Senin, 05 Januari 2015

Naif


“Saya menstruasi,” Fara menggenggam alat kecil seukuran pena yang selalu ia sediakan di laci kamar tidurnya. Ucapan barusan, kurang lebih memperkuat pernyataan bahwa tak ada persediaan anak untuk kami. Tak akan pernah ada.
“Kau kenapa suka sekali menstruasi?” tanyaku sambil menggigit ujung tangkai kacamata. Empat tahun kamar yang telah ditata rapi dengan boks bayi dan dan warna-warna menarik tak pernah lagi menarik hasrat kami untuk sering berkunjung dan menanamkan doa serta khayalan-khayalan bahwa ruang kecil itu akan ditempati sesegera mungkin.
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, tak ada linangan kaca-kaca di mata Fara. Tak perlulah ia menunggu saat yang tepat lagi. Tak perlu ia mengumpulkan keberanian sebanyak mungkin untuk menyampaikan ini. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, ia mendengus, seolah berkata apa yang perlu diributkan lagi jika kita sudah menebak bahwa kita akan terus seperti ini.
Tapi, empat tahun tentu bukan perkara semudah melewati empat hari. Kami gagal bertahun-tahun, apa yang salah? Fara masih muda dan sehat. Ia masih bisa mengandung. Ia masih cukup kuat menggotong bayi dalam perutnya selama sembilan bulan. Ia pasti bisa menyusui dan membesarkan anak kami dengan sangat baik.
Apa yang salah?
Kecuali, jika ternyata Fara tak pernah menginginkan untuk memiliki anak bersamaku. Seperti kegagalanku dengan Ema yang mencoba selama sebelas tahun, dengan Dina yang menyerah setelah tiga tahun, dan dengan Juli selama setahun.
Ya, tentulah Fara yang tak menginginkannya.
Fara masih diam dan tak bergeming. Tepat di atas meja sebelah kirinya, berdiri foto pernikahan kami yang dibingkai kecil, terpapar temaram lampu hias. Fara masih begitu muda, menikahi aku yang berjalan saja sudah tak segagah puluhan tahun yang lalu.
Foto itulah yang selanjutnya akan kulempar jika dia—lagi-lagi—menyalahkanku, seperti mereka.

Jumat, 02 Januari 2015

Imitasi

Perempuan itu, alisnya disulam. Cokelat tua, tebal di pangkal, dan berujung tipis. Entah hanya aku atau yang lain pun telah ramai membicarakannya, kanan dengan kiri tak simetris. Sedikit lebih naik pada alis kanan. Sedikit sekali, nyaris tak ada beda. Ibaratnya, sembilan puluh sembilan persen sulam alisnya dilakukan dengan sempurna. Satu persennya, bisa jadi Sang Teknisi Alis mengerjakannya sambil menguap sebentar setelah lama berkonsentrasi. Sekali menguap dan kesempurnaan itu tahu-tahu bubar jalan.
Meski sangat sedikit kurang sempurna, alisnya lah yang menyedot banyak perhatian. Alis baru. Kecantikan baru. Sementara para lelaki terus terkesima tanpa tahu apa yang berubah dari dirinya, para perempuan sibuk mengaitkan fenomena sulam alis yang dilakoninya sebagai susuk pemikat.
Aku sendiri tak pernah peduli mana yang lebih tepat. Yang aku tahu, Si Gadis tak hanya menyulam alisnya. Lidah dan air matanya itu, pun hasil sulaman. Agar bisa berkata menjauhi apa yang nyata, dan pura-pura berlinang kesedihan hanya untuk meraup perhatian.

