“Luka
itu membuat seseorang menjadi lebih peka”
Ibu
menuangkan teh hijau yang diseduhnya dengan daun mint, asapnya mengepul seperti
amarah yang lama diredam. Segelas tanpa gula, disuguhkannya padaku yang baru
datang untuk mampir sebentar.
Ibu
lalu duduk di seberangku. Kedekatan kami hanya terbagi oleh meja rotan bundar
di teras rumah. Hujan belum mau berhenti turun. Jaket tebal makin kurekatkan
agar hangat terjalin di kulit-kulitku yang sejak kecil tak pernah betah dengan
hawa dingin.
Sebuah
pemantik berwarna ungu pastel diraih Ibu, lalu dibakarnya ujung sepuntung
rokok. Sungguh Ibu selalu menyukai perpaduan yang aneh. Rokok dan teh, atasan
merah dan bawahan kuning, kipas angin yang terus menyala di hari yang begitu
dingin. Tak pernah ia menyukai hal-hal yang sepadan dan semestinya. Seperti juga…
“Kalau
kamu belum pernah terluka, bagaimana bisa—suatu hari nanti—kamu mewaspadai
sebuah luka akan datang,” lanjutnya lagi. Asap pecah-pecah keluar dari bibirnya
yang menghitam. Entah dari mana Ibu memiliki keahlian menghisap rokok. Bahkan
kakak lelakiku tak lebih mahir daripada dia.
“Tapi
ini lain persoalan, Bu,” ujarku. Perkataan Ibu sama sekali benar, tak berhak
disanggah. Tapi, Ibu tidak seharusnya mengatakan itu.
“Sama.
Sama saja. Kesalahanmu juga melukai aku sebagai ibumu, Ras,” nada bicaranya
mulai meninggi, entah menempati posisi tangga nada keberapa, yang jelas aku
mulai tak suka. Diteguknya teh hijau yang asapnya sudah mulai kabur satu per
satu. Seteguk saja, tak lebih. “Lantas kau minta Ibu untuk memberi maaf? Aku
rasa, luka yang kamu tanamkan di hati ini, Ras, membuatku berhati-hati lagi
untuk menerimamu kembali menjadi anakku.”
Ada
gong yang begitu besar, seolah terpukul tepat di sebelah kedua telingaku.
Gemuruhnya telak menggetarkan tak henti-henti. Luka yang merambat ke mana-mana,
hingga ke dada ibuku hingga aku tak memiliki porsi lagi di hatinya. Negosiasi ini
tak akan pernah berakhir. Aku tetaplah anak yang tak dianggapnya anak, sebab satu
kesalahan besar telah kulakukan: mendurhakai Ibu.
“Rumah
ini bukan tempat singgahmu lagi, Ras. Tak perlu kau sempatkan waktu sebulan-dua
bulan sekali untuk mampir. Aku dan abangmu baik-baik saja,” begitu katanya
lirih, semakin lirik di penghujung kalimat. Entah getar apa yang kutangkap dari
bibirnya, mungkin tangisnya hendak pecah. Tapi aku tahu benteng setinggi apa
yang menahannya untuk tak luluh begitu saja.
Tehku
tak kucicip sedikitpun. Tas ransel besar kuraih cepat, berdiri segera
meninggalkan tempat. Tak dibutuhkannya aku di sini. Langkahku berusaha berlalu
cepat, sementara Ibu tetap diam kaku di tempat duduknya, menahanku pun tidak.
Bersamaan dengan pergiku, seorang lelaki justru melangkahkan kakinya masuk.
Kami bersisian, matanya menatap mataku. Mata yang sama dengan mataku, mata
warisan Ibu.
“Aras,
mau ke mana?” tanyanya sambil masih memayungi diri dengan kedua tangannya.
Suaranya lamat-lamat, lirih tertelan deras hujan. Justru yang sanggup kudengar
adalah lantang suaranya lima tahun silam, saat ia meneriakiku yang masih
bersungut marah usai menampar Ibu yang mengataiku pelacur.
Pada
kenyataannya—ya—aku ini pelacur.
Siapa
lebih dulu melukai siapa, entah.
Langkahku
berlalu pergi, lebih cepat lagi.