Saya
hampir dua puluh tiga tahun dan tak pernah sejauh ini mengikuti perkembangan
politik dengan serius. Alasan mendasarnya, adalah karena politik terlalu
memusingkan untuk saya. Walaupun begitu, di sisi lain saya juga menyesal karena
keapatisan saya ini membuat saya cenderung tidak tahu banyak tentang hal-hal
krusial seputar perkembangan negara sendiri. Malu? Jelas. Tapi, saya mulai
lumayan mengikuti koridor politik akhir-akhir ini. Beberapa hal menggugah saya
untuk menulis. Postingan ini saya tulis bukan berniat sok benar, sok tahu atau
apa. Semua tulisan di sini murni dari pikiran saya yang dangkal dan awam, tapi
saya juga merasa perlu untuk membaginya.
Kita
tahu pemilu presiden dan wakil presiden periode ini meningkatkan keseruan
sekaligus ketegangan antara dua kubu. Kubu satu dan kubu dua. Tegang karena
saling menjatuhkan (menurut saya), dan ini menjadi hal yang lucu ketika
ternyata sampai saat ini masih ada orang-orang yang sibuk melakukan hal
tersebut seperti tak ada kegiatan lain yang lebih penting untuk dilakukan.
Menurut
saya, kita memilih karena menilai bahwa pilihan kita lebih baik dari yang lain.
Namun, sebagai pemilih, kita juga tidak bisa mengembangkan ego kita sendiri
sekreatif mungkin karena itu akan membawa ke dampak yang berbahaya: saling
menjatuhkan. Logikanya, ketika kita memilih A, maka kita akan mencari tahu
sedalam-dalamnya tentang prestasi-prestasi A. Sebaliknya, kita akan cenderung
mencari borok dan nanah si B, hanya untuk menguatkan keyakinan kita sendiri
bahwa A adalah pilihan yang tepat. Itu cara termudah untuk membandingkan
sesuatu. Yang saya heran, kenapa kita seolah menutup mata tentang kecacatan
yang dimiliki oleh kubu yang kita pilih? Apa karena kita sendiri sebenarnya
mudah goyah dengan pilihan kita? Ada yang bilang “jangan mau dibutakan oleh
media”, tapi apa iya kita sendiri tidak terlalu buta merespon berita-berita
yang dikeluarkan media?
Katakanlah,
media V dan W mendukung penuh kubu kedua. Otomatis, mereka akan lebih
mengangkat citra kubu tersebut dan mencari-cari cacat kubu pertama. Siapa yang bisa
memastikan kalau baik-buruk yang diciptakan oleh media tidak mengandung
rekayasa dan bersih dari unsur kepentingan politik? Sayangnya, kita percaya
pada kekuatan yang memihak pilihan yang sama dengan kita. Kenapa tidak berusaha
lebih terbuka terhadap kekurangan kubu sendiri, melainkan justru sibuk
menanamkan fitnah dan berfokus pada kekurangan kubu lain? Toh kita semua tahu bahwa semua orang tak luput dari kurangnya. Siapa
tahu keburukan-keburukan yang diberitakan lawan terhadap kubu kita adalah
sesuatu yang benar, dan sebaliknya, prestasi kubu pilihan kita yang selama ini kita
bangga-banggakan justru hanya tak-tik untuk menggoda? Saya cukup kecewa ketika
tahu bahwa seseorang yang berkata “jangan mau dibutakan oleh media”, ternyata
cukup buta juga sudut pandangnya.
Terbukti
dengan kegigihan mereka untuk terus menikam lawan. Berusaha kritis menakar
siapa yang lebih dosa dan tak layak. Menganalisis dan mengembangkan kekurangan
lawan. Menyebarkan berita buruk di sana-sini. Yang saya tahu, mencari keburukan
orang lain memang lebih nikmat dan menyenangkan, juga mengenyangkan emosi kita.
Jika berdalih melakukannya untuk pemerintahan yang lebih baik, (ini yang
menggelitik pemikiran saya) bukankah menjadi pemilih yang sportif dengan menerima
kekalahan dan mendukung siapapun yang menang adalah jauh lebih baik daripada
sekedar menjadi korban kekecewaan diri sendiri?
Itulah
kenapa saya berpikir bahwa beberapa orang telah mengembangkan pemikiran kritis
yang tak perlu. Pemimpin sudah terpilih. Masa pemilu sudah lama terlewat. Yang
terpilih untuk memimpin, bukan lagi kubu lawan. Beliau memimpin kita. Kita
semua satu kesatuan. Sudah bukan waktunya kalau kita sibuk mengatai pemimpin
kita sendiri.
Apa
kamu bisa memastikan bahwa jika kamu terus melakukan hal itu, maka pemimpin
yang tidak kamu sukai akan lantas diturunkan begitu saja?
Apa
kamu bisa memastikan jika pilihan kamu diangkat untuk memimpin kita—nantinya—akan
menghasilkan kebijakan-kebijakan yang jauh lebih baik dan punya pengaruh yang
signifikan untuk memajukan kita semua?
Apa
kamu bisa memastikan bahwa keburukan-keburukan pemimpin yang kamu bagikan
secara cuma-cuma bisa lantas membuka mata orang lain untuk kemudian memihak
pilihanmu?
Apa
kamu bisa memastikan? Tidak. Kita semua sama, tidak bisa memastikan apapun
karena kita bukan Tuhan. Jadi, daripada sibuk mencerca, alangkah lebih baiknya
kalau kita berkaca. Jangan jadi suporter yang bisanya hanya meneriaki
kekalahan. Rusuh di media. Kalau kamu yang menjadi pemimpin dan turun ke
lapangan, apa bisa?
Tindakan
nyata apa yang bisa kita sumbangkan untuk membawa taraf kehidupan kita semua
menjadi lebih baik? Apakah kita sudah menjalankan demokrasi dengan baik: memberi
saran dan masukan yang membangun atas kebijakan yang kita anggap kurang sesuai,
bukan menghina-hina dan menjatuhkan.
Pemikiran
kritis itu perlu, tapi kita juga perlu berhati-hati menempatkan diri kita.
Jangan mau mati konyol karena dipermainkan pemikiran kita sendiri. Barangkali
kita memang perlu banyak berlatih menerima kekalahan dan berlatih menjadi
pendukung yang baik. Demokrasi bukan alat yang bisa digunakan untuk
sebebas-bebasnya menjatuhkan lawan.