Minggu, 29 Mei 2016

Surat Sepenggal


.....

Kenapa Papa harus sebegitu komplitnya menjadi Ayah buat saya? Pa, saya suka cara Papa menolak permintaan saya. Saya suka Papa mengajarkan saya menunggu datangnya hal-hal baik yang worth waiting for. Saya suka cara Papa mengajarkan saya untuk sabar dan mandiri. Untuk jangan pernah berhenti mencoba meskipun gagal berkali-kali. Untuk terus meyakinkan bahwa saya bisa dan saya harus yakin bahwa saya bisa. Untuk selalu memberi saya kepercayaan bahwa saya punya kontrol untuk menjaga diri sendiri. Saya suka euforia yang Papa ciptakan setiap kali saya bisa melakukan, menyelesaikan, dan mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya suka segala sesuatu yang Papa terapkan terhadap saya. Saya tumbuh menjadi perempuan yang dibentuk dengan nilai-nilai yang begitu baik.

Pa, apa yang terjadi kalau waktu itu pengobatan berjalan dengan baik dan Papa kembali sehat sampai hari ini dan seterusnya? Mungkin saya akan sangat bahagia, namun sekaligus menjadi produk gagal. Gagal ditempa masalah. Gagal menghadapi masalah. Semua ini, Pa, semoga cepat diberi titik terang. Ini hanya bagian kecil, Pa. Kapan-kapan lagi kalau ada waktu bertatap muka. Di mimpi, mungkin kita bisa lebih banyak bicara.

Pa, Selamat Hari Ayah. Datanglah sekali-sekali ke mimpi mereka, katakan kalau saya bisa.




-------------------------------------
Surat untuk Papa yang mengendap di laptop saya, ditulis 12 November 2014.

Selasa, 03 Mei 2016

Menerka Jaya

Jaya menatap ilustrasi dirinya yang samar terbentuk di balik kaca. Tak seperti orang-orang yang terlihat sibuk di sekitarnya, ia tak mengenakan pakaian rapi pukul enam pagi. Apa yang dilakukan Jaya? Siapa Jaya?
Itu tak penting. Sungguh, baginya, siapa Jaya bukanlah hal yang penting dan menarik untuk diceritakan. Jaya adalah apapun yang bersarang pada persepsi orang ketika memandangnya.
Dengan pakaian yang compang-camping, orang menganggapnya pengemis muda yang baru terjaga setelah mimpi panjangnya sebagai milioner semalam. Tapi Jaya tampak mengenakan jam tangan berbahan tali dari kulit asli dan kuning keemasan mengikat manis bingkainya. Tampak baru. Maka orang akan mengira bahwa Jaya adalah anak orang kaya yang baru kembali dari malam gemerlapnya di sebuah bar, tanpa tergagas ide akan menjadi pria seperti apa ketika bangun dalam keadaan mabuk paginya.
Uraian tentang Jaya, bukanlah hal yang penting. Dan apa yang dipikirkan orang tentangnya jauh lebih tak penting. Ia jalan tertatih seperti begitu lelah. Tapi, benar juga. Ia tak tahu seperti apa hidupnya akan berlanjut kemudian, sepuluh jam ke depan, atau sepuluh menit kemudian.
Bukankah hidup adalah sebuah taruhan besar di atas meja judi? Begitu sebaris kalimat yang pernah dibacanya, dituliskan oleh keresahan dan keputusasaan si penulis tentang hidupnya sendiri. Dan perempuan-perempuan nakal yang menggenapkan bahagianya hanyalah redup nyala lilin yang akan kembali menggelapkan Jaya ketika hasrat mereka telah habis masanya. Jaya mengendus hidupnya, entah.
Bahkan bayangannya saja hanya muncul samar, malu dan tak mau terlibat banyak di balik kaca. Enggan menjelaskan siapa Jaya. Barangkali Jaya memang apapun yang bersarang pada persepsi orang ketika memandangnya.
Pukul setengah dua dini hari, saya menulis ini sebab Jaya tiba-tiba tercipta di kepala saya sedari tadi. Sebab saya terus berusaha menemukan cerita untuk Jaya yang terlihat gundah memandang dirinya di balik kaca dan tak mengenakan pakaian rapi pukul enam pagi.

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com