkan
pikirannya pada malam yang sunyi seperti ini. Membuatnya gelisah dan susah
tidur, sejak berminggu-minggu yang lalu.
“Memangnya
kenapa?” aku balik bertanya singkat, membentenginya agar tak bertanya lebih
banyak lagi.
“Aku
belum pernah ketemu ibu lagi sejak
bapak meninggal”
“Nanti
juga kamu ketemu sama ibumu, mungkin sedang ada urusan”
“Kapan,
Kek?”
“Ah,
sudah, tidur sana”
Aku
lantas membelakanginya dengan punggung rentaku yang dingin. Usianya masih sebelas,
terlalu dini untuk dikatakan dewasa. Terlalu minim hatinya untuk disuruh
melapangkan. Kenyataan yang memburunya terlalu pahit, kurasa.
Husin,
tetangganya yang belum pernah kukenal sebelumnya, membawa Angga dan adiknya
kemari sore-sore sekitar dua bulan yang lalu. Tergesa ia datang menghampiriku.
Jelas ada yang tak beres, batinku.
Aku
sendiri tak terlalu dekat dengan Priyanto dan keluarganya. Yanto hanya anak
angkat yang kubesarkan dengan keadaan yang jauh dari kata layak. Memiliki
keturunan adalah hal yang mustahil bagi istriku yang bermasalah dengan
kandungannya. Maka, mengangkat Yanto—anak dari sepupu jauhku—sebagai anak
adalah pilihan terakhir untuk mengobati kesepian kami atas ketidakhadiran buah
hati.
Aku
sendiri tak memiliki jalinan yang dekat dengan Yanto. Istrikulah, yang memegang
andil besar dalam perkembangannya. Hingga selepas istriku meninggal karena kanker
rahim menahun yang tak terobati, Yanto yang belum genap dua puluh tahun memutuskan
untuk merantau ke kota besar, mencari pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik
untuk hidupnya kelak. Meninggalkan Si Tua pesakitan yang tak bisa dijadikan
tempatnya bergantung lagi ini.
Sejak
itulah, aku tak mengetahui sama sekali bagaimana keadaan Yanto. Apa
pekerjaannya, apakah dia telah menikah, apakah dia bahagia. Hingga sore itu,
Husin, yang mengaku sebagai tetangga Yanto, membawa seorang lelaki berusia sebelas
tahun bernama Angga, dan si kecil Ana yang baru berusia delapan tahun. Kali
pertama aku mengetahui bahwa aku telah menjadi seorang kakek.
Juga,
kali pertama aku mendengar ringkasan kehidupan Yanto yang kini telah bersemayam
di dalam pusaranya.
3
Aku
mengenal Priyanto tak lebih dari seorang tetangga di salah satu kawasan Tempat
Penampungan Sampah di Surabaya. Tak banyak yang mengenalnya sebagai sosok yang
baik. Hampir seluruh tetangga menerjemahkan sosok Yanto layaknya sebuah kalimat
berkonotasi negatif. Pemabuk yang jarang berinteraksi sosial dengan orang-orang
di lingkungannya.
Entah
bagaimana Susi—perempuan manis, lemah lembut, dan baik perangainya itu—bisa menikah
dengan Yanto. Menurutku, itu adalah sebuah bencana, sebab Susi layak
mendapatkan yang lebih baik. Tujuh turunan aku tak akan rela menyaksikan Susi
berkeringat menyelesaikan pekerjaannya untuk menutup hutang di sana-sini akibat
suaminya yang tak mampu memperoleh penghasilan yang lebih.
Ya,
sejak Susi menawarkan diri untuk bekerja di tempatku sebagai pembantu rumah
tangga, aku merasa senang bukan main. Telah lama ekor mataku mengincar Susi. Ia
bagaikan bunga sepatu merah merekah yang tumbuh di tengah kekeringan hubunganku
dengan istriku.
Namun,
itu semua tak berlangsung lama.
Susi
memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Berhari-hari kuperhatikan ia tak lagi
seperti hari-hari dulu yang mengobral senyum di mana-mana. Susi lebih banyak
murung, memperlihatkan sedikit keramahannya.
Hingga
hari itu, setelah sebuah kebakaran memakan rumah kontrakannya dan menewaskan
Yanto, aku baru tahu apa yang terjadi dengan Susi. Kuselamatkan anak-anaknya
pada ayah Yanto yang masih bisa kujangkau keberadaannya. Sengaja kujauhkan dari
hingar-bingar kota, juga dari akses media komunikasi.
Sebab,
nama orang tua mereka telah menjadi bulanan media cetak maupun elektronik
manapun setelah kejadian nahas itu.