Dua Ribu Empat Belas


Hal terbaik dari penghujung tahun adalah ketika masih bisa ingat hal-hal apa saja yang sudah dialami setahun belakang. Dibanding tahun 2014, saya lebih menggemari 2013 karena saya bisa bertemu banyak kesempatan baru. Tapi, pasti tak ada hari yang sia-sia, kan?
Tahun ini, tahun yang seru karena bisa mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa Wangkal, Sidoarjo. Untungnya, dapat teman-teman sekelompok yang kacau gilanya. Tidak butuh waktu lama untuk adaptasi. Bisa cepat kenal akrab karena mereka yang paling tahu kacaumu setelah bangun tidur, berantakannya kamu di rumah, hingga rapi dan cantikmu. Mereka mengenalimu 24 jam setiap hari, lebih dari teman-teman yang bertahun-tahun hanya menghabiskan waktu denganmu ketika kamu sudah berdandan saja.
Setelah KKN, dilanjut dengan tugas negara terberat sepanjang sejarah: menyelesaikan skripsi. Ini fase favorit saya, karena bisa dibilang bahwa di fase ini saya berhasil kompromi habis-habisan dengan diri sendiri untuk tak mudah bosan dan wajib menyelesaikan satu semester. Kualitatif, 800 sekian halaman, kurang dari enam bulan. Bangga sekaligus malu, sebab terkesan berlebihan. Bisa komitmen tanpa drama dan air mata (iya, sama sekali) untuk hal yang satu ini adalah pencapaian terbesar saya di 2014.
Semua itu diakhiri demham wisuda dan disusul oleh status yang makin-makin dahsyat saya rasakan sebagai ‘pengangguran’ dibandingkan ‘lulusan sarjana’.
Kekosongan hari diisi dengan jalan-jalan ke Jogja. Lebih bisa dibilang kabur, karena ketika mudik saya hanya di situ-situ saja, makan dan bertelur di rumah saudara di Kutoarjo. Beberapa bulan setelah mudik, liburan tambahan didapatkan dengan jalan-jalan ke Bandung, Pasar Seni ITB 2014. Sebagai anak gaul pemula, Pasar Seni ITB cukup menarik. Hanya saja, saya dan teman-teman kurang terampil mengakrabi venue yang begitu luas. Kesal juga, datang paling pagi dan pulang paling malam tak membuat kita cukup menikmati semua hiburan yang ada.
Sepulang dari Bandung, saya ditarik Mama ke Kutoarjo, menemani nenek yang dirawat di ICU. Pengalaman baru tidur di ruang tunggu ICU celama lima hari (sungguhan nonstop). But that was a cool days. Saya tak menyangka bisa bergaul dengan saudara-saudara Mama sebegitu asyiknya, mengingat usia beliau-beliau jauh di atas saya. Waktu demi waktu dibunuh dengan ngobrol banyak hal selama lima hari penuh. Dan yang paling menyenangkan adalah lima hari tanpa gadget dan saya masih hidup. Dan tentunya, nenek saya juga kembali sehat.
Tahun 2014, (sempat) diterima bekerja sebagai freelance writer di sebuah web developer di Jogja. Tapi statusnya masih di ambang. Diterima tapi belum juga dapat pekerjaan. Selanjutnya, mungkin tinggal menunggu dan mencari-cari kesempatan yang lain. Lalu di akhir tahun, tiba-tiba dihubungi salah satu brand kenamaan di dunia fashion. Mengaku tertarik dengan blog saya, beliau meminta saya membuatkan artikel. Penawaran kerjasama yang sangat sulit ditolak. Penantian berbuah manis. Semoga hari-hari selanjutnya masih ada yang seperti ini.
Jadi, 2014 tidak membawa saya pada banyak perubahan baru yang menyenangkan bila dibagikan. Saya tak banyak melakukan hal-hal penting berbau resolusi. Tahun 2014 justru lebih banyak diwarnai dengan beberapa perpisahan. Perpisahan dengan teman-teman kuliah yang selalu ke mana-mana berbanyak selama empat tahun. Perpisahan dengan rutinitas magang yang lebih terasa seperti main-main daripada kerja kantoran. Perpisahan dengan diri yang lama sebagai mahasiswa. Tapi, tentu, yang namanya perpisahan tak akan membawa kita pada sesuatu selain awal yang baru. Saatnya berjalan dengan peruntungan masing-masing.
Saya harap, di tahun 2015 perpisahan itu masih akan berlanjut. Perpisahan dengan segala keburukan yang lama menjadi ampas di dalam diri sendiri. Semoga apapun yang terjadi, saya dan kamu tetap dituntun menuju sesuatu yang lebih baik. Aamiin.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com