Di kereta, ada perasaan-perasaan yang berjalan bergegas untuk segera dipastikan. Perasaan yang berdenyut-denyut sepanjang nadi rel kereta
“Kita tak ada tujuan”, katanya. Tapi, kau tahu betul tangannya masih di sana: di genggaman tanganmu sejak memasuki gerbong hingga lima puluh menit penuh jeda yang berlalu.
Tak ada getir yang lebih terkoyak dari ini, kau dibawanya dengan mesra menuju sesuatu yang tak pernah pasti. Menuju puluhan gerbong kereta api, menuju puluhan tempat pemberhentian sementara untuk melanjutkan ketidakpastian kembali.
Pada stasiun berikutnya, yang ingin kau lakukan hanya satu: turun dan melambaikan tangan. Karena hidupmu telah terlalu banyak dipenuhi oleh persinggahan-persinggahan, juga bising lalu dan lalang persimpangan. Sedang kau begitu lelah dan ingin melangkah keluar saja.
Kau tahu? Turunlah, berhentilah jika ingin. Kau tak lagi perlu puluhan perjalanan.
Kau tahu?
Di sini, ada aku.
Senin, 19 September 2016
Minggu, 18 September 2016
Prolog
Akan tiba harinya, yang paling dinanti olehmu: hidup bersamanya.
Mulai sekarang, bersamanya kau akan terbangkan doa-doa sejauh mungkin dan berusaha menata satu per satu anak tangga untuk menggapai mimpi-mimpi. Mulailah semuanya dari awal, sebab kau tahu betul segala pergerakan harus bermula dari titik nol. Bersamanya, sanggupkan dirimu untuk berjalan sejauh apapun tanpa alas kaki. Biar lelah ditanggung bersama, sadari bahwa tak segala sesuatu bisa didapatkan semudah kalian menengadahkan tangan ke orang tua dulu.
Pada harinya nanti, kami akan berpesta merayakan kisah barumu. Buku baru, halaman satu hingga tak terhingga. Karena kami tahu, “selamanya” adalah satu-satunya hal yang akan kalian menangkan nantinya. Dan kalian tahu, kemenangan adalah proses yang panjangnya tak terkira. Jangan lelah, jangan pernah menyerah jika ada terjang badai, atau tumpul asa di depan nanti. Kalian adalah yang berikrar untuk menua bersama, abadi dalam janji paling suci. Yakinlah, bersamanya kau tak akan ragu untuk memenangkan kisahmu. Pada halaman terakhir nantinya, kami ingin menyaksikan haru kisah kalian yang hanya akan terpisahkan oleh maut. Bukan prasangka, atau pemeran lainnya.
Kau dengannya, mungkin adalah sepasang yang tiap paginya akan saling menatap dan meyakinkan satu sama lain, “Ini tak akan mudah, tapi bersamamu aku mau hidup susah”.
Hingga akhirnya, selamat berjalan berdampingan. Semoga susah senang sama-sama merasakan. Semoga berbahagia. Kau tahu, doa kami selalu menyertai.
Mulai sekarang, bersamanya kau akan terbangkan doa-doa sejauh mungkin dan berusaha menata satu per satu anak tangga untuk menggapai mimpi-mimpi. Mulailah semuanya dari awal, sebab kau tahu betul segala pergerakan harus bermula dari titik nol. Bersamanya, sanggupkan dirimu untuk berjalan sejauh apapun tanpa alas kaki. Biar lelah ditanggung bersama, sadari bahwa tak segala sesuatu bisa didapatkan semudah kalian menengadahkan tangan ke orang tua dulu.
Pada harinya nanti, kami akan berpesta merayakan kisah barumu. Buku baru, halaman satu hingga tak terhingga. Karena kami tahu, “selamanya” adalah satu-satunya hal yang akan kalian menangkan nantinya. Dan kalian tahu, kemenangan adalah proses yang panjangnya tak terkira. Jangan lelah, jangan pernah menyerah jika ada terjang badai, atau tumpul asa di depan nanti. Kalian adalah yang berikrar untuk menua bersama, abadi dalam janji paling suci. Yakinlah, bersamanya kau tak akan ragu untuk memenangkan kisahmu. Pada halaman terakhir nantinya, kami ingin menyaksikan haru kisah kalian yang hanya akan terpisahkan oleh maut. Bukan prasangka, atau pemeran lainnya.
Kau dengannya, mungkin adalah sepasang yang tiap paginya akan saling menatap dan meyakinkan satu sama lain, “Ini tak akan mudah, tapi bersamamu aku mau hidup susah”.
Hingga akhirnya, selamat berjalan berdampingan. Semoga susah senang sama-sama merasakan. Semoga berbahagia. Kau tahu, doa kami selalu menyertai.
Senin, 12 September 2016
Genang
Adalah banjir yang memporakporandakan seisi rumah kami. Di sekujur lantai yang pucat pasi, tergenang satu-dua kenangan. Pigura foto keluarga yang tenggelam bebas di permukaan paling dasar, pun sepertiga sofa tempat kami menghabiskan waktu dengan hangat percakapan-percakapan ringan, kini menjadi basah dan dingin.
Guyur hujan semalam dan banjir selutut yang menggenangi rumah kami melengkapi memori yang tenggelam akan satu-dua orang rumah yang perginya begitu jauh, tak ubahnya daun kering—gugur satu per satu tertiup angin dan berkelana meninggalkan pohonnya.
Kupungut gambar kami berenam bersama kebahagiaan yang tercetak manis di pigura kayu yang tenggelam. Tak ada yang bisa menyelamatkan basahnya. Tak juga aku.
Di sekujur lantai yang pucat pasi, tergenang satu-dua kenangan pada sepasang mata yang menatap nanar pada keadaan.
“Kapan Ibu bisa melihat kalian pulang?”
Guyur hujan semalam dan banjir selutut yang menggenangi rumah kami melengkapi memori yang tenggelam akan satu-dua orang rumah yang perginya begitu jauh, tak ubahnya daun kering—gugur satu per satu tertiup angin dan berkelana meninggalkan pohonnya.
Kupungut gambar kami berenam bersama kebahagiaan yang tercetak manis di pigura kayu yang tenggelam. Tak ada yang bisa menyelamatkan basahnya. Tak juga aku.
Di sekujur lantai yang pucat pasi, tergenang satu-dua kenangan pada sepasang mata yang menatap nanar pada keadaan.
“Kapan Ibu bisa melihat kalian pulang?”
Langganan:
Postingan (Atom)