Rafiah
mengelap keringat yang menempel kecil-kecil di lehernya. Angkutan umum sedang
padat di pukul dua belas siang ini.
Beberapa seperti sedang melakukan perjalanan dengan tas-tas yang dipangku dan
beberapa tumpuk kardus yang dibiarkan duduk sendiri memakan jatah duduk
penumpang lain, beberapa hanya Ibu dan anak yang hendak atau dari suatu tempat,
beberapa berseragam rapi—entah istirahat atau berniat mangkir dari jam kantor
yang belum usai.
Rafia
sendiri, hanya bersandal jepit dan mengenakan rok cokelat selutut bercorak
bunga setaman, serta kemeja lama yang warnanya telah kusam. Berhimpit dengan
penumpang lain dan bersebelahan dengan bapak-bapak berkumis semi-genit yang
sedari tadi mencuri-curi sentuh pinggang atau paha Rafiah. Boleh sentuh, asalkan tak mencuri, pikir Rafiah. Mulutnya bungkam,
menganggap fenomena itu wajar-wajar saja terjadi di tempat yang penuh sesak
begini.
Gadis
itu tengah melakukan perjalanan ke desanya, menuju tempat di mana orang tua dan
adik lelaki satu-satunya tinggal. Sudah hampir empat tahun ia tinggal di
Surabaya, dan rutin mengirimkan surat ke orang tuanya bahwa ia selalu
dipertemukan dengan keadaan susah-pulang. Alasannya sudah semacam TKW yang
sedang berjuang mati-matian di Negeri orang. Padahal, jarak tempuh
keberadaannya hanya terpisah sejauh tiga puluh kilometer.
Terakhir
Rafiah pulang, ia tak sempat mengabari Ibunya. Lelah bertarung panas di tengah
angkutan umum, hanya dibayar dengan sambutan makanan yang sangat seadanya:
sayur lodeh sisa kemarin dan nasi putih yang hampir kering. Rafiah marah-marah.
Ibunya—harusnya lebih marah lagi, lantaran Rafiah yang salah tak menghubungi
bahwa dirinya akan pulang. Tapi Ibu Rafiah hanya Ibu-Ibu pada umumnya yang
selalu melapangkan dadanya dan mengalah untuk anak gadisnya.
Kepulangan
Rafiah kali ini adalah kepulangan yang istimewa. Tak seperti kepulangan
sebelumnya, ia meneguhkan niat untuk kembali tinggal di desa asalnya,
menghabiskan sisa-sisa hidupnya, menghadapi pertarungan baru tentang hidup dan
mati: menjadi seorang Ibu.
***
Rumah Rafiah—rumah
orang tua Rafiah, lebih tepatnya—masih sama. Masih biasa saja dan tak ada
sudut-sudut menarik yang layak dibanggakan. Sudah dua jam yang lalu Rafiah
sampai di rumah, disambut teh hangat dan gorengan seadanya. Rafiah tak
marah-marah lagi, ada hal yang lebih penting daripada memaki ketersediaan
pangan yang begini-begini saja. Hal yang lebih penting itu, sedang
dilamunkannya setengah jam belakangan.
Bagaimana
aku harus memulainya nanti?
Abah—bapak
Rafiah—sedang sibuk
di Masjid, rapat pengurus terakhir sebelum acara Maulid Nabi digelar dua hari
kemudian. Ibu Rafiah sedang bebenah kamar untuk Rafiah. Kesibukannya sebagai buruh
cuci membuatnya tak sempat merapikan rumah sebelum anaknya pulang. Adik Rafiah?
“Sedang ke rumah pacarnya”, kata Ibu tadi. Rafiah bahkan tak ingat kapan
adiknya itu mimpi basah, tahu-tahu sudah tumbuh jakun dan kumis tipis, juga
perawakannya lebih tinggi dari Abah, seperti yang dilihatnya di foto yang
terpigura cantik di ruang tamu.
Waktu berjalan cepat sekali.
