Lalu
ia memaksakan diri untuk berjalan di tengah kantuknya, menuju kotak besi besar
yang biasa kita sebut-sebut sebagai kulkas. Dibukanya, lalu ditutupnya.
Dibukanya, lalu ditutupnya lagi. Banyak makanan di dalam kulkas, makanan yang
tak bisa dimakannya meskipun rasa lapar tengah mencabik-cabik perut dan haus
menggerogoti kerongkongannya hingga hampir habis.
Ia
kembali berjalan ke kamar. Matanya berkedip-kedip.
Bagaimana
bisa ia makan sesuatu yang hanya eksis pada otaknya yang masih ia peras untuk
menghasilkan imajinasi malam-malam?
Rumahpun
ia tak punya.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)