“Saya menstruasi,” Fara menggenggam alat
kecil seukuran pena yang selalu ia sediakan di laci kamar tidurnya. Ucapan
barusan, kurang lebih memperkuat pernyataan bahwa tak ada persediaan anak untuk
kami. Tak akan pernah ada.
“Kau kenapa suka sekali menstruasi?” tanyaku
sambil menggigit ujung tangkai kacamata. Empat tahun kamar yang telah ditata
rapi dengan boks bayi dan dan warna-warna menarik tak pernah lagi menarik
hasrat kami untuk sering berkunjung dan menanamkan doa serta khayalan-khayalan
bahwa ruang kecil itu akan ditempati sesegera mungkin.
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, tak
ada linangan kaca-kaca di mata Fara. Tak perlulah ia menunggu saat yang tepat
lagi. Tak perlu ia mengumpulkan keberanian sebanyak mungkin untuk menyampaikan
ini. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, ia mendengus, seolah berkata apa yang perlu diributkan lagi jika kita
sudah menebak bahwa kita akan terus seperti ini.
Tapi, empat tahun tentu bukan perkara
semudah melewati empat hari. Kami gagal bertahun-tahun, apa yang salah? Fara
masih muda dan sehat. Ia masih bisa mengandung. Ia masih cukup kuat menggotong
bayi dalam perutnya selama sembilan bulan. Ia pasti bisa menyusui dan
membesarkan anak kami dengan sangat baik.
Apa yang salah?
Kecuali, jika ternyata Fara tak pernah
menginginkan untuk memiliki anak bersamaku. Seperti kegagalanku dengan Ema yang
mencoba selama sebelas tahun, dengan Dina yang menyerah setelah tiga tahun, dan
dengan Juli selama setahun.
Ya, tentulah Fara yang tak
menginginkannya.
Fara masih diam dan tak bergeming. Tepat
di atas meja sebelah kirinya, berdiri foto pernikahan kami yang dibingkai
kecil, terpapar temaram lampu hias. Fara masih begitu muda, menikahi aku yang
berjalan saja sudah tak segagah puluhan tahun yang lalu.
Foto itulah yang selanjutnya akan kulempar
jika dia—lagi-lagi—menyalahkanku, seperti mereka.
2 komentar:
*koreksi: menggotong bayi dalam perutnya selama 9tahun
Wah, iya! Sudah diganti, terima kasih ya :)
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)