Jumat, 01 November 2013

Pesan Suara

Ia menulis suara-suara dalam amplop kecil putih yang tak lebih besar dari telapak tangannya. Sudah sebanyak empat puluh tujuh suara ia tuliskan dalam empat puluh tujuh amplop. Lalu disimpannya dalam sebuah kotak plastik kecil. Orang yang menyaksikan pilunya ia menulis belakangan ini akan paham, bagaimana besar rindunya perlu ia tumpahkan dalam surat-surat suara.
Laranya berkepanjangan. Dunia yang diketahuinya pada awal kelahirannya telah begitu banyak berubah. Belakangan ini orang makin jarang menggunakan bibirnya untuk bercakap dan menyediakan telinganya untuk mendengar. Semua orang memilih sibuk sendiri, apatis terhadap kaki-kaki yang lalu lalang di harinya masing-masing. Benda mati lah yang kini lebih sering bersuara. Engsel pintu yang dibuka, halaman-halaman buku cerita yang dibalik pembacanya, cangkir yang terantuk dengan meja ketika diletakkan, dan lain-lain.
Ia gusar. Sudah begitu lama ia tak mendengar suara anak dan suaminya. Dan ayah ibunya. Juga kakak adik dan sanak saudara lainnya. Mereka berjumpa fisik, namun tak ada hidup lain yang dibagi untuk masing-masing. Bertatap muka sekenanya, lalu lebur kembali dalam sunyi.
Surat-surat suara itu ia susun tiap malam, sejak empat puluh tujuh malam terakhir ia merasakan kerinduan yang begitu besar terhadap bagaimana orang-orang terdekatnya berbicara. Sudah terlalu lama dunia hening, dan hatinya merasa begitu sepi.
Besok, ia hendak pergi ke kantor pos, mengirim amplop-amplop kecil itu untuk empat puluh tujuh orang yang dirindunya. Bahkan untuk anak dan suaminya yang tinggal seatap bersamanya. Berharap, ketika surat-surat suara itu diterima dan amplop dibuka oleh yang tertuju, suaranya akan terdengar lirih menggetarkan.
“Ceritakan padaku banyak hal, aku rindu suaramu”



0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com