Jumat, 07 November 2014

Penasaran Lingga


Aku rasa, sudah saatnya para penggila sains mulai merevisi teori tentang rantai makanan. Atau mungkin, pemecahan masalah ini sedikit berkaitan pula dengan eating disorder yang lebih baik ditangani oleh psikolog, seperti yang aku baca di buku Kak Palupi. Atau... pikirannya berlari lebih keras lagi... mungkin jika para peneliti ilmu alam dan kejiwaan tak berselera membuat gebrakan baru seperti yang aku inginkan, masih ada paranormal yang mungkin lebih berkompeten. Seperti yang disaksikan Lingga di televisi, manusia yang memakan pecahan kaca hanya bagian dari atraksi, tak perlu berakhir di meja polisi.
Ada yang membingungkan pikiran Lingga sejak tiga hari yang lalu. Sesuatu yang jawabannya ia cari-cari melalui internet dan buku-buku di perpustakaan. Sudah tiga hari ini, sebuah rasa penasaran yang begitu hebat melanda Lingga. Berdiam diri di perpustakaan sepulang sekolah ternyata tak terlalu membantunya. Dibandingkan terisi oleh buku-buku pelajaran atau ensiklopedia, perpustakaan sekolahnya lebih banyak menyediakan buku-buku cerita yang kertas-kertasnya sudah mulai menguning dengan tepi-tepinya yang keriting seperti pernah ketumpahan air. Beralih pada internet, Lingga mencoba mencari jawaban atas penasarannya.
Biji dimakan ayam.
Ayam dimakan ular.
Ular dimakan elang.
Berhenti sampai di sana.
Alternatif lainnya:
Biji dimakan ayam.
Ayam dimakan manusia.
Berhenti lebih cepat dari yang diperkirakannya.
Tapi manusia juga bisa memakan biji dan tanaman, tak melulu ayam dan ikan-ikanan. Lantas, kenapa papa repot-repot memakan sesuatu yang tak pernah menjadi santapan kami sehari-hari?Pertanyaan-pertanyaan itu masih terus menggantung di kepala Lingga sampai  bocah itu harus merelakan kantuknya tertunda hanya untuk melamunkan berbagai kemungkinan jawaban setiap malam.
Mama dan kakaknya tiga hari ini tak berada di rumah. Pulangnya mereka hanya pada waktu-waktu tertentu: sore hari untuk mandi, lalu pergi lagi; dan ketika malam sudah larut sekali, untuk tidur sebentar dan pagi buta kembali pergi. Begitu seterusnya. Padahal, Lingga ingin sekali memberhentikan Palupi, kakaknya, dan bertanya “Maksud Kakak kemarin apa?”
Palupi, memeluk Lingga dengan erat di dalam kamar tiga hari yang lalu. Pelukan yang membuat kedua lengan Palupi, seolah disengaja menutup telinga Lingga sebagai akses pendengaran.
Di luar gaduh. Beberapa orang berjaket kulit hitam memasuki rumah Lingga ketika ia dan keluarganya sedang menikmati makan malam bikinan Mama. Nasi uduk, ayam goreng, lodeh sayur, dan beberapa kenikmatan lainnya. Dua lelaki berpakaian polisi berjaga di pintu. Mereka menodong senjata dan meneriakkan kata-kata. Gaduh dengan sendirinya meski tak ada baku tembak. Tak ada perampokan, tak ada apapun yang mencurigakan bagi Lingga. Tapi, gerakan mereka begitu gesit, menarik Papa dan memegang tangannya erat-erat. Lingga masih bisa menyaksikannya dengan jelas, ditambah teriakan histeris Mama yang air matanya sudah meluncur deras. Lingga masih bisa menyaksikannya dengan jelas, sebelum Palupi buru-buru menariknya masuk ke kamar. Lingga tahu, ada yang salah dengan papanya, meski ia tak tahu pasti penyebabnya.
“Papa kenapa?”
“Nggak papa Ling, Papa cuma habis makan uang”
Setelah itu, tak ada hal lain yang bisa didengar Lingga selain isak tangis kakaknya.

3 komentar:

Azure Azalea mengatakan...

keren idenya, kak! simpel. suka! ^^

soulful^^~ mengatakan...

Waaah ada namaku disitu hihi, "Palupi" :p
Btw, keren ini ceritanya. Aku selalu takjub sama semua cerita fiksi yang ada di blog ini. Ditunggu kunjungan baliknya ya :D

Putripus mengatakan...

Terima kasih ya :)

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com