Satu lagi kerabat kami tewas.
Dewan Tinggi mengadakan rapat
besar-besaran setelah itu. Aku disembunyikan Ibu, meringkuk sendirian di ruang
gelap yang langit-langitnya bisa kusentuh hanya dengan sedikit berdiri. Gelap
dan berlendir. Dihukum begini saja aku sudah tak tahan.
Dalam satu minggu, tiga kerabatku tewas.
Tak terencana, kebetulan saja mereka tewas ketika bersamaku. Bukan karena aku
menyimpan sebilah pisau dan menghunus mereka karena dendam pribadi. Pribadi
saja barangkali aku tak punya.
Bukan pula karena aku sengaja mendorong
mereka hingga terseret mobil sejauh puluhan meter dan mati sia-sia. Tapi, siapa
peduli? Sekeras aku mencoba menjelaskan, lebih keras lagi tangan-tangan yang
pendek itu menuding tepat ke arahku: aku pelakunya.
Padahal, semua juga tahu, jika ada tingkat
kelayakan mengenai siapa yang patut bersedih, tentulah aku satu-satunya. Aku
yang berada di sisi mereka ketika kematian menjemput dalam hitungan sepersekian
detik. Begitu cepat hingga suaraku tak mampu menggapai pendengaran siapapun
untuk meminta tolong. Begitu cepat hingga aku tak siap dan tak tahu bagaimana
harusnya aku berduka sambil mengemas jenazah kawan sendiri yang berhamburan,
terburai ususnya.
Kalau boleh sekenanya menuding siapa
yang salah, tentu kusalahkan para Dewan Tinggi dan orang tua yang bisanya hanya
membuat peraturan. Mereka bilang, aku tak boleh main jauh-jauh. Aku hanya boleh
menyusuri lorong-lorong gelap tanpa cahaya. Cahaya membuat kami mati. Cahaya
membuat orang-orang itu melihat kami
dan menjerit, memanggil orang lain yang memiliki daya lebih untuk membunuh kita
dalam sekali hentak. Tak ada yang lebih menakutkan dari melakukan hal-hal yang
bisa membuatmu mati percuma.
Tapi di luar sana, cahaya remang begitu
memukau. Tak pernah mereka jelaskan mengapa kami harus mencukupkan diri dengan
kegelapan yang tak ada indahnya sama sekali. Tak pernah mereka jelaskan hingga
aku lupa untuk menahan diri. Terbirit-birit mencuri kesempatan untuk mencari
tahu, aku menggandeng seorang teman untuk diajak berlari. Keluar dari pengap
yang menjijikkan. Menyeberangi garis-garis putih berjajar dengan terburu-buru.
Tak sadar bahwa ada yang lebih terburu dari kami: kendaraan-kendaraan manusia.
Terulang tiga kali, tampaknya mulai saat
ini aku memang harus mencukupkan diri untuk tak melangkah ke wilayah yang bukan
milik kami.
Biar di selokan saja, biar kami aman
seterusnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)