“Seperti
kalau kita mendengarkan radio. Tak perlu kita berada di dekat menara
pemancarnya untuk bisa mendengarkan lagu-lagu. Dari jarak yang sekian mil
jauhnya pun kita masih bisa ikut berdendang. Meskipun begitu, kita sama-sama
tahu bahwa Tuhan tidak bisa kita setarakan dengan hal tersebut, sebab Ia
melebihi apapun”, begitu Bapak mengakhiri pembicaraannya. Mengemas perumpamaan
tentang berkah Tuhan yang ada di mana-mana tanpa kita harus menjemputnya ke
langit ketujuh.
Semua
orang khusyuk terdiam menundukkan kepala.
“Sekian
ceramah singkat dari Bapak Hasanudin. Satu jam lagi memasuki waktu Duhur.
Sambil menunggu, kalian dipersilakan mengambil jatah makan siang yang telah
disiapkan di ruangan masing-masing”, begitu Bapak-Bapak tambun yang berlaku
sebagai moderator mengakhiri acara Setengah Jam Kesemutan bersama Bapak
Hasanudin. Wajah-wajah lega terdongak, terjawab sudah apa yang membuat mereka
terdiam khusyuk menundukkan kepala. Tak sedang berdoa, tak pula sedang menyesali
apa-apa. Hanya kelaparan.
Kami
semua berdiri meluruskan kaki, lalu melangkah ke ruangan.
“Aku
jadi kangen sama rumah Mami Zenab. Kayaknya Tuhan juga ada di situ,” Pak
Warsito, menggaruk-garuk pusarnya sambil mengeluarkan bau jigong busuk dari
mulutnya. Belum pernah aku melihat gigi-giginya jauh dari noda kuning
kehijauan. Giginya berlumut.
“Siapa
Mami Zenab?” Pak Husen menimpali, sama dengan pertanyaanku dalam hati.
Setengah
berbisik, Pak Warsito mendekatkan mulutnya ke telinga kami, “Halah, Mami-Mami
di rumah akuarium.” Bau menyengat tercium semakin dahsyat.
“Masa’
Tuhan ada di sana?” Pak Husen tak percaya. Memang Pak Warsito suka mengada-ada.
Kurasa, Mami Zenab dan rumah akuarium pun hanya karangannya saja, agar ia
terlihat pernah gagah.
“Lha wong di sana ada gantungan lafadz
Allah walaupun debunya setebal dakimu, Sen!”
“Hahaha
sialan kamu War! Terus, sudah ketemu sama Tuhan?”
“Sudah,
tiap malem. Tuhan berubah-ubah wujud jadi cewek-cewek cantik yang tidur sama
aku,” kedua tangan Pak Warsito memeragakan lekuk tubuh a la gitar Spanyol.
“Hus,
gundulmu!” Pak Husen mencibir Pak
Warsito. Pemilihan kata yang pas, sebab kemarau memang sedang melanda kepala
beliau. “Tuhan itu Maha Suci, ndak
kayak kamu!”
“Hahahaha,
apalagi kamu, Sen! Gimana menurut kamu, Ndik? Kamu setuju sama aku dan bapakmu,
bahwa Tuhan ada di mana-mana?”
Namaku
turut diseretnya dalam diskusi-sambil-berjalan ini. Sebenarnya aku berjalan
lurus-lurus saja dari tadi, tak ikut tertawa, bahkan tak memperlihatkan minatku
pada pembicaraan mereka. Cukup menjadi pendengar pasif, sebab aku tak suka
dimintai pendapat mengenai bapakku yang menguasai semua dalil dan hadist.
Jika
boleh menduga dan tak menyebabkan dosa, dengan berani aku akan menjawab, “Tuhan ada di mana-mana, tapi tidak di sini.
Bapak pasti sedang salah. Ulama juga manusia.” Tetapi bagaimanapun,
meragukan keberadaan Tuhan bukan hal yang pantas kulakukan mengingat aku adalah
anak seorang Hasanudin, ulama kondang yang telah menggetarkan hati ribuan orang
dengan ceramah-ceramah agamanya.
“Tapi
aku pernah ketemu Tuhan, sekali”
“Oya?
Keluar dari botol minum bekas yang kamu gosok-gosok?”
“Hus,
sembarangan!” “Aku ketemu Tuhan lewat doa yang Dia kabulkan. Waktu istriku
sempat koma setelah melahirkan, aku berdoa supaya Tuhan ngasih istriku
kesembuhan. Terus, sim salabim, istriku
lewat masa komanya”
“Cuma
gitu?”
“Iya
War, Cuma gitu. Tapi sekian detik rasanya kayak kita berdua sedang dipeluk
Tuhan. Baru kali itu aku nangis sesenggukan saking senengnya”
“Sekarang
masih bisa seneng? Nggak nyesel sudah doain istrimu? Kan dia yang bikin kamu masuk
sel begini”
“Ya,
agak, sih”
Tawa
Pak Warsito bergelegar. Tawanya ada di mana-mana, melebihi keberadaan Tuhan.
“Sebenernya
ya, aku setuju sama omongan bapakmu, Ndik. Tuhan itu ada di mana-mana. Kita-kita
saja yang lagi sibuk menjauhkan diri dari Tuhan” Pak Husen yang selalu terlihat
biasa dan tak aneh-aneh, mulai menambah panjang arah bicaranya. “Pernah kan,
Ndik doamu dikabulkan?”
Aku
mencoba mengingat-ingat. Pernah sekali.
Dua
kali.
Tiga.
Empat.
Dua
puluh kali.
Lebih.
Sampai aku ingin meminjam tangan-tangan Pak Husen dan Pak Warsito untuk membantuku
menghitung.
“Kok
diam, Ndik? Sudah pernah?”
Aku
mengangguk kecil. Ragu, tapi tak juga bisa menyangkal.
“Berdoa
lagi yang banyak, Ndik. Kasusmu bukan kasus berat kayak kita-kita yang sudah
pernah membunuh istri sendiri. Usiamu masih panjang ya, Ndik. Tuhan pasti tahu
kamu butuh kesempatan kedua. Orang kayak bapakmu pasti sebetulnya bangga punya
anak yang mau melakukan sesuatu demi nyelamatkan bapaknya, meskipun hampir
menghabisi nyawa orang”
Berdoa lagi yang banyak.
Berdoa lagi yang banyak.
Adzan
Duhur berkumandang sebelum kami sempat menyantap makan siang kami di penjara.
Kudengar, panggilan untuk bertemu Tuhan menggema di mana-mana. Menembus
jeruji-jeruji besi. Menembus kulitku hingga bulu kuduk berdiri. Tuhan
mengabulkan doa yang kupanjatkan selama Bapak ceramah tadi, “Jika
Kau ada, buat aku merasa. Buat aku yakin kalau Kau selalu ada”