Ia
menulis suara-suara dalam amplop kecil putih yang tak lebih besar dari telapak
tangannya. Sudah sebanyak empat puluh tujuh suara ia tuliskan dalam empat puluh
tujuh amplop. Lalu disimpannya dalam sebuah kotak plastik kecil. Orang yang
menyaksikan pilunya ia menulis belakangan ini akan paham, bagaimana besar
rindunya perlu ia tumpahkan dalam surat-surat suara.
Laranya
berkepanjangan. Dunia yang diketahuinya pada awal kelahirannya telah begitu
banyak berubah. Belakangan ini orang makin jarang menggunakan bibirnya untuk
bercakap dan menyediakan telinganya untuk mendengar. Semua orang memilih sibuk
sendiri, apatis terhadap kaki-kaki yang lalu lalang di harinya masing-masing. Benda
mati lah yang kini lebih sering bersuara. Engsel pintu yang dibuka,
halaman-halaman buku cerita yang dibalik pembacanya, cangkir yang terantuk
dengan meja ketika diletakkan, dan lain-lain.
Ia
gusar. Sudah begitu lama ia tak mendengar suara anak dan suaminya. Dan ayah
ibunya. Juga kakak adik dan sanak saudara lainnya. Mereka berjumpa fisik, namun
tak ada hidup lain yang dibagi untuk masing-masing. Bertatap muka sekenanya,
lalu lebur kembali dalam sunyi.
Surat-surat
suara itu ia susun tiap malam, sejak empat puluh tujuh malam terakhir ia
merasakan kerinduan yang begitu besar terhadap bagaimana orang-orang
terdekatnya berbicara. Sudah terlalu lama dunia hening, dan hatinya merasa
begitu sepi.
Besok,
ia hendak pergi ke kantor pos, mengirim amplop-amplop kecil itu untuk empat
puluh tujuh orang yang dirindunya. Bahkan untuk anak dan suaminya yang tinggal
seatap bersamanya. Berharap, ketika surat-surat suara itu diterima dan amplop
dibuka oleh yang tertuju, suaranya akan terdengar lirih menggetarkan.
“Ceritakan padaku banyak hal, aku
rindu suaramu”
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)