“Sapu tangan bisa menyeka keringatmu. Darahmu
juga. Cepat-cepat hapus, jangan mau dikeringkan duluan oleh angin” katanya
sambil menyodorkan selembar kain warna abu-abu dengan garis-garis hijau di
tepiannya. Bisa saja ia berbasa-basi setelah dicideraiku oleh amarahnya. Sekantung
penuh rupiah telah direnggutnya dengan mudah dari saku celanaku.
Ini pemberianku, sapu tangan yang di
beberapa bagiannya telah berhiaskan bercak-bercak darah yang tak mau singgah
meski berulang kali dicuci ini. Darah-darahku. Biar kuhitung nanti di Neraka,
atau jika Tuhan keliru menjebloskannya ke Surga.
Biar dia lupa siapa yang telah
memungutnya di jalanan setelah kelaparan mencengkeram erat tubuhnya yang kering
kerontang saat itu. Biar dia lupa siapa yang lebih dulu rela menganggapnya
saudara dan menyingkirkan segala kepentingan pribadi demi ia bisa hidup layak.
Biar dia lupa siapa yang memohon-mohonkan pada Tuhan, mendoakannya tiap hari
seusai ibadah, agar orang tuanya diberikan jalan untuk menemukannya.
Biar dia lupa, siapa yang telah lama
menahan lelah menjadikannya saudara, bekerja keras membanting tulang dari pagi
hingga malam untuk menopang kebutuhannya berfoya-foya.
Biar dia lupa, dia hanya siapa.