4
Pada
mulanya, Priyanto menjanjikan sebuah rayuan yang dengan sukarela ku-“iya”-kan
sambil berpegang pada kesediaan untuk menjadi susah bersama, pun senang
bersama. Merayap dari satu tempat ke tempat lain, memakai pakaian lusuh
berhari-hari, hingga menemui pekerjaan tetapnya sebagai pemulung untuk
menyambung hidup. Memiliki dua orang anak yang penurut, aku kira aku akan
bahagia meski jauh dari kemapanan secara ekonomi.
Aku
bekerja sebagai seorang buruh cuci, setelah Angga harus berhenti sekolah di
bangku kelas tiga SD. Keadaan ekonomi kami memburuk, namun kuupayakan agar kami
tetap membanting tulang kami sekeras-kerasnya untuk menukarnya dengan rupiah
pemenuh kebutuhan. Tak hanya itu, kujual tenaga dan jasaku untuk bekerja
sebagai pembantu rumah tangga di rumah Si Kaya Husin, demi menyelamatkan
kontrakan kami yang menunggak pembayarannya.
Namun,
harapan baik justru membuahkan sesuatu yang berbalik. Mas Yanto menyia-nyiakan
pundi-pundi rupiah kami di meja judi. Pulang tengah malam dalam keadaan mabuk,
membanting apapun yang bisa dilemparnya dengan bebas di rumah.
Tak
hanya itu, beberapa malam yang panjang harus kulalui dengan kemarahan dan
ketakutan bertubi-tubi yang terus melingkari kepalaku, takut akan kehilangan
Mas Yanto. Adalah malam-malam setelah memergoki suamiku menjatuhkan dirinya
pada pelukan seorang gadis murahan. Kusaksikan sendiri dengan mata kepala dan
sekujur tubuhku yang masih memaafkan setiap detail kesalahannya selama
bertahun-tahun, di ranjang yang sama mereka berdua sedang beradu asmara.
Pernikahan
ini tak seharusnya berakhir dengan sebuah perceraian. Sungguh aku masih mencintai
Mas Yanto dengan segala kebutaanku akan keburukannya yang terus menerus
kumaafkan. Maka, dengan inilah ia dan status pernikahan ini kuakhiri.
Aku
lupa, sejauh mana persiapanku untuk mengakhirinya. Malam itu, ia masih terlelap
di kursi rotan ruang depan. Mukanya kuyu, semerbak aroma alkohol menggerayangi
tubuhnya. Aku yang sedang kalap segera memercik tubuhnya dengan minyak gas. Tak
terlalu banyak. Menyusul kemudian, kurogoh dari saku dasterku, sebuah pemantik
api warna merah tua.
Kulihat
bagaimana api perlahan membangunkannya dari tidur lelap dengan mimpinya bersama
si bidadari murahan. Sementara aku, khusyuk memerhatikan suamiku yang habis
terpanggang secara perlahan sambil melangkah keluar, menyelamatkan diri.
Doaku
turut serta menghanguskannya. Aku tak akan takut lagi kehilangan Mas Yanto dalam
pelukan wanita lain, meski akan kuhabiskan beberapa tahunku di dalam bui.
5
Pengkhianat. Batinku
terus merutuki Susi.
Langkahku
berjalan dengan cepat, menandas panasnya kerikil di jalanan. Seharusnya, aku
pulang bersama Susi. Dia memintaku menjemputnya siang itu di rumah Si Husin,
tempatnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sela kesibukannya menjadi
pencuci pakaian.
Aku
datang tepat waktu.
Menyaksikan
sesuatu yang tak tepat pada waktunya.
Husin
sedang merayu istriku, memeluk bahu Susi dengan mesra, mencubit pinggang Susi
yang mudah geli, memilin rambut hitam sebahu yang kubelai tiap hari, menyentuh
dagunya yang kuciumi setiap malam.
Sandiwara
apa ini? Susi menikmatinya tanpa penolakan. Tersenyum-senyum geli di depan
mataku yang mengintip dari balik jendela teras rumah Husin.
Aku
memang tak lebih kaya daripada Husin. Aku hanya pemulung, sementara dia menjadi
pengelola sampah organik yang mendapatkan penghargaan dari segala penjuru Tanah
Air. Pantas saja Susi selalu menyempatkan diri untuk menuntaskan pekerjaannya
di rumah Husin hingga lepas Magrib.
Aku
pulang dengan geram. Pembalasan selalu lebih kejam, bukan?
Ya,
pembalasan selalu lebih kejam. Setelah berganti kukhianati istriku dengan bermain
wanita di belakangnya, ia menghabisiku hidup-hidup. Hingga aku tak lagi hidup
dalam dunianya.
Beginilah
cara kami bermain api.