Rindu
yang panjang, seperti kereta api yang hendak membawaku pulang. Pada jalurnya
yang berkelok-kelok, pada kecepatannya yang konstan dan tak dapat dihentikan
sering-sering. Ah, sudahlah. Memang nampaknya segala sesuatu yang telah
dikemas, harus selamanya berada di sana tak peduli selama apa waktu akan
membungkusnya.
“Kamu
akan dibawa sejauh apa?” tanyamu kemarin malam, mengamatiku bergegas memasukkan
barang-barangku ke dalam sebuah koper cokelat besar.
Aku
mengerdikkan bahuku, pertanda entah. Ketidaktahuan atas rencana-rencana yang
direncanakan Tuhan. Rencanaku hanya bagian kecil yang tak penting dan tak akan
merubah lihainya takdir-takdir Tuhan yang telah terancang rapi.
“Kamu
bisa, kan, kembali lagi?” tanyamu lagi, gerikmu gelisah.
“Bisa,
mungkin. Tunggu kabar saja”
“Jangan
begitu, katakan sesuatu yang pasti”
“Tapi
bisa saja aku tidak kembali”
“Pasti
bisa”
“Sudah.
Jangan khawatir”
Malam
runtuh pelan-pelan. Seperti tembok yang terkikis masa, mulai mengelupas dan tak
lagi sama. Kau menghabiskan tehmu sementara aku tak kunjung selesai berkemas.
Barangku di rumahmu ada banyak sekali, berjejasl di setiap lemari.
Puntung-puntung
rokok, pakaian dalam, sisir, kosmetik, biscuit sisa sebulan lalu, lego-lego
kecil.
“Jangan
semua kau bawa”
“Tak
apa. Biar mereka tak menjadi bebanmu”
“Beban
apa? Barang-barang kecil itu”
“Kalau
aku tidak kembali, kamu akan melihat barang-barang ini tiap hari di rumahmu.
Kamu akan sedih”
“Pasti
kembali”
Pernah
kau dengar tentang kepercayaan yang kabur? Larinya cepat sekali, seperti enggan
ditemui lagi. Bukan padamu kesalahan terjadi. Padakulah. Semua orang, setelah
ini, berhak menyalahkanku. Menyalak-nyalak mencaciku, menginjak-injakku di
depanmu.
“Bagaimana
kalau kita pergi sama-sama?”
“Tidak
bisa”
“Aku
bisa. Pasti bisa”
Aku
menatap matamu yang bersungguh, seperti membaca kitab dalam waktu singkat,
kutamatkan cepat-cepat bagaimana caramu memandangku. Mata yang sayu itu. “Tidak
bisa” ucapku lirih.
“Ayo,
menikah saja”
***
Kereta
ini membawaku pergi. Jauh sekali.
Rindu
ini masih saja berpulang padamu.
Sedang
seorang pria menungguku dengan sabar di penghujung keretaku berhenti.
***
“Pernah kau dengar sebuah cerita
tentang kepercayaan yang kabur? Larinya cepat sekali, seperti enggan ditemui
lagi”
“Cerita dari mana?”
“Baru saja kubuat. Kamu harus
mendengarnya”
Burung
hantu bersemedi di ranting-ranting pohon. Kau mengecup dahiku sebelum terlelap
mendengar ceritaku. Besok, aku menjadi kepercayaanmu yang kabur jauh.
1 komentar:
hmmmmmmmm.. ini ceritanya tentang apa ya, mbak?
apa cerita ttg seorang gadis yg dijodohkan oleh orang tua? atau ada cerita lain?
sori nih klo nggak mudeng :p
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)