Rafiah
mengingat-ingat, keberangkatannya ke kota sebelah dulu bukan keberangkatan yang
membanggakan. Usai berhenti sekolah di kelas tiga SMP karena Abah tak punya
uang cukup untuk membiayai sekolah Rafiah dan adiknya, ia kabur dari rumah tiga
hari, karena malu dengan keputusan Abah. Lalu kabur bertahun-tahun karena malu
dengan kemiskinan Abah.
Tak
ada yang menuntutnya untuk menjadi kaya, tak juga teman-temannya. Rafiah hanya
tak suka melihat beberapa orang bisa mengendarai sepeda motor di jalan raya,
sedangkan ia hanya bisa membawa sepeda kumbang. Ia hanya tak suka melihat
beberapa orang sering membeli martabak telur atau makan nasi krawu—yang
legendaris dan lumayan mahal itu—sedangkan ia harus merasa cukup dengan lauk
seadanya.
Rafiah
hanya tak suka Abah lebih ingin meningkatkan pendidikan adiknya, sedangkan ia
juga memiliki cita-cita tapi harus dipupuskan begitu saja. Tanpa kompromi.
Surabaya—katanya—menjanjikan
banyak hal. Pekerjaan berduit besar, hiburan menarik, dan lain-lain, dan
lain-lain. Pergilah ia ke Surabaya, menganggap segala sesuatu akan baik-baik
saja, terutama keluarga kecil tanpa kehadirannya lagi. Dinikmatinya masa-masa
usia labil itu dengan satu keinginan besar: aku
akan kembali kalau aku sudah bisa bawa pulang banyak Rupiah.
Kini
ia pulang. Tak membawa rupiah. Tapi hendak memberi hadiah orang tuanya berupa
satu keluh kesah.
***
Ada
banyak hal yang bercokol lama di kepala Rafiah selama dua bulan belakangan.
Dari Surabaya, hingga lima hari sudah ia tiba di desanya, telah ia siapkan
beragam skenario dengan segala kemungkinan-kemungkinan respon keluarganya.
Telah ia siapkan sebuah kronologi kejadian dan berIbu alasan pembelaan diri
untuk bisa diterima. Agaknya sia-sia, ketika bibir Rafiah hanya bergetar dengan
isak tangis yang sunyi sambil menyuarakan satu kalimat pendek di hadapan orang
tuanya, “Abah, Ibu, Rafiah hamil”.
Abah
dan Ibu berhenti makan. Sebuah telur amarah menetas di kepala Abah, Rafiah tahu
itu. Adiknya menunduk saja, melirik kanan dan kiri, Abah dan Ibu, lalu melirik
lama ke Rafiah. Abah adalah seorang pengurus Masjid di daerah ini. Mengajinya
lancar dan fasih, shalatnya rajin dan tekun. Tapi anak gadisnya memilih untuk
membesarkan dirinya sendiri sebagai gadis yang bebal dan nakal. Yang terlampau
ingin hidup bebas, sebebasnya jauh dari bimbingan orang tua yang kolot dan
miskin.
Ibu
membungkam tangisnya dengan kedua tangannya, lirih Rafiah mendengar,
“Astaghfirullah, kebacut…”. Hati
Rafiah bersimbah darah, seolah disayat-sayat oleh kedurhakaannya sendiri. Empat
tahun menjajakan diri, ikut lelaki ke sana dan kemari. Terjebak tinggal di
rumah akuarium kecil di gang-gang lokalisasi. Rupiah mengalir ke
kantung-kantung Rafiah.
Tak
hanya Rupiah, pun benih-benih yang entah-milik-siapa pun tertanam di rahimnya.
Dua bulan. Dua bulan Rafiah tak memikirkan bersama siapa ia akan merawat buah
hatinya kelak, tapi justru apakah ia masih bisa pulang ke pangkuan Abah dan
Ibunya. Apakah ia masih memiliki hati-hati yang senantiasa terlapang untuk
memaafkannya.
Di
pesta isak tangis malam itu, Rafiah menghentikan pikirnya sejenak, dan
mengandaikan sesuatu: andai aku tak
membenci kemiskinanku.